Rata rata Setahun Berkurang 718,672 Hektar
Maluku Utara merupakan provinsi dengan karakater Daerah Aliran Sungai (DAS) Kepulauan. Daerah ini memiliki 3.568 DAS. Dari banyaknya DAS itu, salah satu karakter ekosistemnya adalah memiliki hutan mangrove.
Data Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) Ake Malamo, menyebutkan, wilayah Maluku Utara memiliki potensi mangrove seluas 41.228,7 ha yang tersebar di sepuluh kabupaten/kota. Sayang setiap waktu hutan mangrove yang ada, terus tergerus dan terdegradasi karena mengalami eksploitasi yang sangat signifikan.
Data BPDAS-HL Ternate menunjukan, dalam kurun waktu 2010- 2017, terjadi penurunan luasan mangrove di Maluku Utara cukup fantastis. Dalam kurun waktu 7 tahun terjadi penurunan lahan hutan mangrove mencapai 5.030,71 ha atau kurang lebih 10,87 % dari luasan sebelumnya tahun 2010, yakni 46.259,41 ha.
“Penurunan luasan mangrove tersebut disebabkan oleh adanya konversi mangrove menjadi lahan pertanian dan pemukiman, pembuangan sampah padat dan cair, pencemaran tumpahan minyak dan reklamasi pantai,” jelas Asih Yunani, M.P Kepala BPDASHL Ake Malamo Ternate dalam rilisnya yang dikirim ke kabarpulau.co.id Senin (5/10)
Dia bilang, tekanan penduduk yang tinggi berakibat terjadinya kerusakan ekosistem hutan mangrove dan degradasi lingkungan pantai. Terutama untuk kebutuhan kayu bakar dan bahan bangunan di daerah pantai.
Dari luasan yang terdegradasi itu jika dihitung rata rata dalam setahun, hutan mangrove yang berkurang mencapai 718,672 hektar.
Tidak itu saja, dari data yang dihimpun Kabarpulau.com secara nasional menyebutkan penurunan itu diakibatkan oleh perkebunan, tambak, reklamasi maupun pemukiman.
Berbagai kalangan lantas menyuarakan perlu ada langkah cepat menyelamatkan mangrove, kalau tidak kehidupan warga di kepulauan itu bakal terancam.
Di Halmahera Utara, misal, ada perusahaan membabat hutan mangrove, mengganti dengan perkebunan singkong untuk tapioka. Di Halmahera Tengah, perusahaan tambang mengkonversi hutan mangrove jadi kawasan industri tambang. Di perkotaan, hutan mangrove jadi pemukiman, maupun sasaran reklamasi.
Berdasarkan dokumen Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTk-RHL DAS) Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai Wilayah Kerja BPDAS Ake Malamo 2014, Malut punya lahan mangrove dan sempadan pantai sekitar 55.322,61 hektar . Khusus hutan mangrove di Malut , ada 46.259,41 hektar dengan kategori rapat 29.848,83 hektar dan kurang rapat 16.410,58 hektar.
Dari data itu, sebaran hutan mangrove dominan di hutan produksi konversi (HPK) 25.594,35 hektar (55,33%), areal penggunaan lain (APL) 13.790,01 hektar, hutan lindung (4.999,04 hektar, hutan produksi 1.324,07 hektar dan hutan produksi terbatas 551,94 hektar.
Radios Simanjuntak, Ketua Program Studi Kehutanan, Universitas Halmahera, menyarankan, pemerintah daerah mengambil langkah cepat agar hutan mangrove masuk zona perlindungan dalam tata ruang wilayah daerah. Kalau memungkinkan, agar seluruh hutan mangrove dengan status APL ada aturan perlindungan.
Radios juga usul Dinas Lingkungan Hidup dan Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) di tiap kabupaten dan kota bersinergi dengan para pihak, baik akademisi, pegiat lingkungan, maupun pemerintah desa dalam mengupayakan kelola mangrove berkelanjutan bagi masyarakat.
“Perlu kesadaran agar tak mengekploitasi mangrove dan pengaturan pemanfaatan yang berkelanjutan. Pemerintah desa bisa membuat peraturan desa perlindungan mangrove untuk mengamankan hutan mangrove di wilayahnya,” katanya belum lama ini.
Di Halmahera Utara misalnya, sudah ada peraturan desa Pemerintah Desa Kao, Kecamatan Kao punya Perdes No.03/2017 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup yang mencakup perlindungan hutan mangrove dan keragaman hayati di dalamnya. Di Halmahera Timur tepatnya di Desa Gotowasi juga sudah memiliki Perda Daerah Perlindungan Laut dan Pesisir yang ikut melindungi hutan mangrove dan berbagai biota yang ada di dalamnya.(*)
CEO Kabar Pulau