Jurnalis dan Aktivis Samakan Persepsi Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim
Dampak perubahan iklim, sudah nyata di depan mata. Berbagai bencana telah terjadi. Tidak hanya menyababkan korban harta tetapi juga nyawa. Karena itu perlu ada gerakan bersama, diawali dengan penyamaan persepsi elemen tingkat atas–pengambil kebijakan, kelompok menengah hingga masyarakat umum.
Perlu dipahami, perubahan iklim terjadi setidaknya diakibatkan berbagai hal. Laju kerusakan lingkungan yang tidak terkendali baik akibat deforestasi, industry ekstraksi pertambangan, reklamasi yang massive di pulau kecil, maupun penggunaan energi kotor-fosil, semakin mengancam bumi yang ditinggali manusia.
Berbagai aktivitas ini ikut meningkatkan produksi karbon sebagai salah satu sumber penting penyebab perubahan iklim. Karbon tidak bisa terserap karena merosotnya tutupan bumi oleh hutan. Hutan adalah unsur penting pengurai karbon menjadi oksigen. Berbagai aktivitas yang tidak terkontrol menyebabkan adanya perubahan bentang alam dan memicu berbagai kejadian.
Perubahan iklim diyakini memiliki andil melahirkan berbagai bencana, baik langsung maupun tidak langsung. Para pakar dan peneliti lingkungan telah lama merilis berbagai dampak bagi manusia dan organisme lainnya di muka bumi.
Dari beberapa sumber, baik media maupun hasil riset yang telah dirilis menyebutkan dampak serius yang mengancam ekosistem, pangan dan hasil hutan, pesisir dan dataran rendah, pulau-pulau kecil, sumber manajemen air tawar, bahkan permukiman dan masyarakat serta kesehatan manusia.
Dampak terhadap ekosistem misalnya, menyebabkan kemungkinan punahnya 20-30 persen spesies tanaman dan hewan. Ini bila terjadi kenaikan suhu rata-rata global sebesar 1,5-2,5 derajat Celcius. Bertambahnya CO2 di atmosfer akan meningkatkan tingkat keasaman laut. Hal ini berdampak negative pada organisme-organisme laut seperti terumbu karang dan spesies- spesies lainnya
Untuk pangan dan hasil hutan, diperkirakan produktivitas pertanian di daerah tropis akan mengalami penurunan bila terjadi kenaikan suhu rata-rata global antara1-2 derajat Celcius. Hal ini meningkatkan resiko bencana kelaparan. Frekuensi kekeringan dan banjir akan memberikan dampak negative pada produksi local, terutama penyediaan pangan di subtropics dan tropis.
Begitu juga pesisir dan dataran rendah. Daerah pantai akan semakin rentan terhadap erosi pantai dan naiknya permukaan air laut. Kerusakan pesisir akan diperparah oleh tekanan manusia di daerah pesisir. Diperkirakan 2080 nanti, jutaan orang akan terkena banjir setiap tahun karena naiknya permukaan air laut. Resiko terbesar adalah dataran rendah yang padat penduduknya dengan tingkat adaptasi yang rendah. Penduduk yang paling terancam adalah yang berada di pulau-pulau kecil seperti Maluku Utara.
Terakhir dampak kesehatan. Penduduk dengan kapasitas adaptasi rendah akan semakin rentan terhadap diare, gizi buruk, serta berubahnya pola distribusi penyakit-penyakit yang ditularkan melalui berbagai serangga dan hewan.
Kekuatiran akibat dampak bencana perubahan iklim ini, membuat dunia termasuk Indonesia berupaya menekan meningkatnya suhu dengan berbagai usaha dan program. Di era pemerintahan sebelumnya (SBY-Budiono) ada namanya Rencana Aksi Perubahan Iklim baik nasional maupun daerah. Sementara saat ini pemerintah melalui program Pembangunan Rendah Karbon (PRK) telah memasukannya dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM-Nasional 2020-2024). Semua aksi ini bertujuan menekan peningkatan produksi karbon menahan laju perubahan iklim.
Hal ini, butuh pemahaman bersama semua pihak. baik pemerintah, media, dan civil society. Perkumpulan Pakatifa sebagai salah satu kelompok masyarakat sipil bekerja untuk advokasi perlindungan sumberdaya dan ruang hidup masyarakat local, mencoba mendorong pemahaman bersama berbagai pihak untuk mitigasi perubahan iklim dan pembangunan rendah karbon. Kegiatan pada 25 dan 26 Februari lalu itu harapan besarnnya, kegiatan ini melahirkan kesamaan gerakan dan pemahaman di semua level. Baik pengambil kebijakan, media dan Jurnalis, serta civil society. Untuk kelompok sasaran atau target group jurnalis, media dan aktivis, bisa mengkampanyekan dan menyampaikan informasi kepada public terkait perubahan iklim, mitigasi dan pembangunan rendah karbon. Tentu dengan memiliki dasar dan kesamaan pemahaman.
Sejumlah pihak diundang menjadi peserta melalui diskusi terpumpun atau Focus Group Discussion (FGD) dengan pemantik akademisi Universitas Kkhairun Ternate, BMKG Stasion Meteorologi Babullah Ternate dan LIPI Oceanografi Ternate. Pengantar FGD, Setyawan yang juga Kepala Bagian Data dan Informasi BMKG Stasiun Meteorologi Bandara Baabullah Ternate, memaparakan beberapa hal penting menyangkut iklim dan cuaca local Maluku Utara dan Indonesia. Menurutnya hasil analisis dan pantauan data 1980 sampai 2018 di 500 titik stasiun pengamatan BMKG di seluruh Indonesia, dari beberapa sampel titik pengamatan yang diambil menunjukan kecenderungan suhu rata rata ada peningkatan. Peningkatan suhu terjadi dari tahun ke tahun. Bahkan menuju tahun 2020 dari keseluruhan data menunjukan ada peningkatan rata- rata normalnya
Keseluruhan data menunjukan adanya peningkatan. Di Malut terhadap kondisi normal selama 30 tahun pengamatan dari tahun 1980 sampai 2010, rata rata terjadi kenaikan suhu. Sementara kondisi anomaly pada 2015 naik 0,6 derajat celcius dibanding kondisi normalnya. Pada 2016 naik lagi menjadi 1,02 derajat . Pada 2017, 0,06 derajat, 2018 0,9 derajat, 2019 0,7 sampai 0,8 derajat. Rata rata suhu di Malut adalah 28 derajat. Ini trend yang naik. Meski ada daerah yang minus, misalnya di Bali ada penurunan suhu 1 derajat. Ini karena mungkin ada terobosan. Misalnya di Jepang mereka menanam padi di atas atap untuk menurunkan suhu.
Untuk suhu lokal Ternate, memasuki tahun 2020 mengalami kenaikan sampai 1,4 derajat. Sementara di Sanana naik 1,2 derajat. “Suhu setiap tahun semakin naik. Begitu juga curah hujan mengalami penurunan. Biasanya puncak hujan terjadi Desember tetapi hujan sangat kurang. Curah hujan jauh dari normal hanya 20 mm sampai 15 mm,” jelas Setyawan.
Dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Khairun Ternate Dr Adityawan Ahmad dalam pemaparannya saat mengisi FGD bersama jurnalis dan aktivis di Maluku Utara, mengungkapkan, sesuai apa yang dipelajari, perubahan iklim memberikan ancaman yang luar biasa. Hal ini perlu disikapi.
Sebenarnya, bicara perubahan iklim ini sudah didiskusikan tidak hanya di lokal tetapi juga nasional dan internasional. Baginya, perubahan iklim adalah seleksi alam. Siapa yang kuat dia yang bertahan. Ancamanya juga sangat menakutkan ke depan. Nanti akan berlaku juga teori evolusi.
Sebenarnya perubahan iklim dan apa penyebabnya berhubungan dengan perilaku manusia. Yang paling inti perubahan iklim adalah adanya peningkatan CO2. Adanya efek rumah kaca yang berfungsi mengatur suhu bumi tetap hangat, karena terjadi penebalan di lapisan atmosfer maka panas bertahan lebih lama di bumi sehingga terjadi peningkatan suhu.
Manusia kata dia, sebenarnya memiliki peran penting meningkatkan terjadinya perubahan iklim. Salah satunya dari kendaraan, AC atau kulkas di rumah-rumah. Dari alat- alat ini sebenarnya dapat dihitung sumbangan manusia terhadap CO2 di alam. “CO2 ini sebenarnya digunakan oleh tumbuhan untuk fotosintesis. Sementara banyak tumbuhan dari hutan tergerus sehingga CO2 semakin banyak tidak terserap.
Sejak revolusi industry, karbon massive dihasilkan dan memenuhi atmosfer. Negara Negara industri paling banyak memproduksinya dan beban tanggung jawabnya ke Indonesia dan Barzil yang memiliki hutan tropis terbesar. Indonesia sebenarnya diberi tanggung jawab oleh dunia Perubahan iklim bukan tanggung jawab satu pihak saja. Ada banyak aspek terkait. Karena itu semua pihak dari internasional, nasional hingga daerah berkomitmen menurunkan kenaikan suhu yang meningkat.
Dalam FGD ini, para jurnalis dan aktivis yang hadir menyampaikan sejumlah hal penting termasuk berbagai rekaman peristiwa di lapangan yang sebenarnya bagian dari dampak perubahan iklim. Misalnya ancaman terhadap petani yang menanam, nelayan yang melaut hingga ancaman hilangnya pulau-pulau kecil seperti di Maluku Utara. Di Kepualaun Sula ada pulau yang sudah hilang. Pulau Pagama namanya. Bagitu juga banyak rumah jatuh akibat aberasi. Ini fakta -fakta yang terjadi di lapangan. Belum lagi ancaman lain misalnya penyakit, pangan yang berkurang dan lain-lain. “Karena itu butuh kolaborasi bersama media, akademisi dan instansi terkait. Perlu lebih banyak memberikan informasi soal ini kepada public,”kata Awat Halim Pimpinan Redaksi Posko Malut yang hadir dalam FGD tersebut. (*)
CEO Kabar Pulau