Home / Lingkungan Hidup

Rabu, 20 Februari 2019 - 01:45 WIT

55 Pulau Kecil Digempur Tambang dan Sawit Tak Dibahas Capres

Kawasan_Obolie Pulau Gebe  setelah_ditinggalkan_PT_Antam_kini_dikeruk_lagi_oleh_PT_FBLN foto M Ichi

Kawasan_Obolie Pulau Gebe setelah_ditinggalkan_PT_Antam_kini_dikeruk_lagi_oleh_PT_FBLN foto M Ichi

Isyu  Keselamatan Rakyat dan Lingkungan  di Pesisir  serta Pulau- Pulau Kecil Terlewatkan

Debat calon presiden putaran kedua tentang Energi, Pangan, Infrastruktur, Lingkungan Hidup, dan Sumber Daya Alam pada 17 Februari 2019 lalu disaksikan ratusan juta pasang rakyat Indonesia di layar   layar kaca  stasiun televisi. Dari debat itu ternyata masih menyisahkan sejumlah pertanyaan penting soal kadar pengetahuan dan komitmen pasangan calon bagi keselamatan rakyat dan lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Indonesia dengan 17 ribu pulau besar dan kecil sementara Maluku Utara  dengan 1407 pulau yang dimilikinya, saat ini  sebagian diantaranya telah habis dibabat perusahaan tambang  karena   deposit tambangnya yang tidak sedikit.  

Setidaknya hal ini mengemuka dalam  rilis yang dikeluarkan 6 lembaga usai konferensi pers yang digelar   di kantor Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional  kawasan Mampang Prapatan  Jakarta Selasa (20/2 ). Konferensi pers  yang dikemas dalam Diskusi bertema  Menyoal Pemilu 2019  Bagi Keselematan Rakyat  dan Lingkungan di Pesisir dan Pulau-pulau Kecil  itu, diinisiasi oleh Jatam Nasional. AMAN Maluku Utara, WALHI NTT, JPIC FOM, KIARA   dan Kontras.  Dalam  diskusi bersama berbagai media di Jakarta itu  mereka menyoal  kedua pasangan   Capres yang tidak menyinggung, apalagi  berdebat terkait   krisis dan masalah di pesisir dan pulau-pulau kecil. “Padahal, krisis dan masalah di pesisir dan pulau-pulau kecil itu begitu nyata, mulai ekspansi pertambangan dan migas, perkebunan sawit dan tebu, hutan tanaman industri (HTI), reklamasi pantai, dan pengembangan pariwisata berbasis industry,” kata Alwia Shahbanu dari JATAM Nasional.   

Menurutnya, dalam konteks tambang, misalnya, ada 55 pulau kecil yang digempur industri pertambangan. Sebutlah,  Pulau Bangka di Sulawesi Utara; Pulau Romang , Pulau Damar, dan Pulau Wetar di Maluku; Pulau Gebe, Pulau Gee, Pulau Pakal, dan Pulau Obi di Maluku Utara; Pulau Bunyu di Kalimantan Utara, Pulau Flores, Sumba, dan Timor, juga Sabu Raijua di Nusa Tenggara Timur, serta pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia.

Selain pulau kecil, wilayah pesisir juga mengalami nasib serupa, mulai dari Donggala, Morowali, Morowali Utara, dan Banggai di Sulawesi Tengah; Halmahera Tengah, Halmahera Timur di Maluku Utara; pantai pulau merah di Banyuwangi, dan beberapa pesisir lainnya di Indonesia.  

Baca Juga  Warning!  Global Boiling Mengancam  Dunia

“Selain tambang, pulau-pulau kecil juga sedang dikepung perkebunan monokultur skala besar, seperti perkebunan sawit di Halmahera Selatan dan Halmahera Tengah, Maluku Utara; perkebunan tebu di Sumba Timur dan Perkebunan Kemiri di Bajawa, Flores di Nusa Tenggara Timur,”kata Adlun Fikri dari AMAN Maluku Utara.

Persoalan lain yang terus mengancam pesisir dan pulau kecil adalah terkait pengembangan industri pariwisata yang merampas ruang hidup masyarakat pesisir. Hal ini bisa kita temukan di wilayah pesisir Pulau Sumba dan Flores di NTT yang sudah dikavling korporasi nasional dan transnasional. “Parahnya lagi, proyek pembangunan pariwisata yang menggunakan skema Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) telah berdampak pada perampasan dan terpisahnya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dari laut sebagai ruang hidupnya,” kata  Umba Wulang Direktur  WALHI NTT.

Selain itu, persoalan proyek reklamasi di kawasan pesisir yang meningkat tajam dari 16 kawasan pada 2016 menjadi 42 kawasan pada 2018 juga tak mendapat tempat pada perdebatan capres kemarin. Padahal, kehadiran proyek reklamasi ini telah merusak ekosistem, merampas ruang hidup nelayan dan petambak garam, dan sebagian besar hanya untuk memenuhi kepentingan perluasan properti.

 ”Seluruh kehadiran investasi berbasis lahan ini juga tak luput dari persoalan kekerasan dan intimidasi, yang berujung pada konflik sosial dan pelanggaran hak asasi manusia. Dua contoh nyata atas persoalan ini bisa kita temukan di Pulau Romang, Maluku Utara dan Sumba Barat di NTT,” tambah Susan Herawati dari KIARA.

Sementara Rivanle Anandar dari Kontras  menyatakan di Pulau Romang, pelanggaran HAM begitu nyata, mulai dari praktik intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga yang menolak tambang, hingga hilangnya akses terhadap air bersih dan rasa aman bagi warga. Perusahaan menggunakan kekuatan Brimob untuk mengamankan jalannya aktivitas pertambangan, alhasil masyarakat tidak lagi bebas berkegiatan seperti biasanya. Kegiatan pertambangan di Pulau Romang juga mengurangi hasil bumi masyarakat, seperti madu dan agar – agar yang menjadi komoditi utama masyarakat selama beberapa waktu. Selain itu, pelanggaran administrative dari prasyarat IPPKH juga terjadi. Namun, hal ini tidak mendapatkan perhatian dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 

Baca Juga  Petaka Perubahan Iklim Global Ancam Bumi

Sementara di Sumba Barat, petani bernama Poro Duka tewas ditembak aparat kepolisian hanya karena menolak tanahnya dirampas untuk kepentingan pariwisata. Pola seperti ini kerap kali dilakukan di daerah yang akan digunakan untuk keperluan investasi semata. Penggunaan kekuatan kepolisian yang tak terukur menjadi pola yang lazim dilakukan karena pemerintah daerah gagal melakukan dialog dengan warga. Hal ini jelas menunjukkan bahwa negara mengabaikan kepentingan masyarakat di atas kepentingan investor. 

Banyaknya persoalan di atas mestinya mendapat perhatian serius dari kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk kemudian serius mendorong penyelamatan pesisir dan pulau kecil dari seluruh kegiatan ekstraktif yang terbukti tidak menguntungkan masyarakat setempat. Upaya penyelamatan ini bisa dilakukan ketika kedua pasangan calon memiliki kadar pengetahuan yang cukup serta komitmen, mengingat karakteristik pulau-pulau kecil memiliki tingkat kerentatan yang tinggi terhadap perubahan lingkungan dan bencana alam, tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai, memiliki daya dukung terbatas — terutama ketersediaan air tawar, mempunyai populasi terbatas dan relative homogen, serta sumberdaya hayati yang cenderung beragam dan melimpah.

Bagi JATAM  Pesisir dan pulau-pulau kecil ini memiliki banyak sumberdaya yang sesungguhnya mampu menunjang pembangunan dan kebutuhan pangan, baik untuk kebutuhan domestiknya, maupun skala nasional. Keberadaan penduduk mampu berperan sebagai pelaku penting dalam mengakses sumberdaya alam, semisal distributor pangan yang berada di sekitar pulau-pulau kecil. Dengan berbagai pemanfaatan seperti ikan-ikan karang, aspek pariwisata berbasis masyarakat yang berkelanjutan serta komponen-komponen yang memiliki potensi finansial bagi daerah yang, semuanya tertuju pada kemandirian masyarakat pulau kecil.(*)   

Share :

Baca Juga

Lingkungan Hidup

NGO Soroti Peluncuran Investasi JETP yang Tertunda

Lingkungan Hidup

KLHK Diminta Seriusi Dugaan Cemaran Nikel di Halmahera 

Lingkungan Hidup

Krisis Iklim Berdampak Serius bagi Anak Indonesia

Lingkungan Hidup

Tak Ada Zonasi Wilayah jadi Problem Ekowisata

Lingkungan Hidup

Pulau-pulau Makin Terancam Sampah Plastik

Kabar Kota Pulau

Negara Pulau dan Kepulauan akan Gelar Kongres

Lingkungan Hidup

Penjahat Lingkungan Bakal Kena Sanksi Lebih Berat

Kabar Malut

Pengelolaan Pesisir dan Pulau Kecil Tak Berdasar Saintifik