Bencana banjir yang melanda Kabupaten Halmahera Utara pada Jumat (16/1) lalu melululantakan 7 Kecamatan di wilayah ini. Setidaknya hal ini membuka mata dan pikiran semua pihak, bahwa dampak La Nina akibat perubahan iklim ternyata tidak main-main.
Hujan deras melanda daerah itu menyebabkan banjir hebat dan rusaknya harta benda serta warga mengungsi.
Hal ini terjadi di Kao Barat, Galela Galela Utara Galela Selatan Galela Barat Loloda Utara dan Loloda Kepulauan.
Data yang dihimpun kabarpulau.co.id menyebutkan, di Kao Barat lima desa terendam banjir yakni Somahetek Bailangit Tiguis Parseba,Pitago dan Soa Hukum. Bahkan 485 warga Desa Bailangit terpaksa dievakuasi tim SAR Gabungan Kabupaten Halmahera Utara ke Desa Kai Kao Barat.
Banjir di Galela membuat warga mengungsi dan jembatan penghubung antara Galela dan Loloda meniadi hancur.
Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara melalui Badan Penanggulangn Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Halmahera Utara memperkirakan kerugian yang dialami akibat banjir ini mencapai Rp9 miliar lebih. Nilai perkiraan ini belum termasuk sarana jembatan yang menghubungkan Galela Loloda di Kali Tiabo.
Hingga saat ini warga yang sempat mengungsi terutama lima desa di Kao Halmahera Utara telah kembali ke rumah masing-masing sementara sebagian warga yang di Galela Halmahera Utara sebagian masih memilih bertahan di pengungsian karena was-was dengan dampak banjir susulan akibat hujan (https://kieraha.com/halmahera-utara-alami-kerugian-akibat-banjir-rp-99-miliar/).
Selain dampak La Nina yang telah diingatkan Pemerintah sejak memasuki 2021, yang juga dicurigai menjadi sumber utama bencana adalah adanya alihfungsi lahan yang tidak terkendali di daerah aliran Sungai (DAS).
Soal alifungsi lahan ini setidaknya menjadi salah satu simpulan Forum Daerah Aliran Sungai (ForDAS) Dukono Kabupaten Halmahera Utara menyikapi bencana yang terjadi.
Ahsun Inayati,SP, MP dari Forum Daerah Aliran Sungai Dukono Halmahera Utara (ForDAS Dukono) menyatakan tidak bisa dipungkiri alihfungsi lahan ini nyata terjadi.
Ketika dikonfirmasi Kabarpulau.co.id Rabu (20/1/2021) mengatakan, amatan waktu ke waktu menunjukan adanya perubahan tutupan hutan dan lahan karena adanya pembukaan lahan yang massive terjadi di daerah DAS.
Pertama menurutnya, adalah pembukaan lahan di areal hutan (alih fungsi lahan,red) dari hutan menjadi kebun. Tanaman hutan diganti komoditi perkebunan seperti kelapa, dan pala oleh masyarakat setempat.
Selain aktivitas pembukaan lahan perkebunan, yang tidak kalah bermasalahnya adalah ada aktivitas tambang rakyat masih beroperasi di Gogoroko. Masih ada pengusaha hingga hari ini, beroperasi di kawasan hutan DAS Tiabo. “Dulu pernah sampai 33 aktifitas menggali lubang (tambang) di kawasan itu,” jelas Ahsun yang juga mantan camat di Kecamatan Galela Barat itu.
Selain itu, ada juga aktifitas penebangan untuk pemanfaatan kayu dalam memenuhi kebutuhan papan. Ini menurutnya lebih pada nilai ekonomi kayu tanaman hutan yang dikejar.
.”Jika flash back kondisi sungai Tiabo pada mulanya memiliki lebar yang sama dengan yang ada sekarang. Hingga sekaran Sungai Tiabo memang sebesar itu,” katanya.
Dia bilang dari penjelasan warga, dulu ketika masih ada perusahaan pisang mereka yang melakukan normalisasi setiap saat di kali Tiabo. Yaitu ketika pasir sedimentasi mulai naik maka dilakukan pengerukan.
Setelah perusahaan pisang tidak beroperasi sejak tahun 1999 tidak lagi dilakukan normalisasi hingga sekarang.
“Keluarga kami dulunya memiliki lahan di sebelah sungai Tiabo (tepat di pos yang hanyut hingga di gudang dan mes 11 ha) sudah di jual. Keluarga kami banyak yang bekerja di perusahaan saat itu hingga saat ini. Jadi menurut saya masalah pokok adalah alih fungsi lahan di hutan di Gunung Gogoroko, Tuguraci dan beberapa gunung lainnya di kawasan itu,” jelasnya.
Karena itu, dia lantas menyarankan segera dilakukan berbagai langkah pembenahan. Hal yang bisa dilakukan adalah mengembalikan fungsi hutan dengan melakukan reboisasi atau rehabilitasi hutan dengan tanaman hutan atau tanaman yang memiliki kemampuan daya serap air yang cukup bagus.
“Jika tidak ada langkah konkrit atau setelah bencana tidak ada upaya ke arah ini, bukan tidak mungkin sedimentasi tanah di hutan semakin menipis (miskin unsur hara) karena tergerus oleh air hujan karena tidak ada pengikat tanah,” katanya.
Berdasarkan data dari Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Ake Malamo Provinsi Maluku Utara jumlah DAS yang bermuara ke Halmahera Utara ada 225 DAS dengan luas 377. 122,84 hektar. DAS Ake Tiabo sendiri luasnya mencapai 68517,11 hektar atau 18,17 persen total luas DAS Halmahera Utara. DAS Tiabo adalah terbesar kedua DAS di Halmahera Utara setelah DAS Ake Jodoh dengan luas 106.715,87 hektar atau 28,30 persen total luasan DAS Halmahera Utara. (*)
CEO Kabar Pulau