Air berkata kepada yang kotor. “Kemarilah”. Yang kotor akan berkata, “Aku sungguh malu”. Air lalu berkata, “Bagaimana malumu dapat dibersihkan tanpa aku”.
Jalaludin Rumi, sufi besar yang karyanya abadi dan terus diperbincangkan dunia menuliskan percakapan ini sebagai sebuah pengingat. Bukan sebuah alegori tapi lebih pada tautologi yang mengedepankan logika. Tautologi adalah bagian dari pemikiran Neo-positivisme – aliran filsafat abad 20 yang menolak peristilahan yang abstrak, sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara empriris dan kongkret. Air bagi Rumi adalah nyata. Ia adalah gerak yang tak mati. Dibutuhkan semua yang hidup. Dan fungsinya membersihkan “malu” lebih pada sebuah paradoks, mungkin juga sinisme. Air kadang jadi berkat tapi tak jarang memicu pertentangan.
Kita tahu tujuh puluh satu persen bumi tertutup air. Seorang teman yang gemar diving pernah melempar satire menarik kala saya menemaninya menikmati keindahan alam bawah laut di Ternate. “Bumi ini sebagian besar adalah air dan kita memiliki laut yang begitu indah, mengapa anda sangat betah berlama-lama di daratan yang sesak dan sumpek?. Dari “sebagian besar” itu, ternyata yang berupa air tawar hanya sekitar dua persen dimana yang memiliki akses untuk mudah didapat tak lebih dari satu persen. Menurut hitungan National Geographic, hanya 0,007 persen air di planet ini yang tersedia untuk lebih dari tujuh miliar manusia.
Sebagian besar dari ketersediaan air itu digunakan manusia untuk produksi pangan dan pertanian. Sisanya untuk kebutuhan industri. Sedangkan untuk konsumsi air minum jumlah terbilang sangat minim. Dengan populasi yang terus bertumbuh pesat ditambah anomali cuaca dan kerusakan bumi yang makin esktrim, besok lusa, air makin sedikit dan sulit didapat. Ia akan jadi sumber pertikaian. Akan ada perebutan yang bisa jadi mempercepat apa yang disebut Bill Mc Kibben sebagai “The End Of Natura – Akhir Alam”. Kita dan bumi sama-sama kehilangan “carrying capacity”.
Bank dunia telah merilis laporan berjudul “High and Dry” – sebuah hasil penelitian tentang air dan perubahan iklim yang memberi simpulan bahwa dampak perubahan iklim akan tersalurkan melalui siklus air. Artinya bahwa, krisis air adalah masalah mendesak yang perlu direspons secara kolektif. Tanpa adaptasi yang juga berarti efisiensi dalam distribusi sumber daya air, Bank Dunia memperkirakan akan ada penurunan PDB regional karena kesulitan air sebesar 14 persen di Timur Tengah, 12 persen di Afrika, 11 persen di Asia Tengah dan 7 persen di Asia Timur.
Di sisi lain, laju populasi membuat kebutuhan air tawar makin tinggi dalam tiga dekade ke depan. Diperkirakan ada kenaikan sekitar 50 persen dari kebutuhan kota-kota saat ini. Juga kenaikan pada sektor industri sebesar 70 persen dan energy sebesar 85 persen. Jika pemanasan global terus berlangsung dan makin tak terkendali, akan terjadi kekeringan parah yang tak hanya memperkecil pasokan air tapi juga memperuncing perebutan sumber daya untuk bertahan hidup. Perang dalam skala masif sangat mungkin terjadi.
Detail yang lebih spesifik dikemukakan oleh Peter Gleick dari Pacifik Institute berupa daftar konflik bersenjata gegara perebutan air yang dimulai sejak 3000 SM dengan legenda Sumeria Ea. Menurutnya, sekitar 500 konflik telah terjadi sejak tahun 1900an dan makin serius dalam rentang waktu duapuluh tahun terakhir. Dulu konflik terjadi antar negara tapi saat ini telah berkembang menjadi perang antar komunitas dalam sebuah negara yang kendali kuasanya makin lemah.
Kekeringan lima tahun di Suriah antara tahun 2006 hingga 2011 yang menyebabkan gagal panen dan ketidakstabilan politik memicu perang saudara berkepanjangan. Ribuan warga meninggal dan puluhan ribu jadi penyintas. Di Yaman, situasi tak berbeda jauh. Yang menonjol di permukaan adalah rebutan pengaruh ideologi antara Arab Saudi dan Iran yang menyebabkan perang saudara. Tetapi perang itu jelas berkaitan dengan sumber air. Sebagain besar serangan militer yang terjadi selama perang mengincar infrastruktur air.
Di Ternate, kota kecil dengan populasi yang terus membengkak, cerita tentang air juga tak jauh beda. Suara-suara keluhan berseliweran saat krisis atau juga saat banjir mengepung kota ketika hujan mengguyur beton dan jalanan. Air sama dengan mala. Kita jadi lupa pada hakikat kebaikan yang diajarkan air tanpa pamrih. Air selalu memperlihatkan kerendahan hati. Ia turun ke tempat yang rendah, mengalir begitu saja sekaligus melayani tanpa cemberut. Tak ada protes meski Ia dipakai secara berlebihan.
Air juga mengajarkan kebaikan. Ia ada untuk semua tanpa kecuali. Bukan hanya manusia tetapi semesta alam membutuhkannya. Gratis. Air tak merajuk saat ada yang menjualnya tanpa bertanya apakah Ia setuju diperjualbelikan. Air juga lambang kegigihan. Ia tak pernah menyerah. Ia lihai mengelak dari impitan dan menyelinap di tempat paling sulit sekalipun. Sekokoh apapun sesuatu – batu misalnya, jika dikehendaki air untuk dirusak maka akan rusak. Ia mewakili yang berjuang tanpa kompromi untuk menang. Meski begitu, air selalu menawarkan keseimbangan. Ia tak akan habis sepanjang bumi memberinya tempat untuk “hidup”. Ia tak akan merusak saat kita tak memberinya peluang untuk yang merusak itu ada. Ia adalah “energy of harmony”. Kitalah yang kadang mengubahnya jadi bencana. Juga krisis.
Data yang saya peroleh dari Saiful Djafar, bekas petinggi perusahaan air di Ternate, menunjukan ada beberapa indikator penting yang merujuk pada sebab terjadinya krisis itu. Menurutnya, kapasitas produksi perusahaan air di Ternate adalah 200 liter perdetik. Dengan demikian, produksi air perhari adalah sebesar 60.480 meter kubik per hari. Jika ada asumsi kebocoran 40 persen (sesuatu yang menurut saya sangat tinggi) maka air yang “hilang” sebanyak 24.192 meter kubik per hari. Dengan kondisi ini, sejatinya kita tak kekurangan pasokan air karena kapasitas air yang tersedia adalah 36.288 meter kubik per hari. Jika asumsi konsumsi terjadi sebanyak 200 liter per orang setiap hari, maka rasanya cukup untuk memenuhi kebutuhan 35 ribu pelanggan. Saat ini jumlah pelangan adalah 32 ribu sambungan.
Critical point’ dari data di atas adalah belum adanya mekanisme pengelolaan yang berbasis data dan pelayanan yang tepat target. Kita juga sangat boros. Kita seperti vampir yang rakus. Angka kebocoran 40 persen menunjukan bahwa kita abai menggunakan air dengan ukuran cinta yang semestinya. Benar bahwa yang bocor itu – semisal mandi berlebihan, minum sedikit membuangnya yang banyak, menggunakan air untuk cuci motor dan mobil dan lain-lain – pada ujungnya air itu akan kembali ke tanah. Tapi kita lupa jika butuh ratusan tahun agar air yang masuk dari permukaan bumi berubah menjadi air tanah. Belum lagi hutan hijau yang berfungsi menjadi penyerap air hujan telah berganti dengan deretan perumahan yang saling berdesakan di punggung Gamalama. Kita selalu merasa menjadi subyek dengan “S” sebagaimana kata filsuf Perancis, Jacques Ranciere. Dengan “S” itu, kita selalu berkehendak dan bertindak mengubah keadaan. Meski kadang merusak.
Besok lusa, jika tak ada air, bagaimana kita membersihkan malu?.
Air jadi identitas meski kadang buram karena kita lupa esensi air. Ia awal dan akhir sebuah kehidupan. Tak ada keraguan. Bukankah hidup bermula dari air mani, lalu ada air ketuban, air susu Ibu dan banyak air yang menjaminkan hidup. Dengan apa kita akan memandikan jenazah jika air tak ada. Dalam literasi teologis, andai kaki mungil Nabi Ismail tak menjejaki tanah dengan tendangan lemah disertai tangisan kehausan, apakah akan ada air zam-zam. Apakah ada ritual berlari kecil dalam prosesi ibadah haji untuk menapktilasi perjuangan Siti Hajar?. Apakah poros utama ibadah kita akan tetap tegak lurus menghadap Ka’bah andai dulu Nabi Ibrahim tak mendirikannya dekat air zam-zam?.
Saya sungguh takut, jangan-jangan di masa depan yang tanpa air, kita akan terbiasa dengan kalimat ini : Gajah mati meninggalkan gading. Air mati meninggalkan umpatan. Kita memaki kebodohan sendiri karena sekali lagi air adalah poros universal yang hidup. Ia abadi untuk bumi. Kitalah yang fana.
Oleh: Asgar Saleh
Pegiat Literasi, Penulis dan Direktur LSM Rorano