Sampah menjadi masalah paling serius. Tidak hanya di kota tetapi juga di desa- desa di seluruh Indonesia. Dia menjadi masalah dan sangat mengancam lingkungan dan manusia terutama sampah plastic. Sampah jenis ini sulit terurai sehingga dilakukan berbagai riset untuk mengatasi makin banyaknya sebaran di lingkungan darat maupun laut.
Ada sejumlah cara mengatasi sampah ini salah satunya dengan membangun dan mengembangkan (PLTSA). Dikutip dari (https://indonesiabaik.id/infografis/pltsa-siap-hadir-di-12-kota-indonesia) disebutkan bahwa saat ini Pemerintah telah membangun infrastruktur Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 12 kota di Indonesia. Terhitung sejak 2019 hingga 2022 lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, ada 12 Pembangkit Listrik Tenaga Sambah (PLTSa) yang beroperasi guna menyelesaikan persoalan sampah di Indonesia. PLTSa itu berlokasi di DKI Jakarta, Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, Kota Makassar, Kota Denpasar, Kota Palembang dan Kota Manado.
Merinci lebih jauh, Surabaya (10 MW) akan menjadi kota pertama yang mengoperasikan pembangkit listik berbasis biomassa tersebut dari volume sampah sebesar 1.500 ton/hari dengan nilai investasi sekitar US$ 49,86 juta. Lokasi PLTSa kedua berada di Bekasi. PLTSa tersebut memiliki nilai investasi sebesar US$ 120 juta dengan daya 9 MW. Selanjutnya, ada tiga pembangkit sampah yang berlokasi di Surakarta (10 MW), Palembang (20 MW), dan Denpasar (20 MW). Total investasi untuk menghasilkan setrum dari tiga lokasi yang mengelola sampah sebanyak 2.800 ton/hari sebesar US$ 297,82 juta. Sisanya, Jakarta sebesar 38 MW dengan investasi US$ 345,8 juta, Bandung dengan kapasitas 29 MW dan investasi sebesar US$ 245 juta, Makassar, Manado, dan Tangerang Selatan dengan masing-masing kapasitas 20 MW dan investasi yang sama, yaitu US$ 120 juta. Dari 12 usulan pembangunan PLTSa yang ada, 4 di antaranya memiliki perkembangan yang cukup baik dan menunggu penyelesaian pada tahun ini, yang di antaranya berlokasi di Surabaya, Jakarta, Bekasi, dan Solo.
Di sisi lain, PLTSa menggunakan fitur teknologi pengolah sampah yang cocok digunakan di Indonesia. Teknologi termal ini dipilih berdasarkan kriteria Best Available Technology Meet Actual Needs. Kemudian, sebagian besar peralatan juga dibuat di dalam negeri dengan kapasitas sampah yang diolah sebesar 100 ton/hari. Sedangkan, listrik yang dihasilkan mencapai 700 kilowatt hour (kWh).
Studi Kasus PLTSa di TPA Bantargebang
PLTSa dibangun sejak 2018 dan selesai pada 2019. Pada 2019 dilakukan commissioning dan diresmikan oleh Menko Maritim Bapak Luhut B Panjaitan. Selanjutnya, pada 2020 sampai dengan 2022 PLTSa dioperasikan oleh DKI Jakarta cq Dinas Lingkungan Hidup dengan didampingi oleh BRIN. Jadi artinya sampai saat ini, PLTSa beroperasi sudah 4 (empat) tahun lebih.
PLTSa Merah Putih, merupakan PLTSa pertama di Indonesia yang beroperasi secara kontinyu. PLTSa yang di desain, konstruksi, pengoperasian oleh putra putri Indonesia. Performance hingga saat ini masih bagus ditandai dengan parameter-parameter desain masih terpenuhi.
Hal itu dibuktikan dengan emisi yang masih di bawah baku mutu yang ditetapkan KLHK untuk pembakaran sampah. PLTSa Merah putih sampai saat ini masih menjadi tempat untuk studi banding dari pemda lain, tempat belajar bagi mahasiswa magang, kuliah lapangan sampai dengan masyarakat DKI untuk melihat dari dekat proses pengolahan sampah secara terintegrasi.
PLTSa ini utamanya adalah untuk memusnahkan sampah yang sudah tidak dapat dimanfaatkan, secara cepat dan ramah lingkungan dan Energi listrik yang terjadi merupakan bonus. Selain itu, ia menekankan bahwa PLTSa yang dipakai yang berbahan bakar sampah tidak dipilah, sangat sulit untuk menghasilkan listrik secara optimal. PLTSa yang dibangun ini adalah fasilitas untuk membakar sampah kering yang sudah sudah dipilah.
Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mengedukasi dan menegakkan peraturan agar masyarakat memilah sampah menjadi 5 bagian : Sampah organik, sampah bisa didaur ulang, sampah plastik, sampah mudah terbakar non plastik, dan sampah residu. PLTSa ini dimanfaatkan untuk mengolah sampah mudah terbakar non-plastik.
PLTSa di Bantargebang sudah berhasil, tapi belum optimal. PLTSa tersebut masih skala pilot plant skala kecil. Agar lebih optimal maka perlu dibangun skala besar, dan yang tak kalah penting juga masyarakat harus dilibatkan untuk melakukan memilah sampah Ia menjelaskan, sampah yang tercampur dengan sampah organik yang basah, sangat sulit untuk dibakar dan menghasilkan listrik. Sampah organik ini dapat dijadikan makanan maggot, dan maggot bisa dimanfaatkan untuk makanan ayam dan lele.
PLTSa Bantargebang dapat diterapkan di setiap kota, yang menerapkan strategi pilah sampah. Tanpa itu PLTSa di manapun di Indonesia sangat sulit dikembangkan secara ekonomis. “Alam Indonesia yang berada di daerah tropis kondisinya bercurah hujan tinggi dan kelembaban tinggi, membuat sampah-sampah di Indonesia berinilai kalor rendah. Hal ini berbeda dengan sampah-sampah dari negera sub tropis yang bercurah rendah dan kelembaban yang rendah,” kata Kepala Organisasi Riset Energi dan Manufaktur (OREM) BRIN, Haznan Abimanyu seperti rilis yang dikutip melalui situs BRIN (https://www.brin.go.id/press-release/111488/peduli-sampah-nasional-brin-tawarkan-teknologi-hasil-riset). Sebagai informasi, selain teknologi dalam PLTSa, BRIN mengembangkan Strategy Integrated City Waste Management.
Lantas bagaimana dengan Maluku Utara khususnya Kota Ternate dalam mengatasi masalah sampah ini? Hingga kini belum terdengar ada wacana mengembangkan dan membangun infrstrktur PLTSa untuk mengatasi sampah yang kian hari semakin memusingkan semua pihak tersebut.
Padahal, sudah banyak dilakukan riset sebagai upaya mengatasi masalah ini. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) misalnya sedang mengembangkan alat pengolahan sampah plastik menjadi BBM pada skala komersial/industri (1-10 ton sampah plastik/hari). “Alat ini bahan bakarnya sampah juga, jenis sampah mudah terbakar non-plastik. Jadi alat ini dapat mengurangi 2 jenis sampah sekaligus. Dengan menerapkan teknologi ini, 20% berat sampah atau 48% volume sampah dapat dikurangi, dan akan menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) bagi daerah yang menerapkannya,”
Ini katanya sesuai amanat Undang-Undang No 18 tahun 2008, pengelolaan sampah terdiri dari pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah dilakukan pada level konsumen dan level produsen. Sedangkan penanganan sampah dimulai dari pemilahan hingga pemrosesan akhir.
BRIN turut mendukung melalui sumbangan teknologi dan telah banyak melakukan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan serta invensi dan inovasi bidang persampahan, dari hulu sampai dengan hilir.
Sesuai tema Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) baru baru ini yaitu “Tuntas Kelola Sampah untuk Kesejahteraan Masyarakat”, BRIN menawarkan teknologi hasil riset dan temuannya dalam mengurangi sampah. Tidak hanya itu, teknologi it bahkan dirancang untuk memanfaatkan sampah bagi kesejahteraan masyarakat.
Haznan Abimanyu menegaskan, BRIN ikut serta dalam memahamkan masyarakat dalam pengelolaan sampah di skala rumah tangga, skala Kawasan dan kota. Sebagai contoh, pelatihan-pelatihan kepada masyarakat bagaimana 3R (reduce, reuse, recycle) yang terintegrasi pada sirkular ekonomi. Pengelolaan sampah menjadi kompos, pengelolaan sampah menjadi Refused Derived Fuel (RDF) sebagai bahan bakar alternatif, sampai dengan Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL). Dalam tataran kebijakan, BRIN dilibatkan oleh Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pemerintah daerah (propinsi/kota/kabupaten), dan instansi terkait permasalahan sampah nasional maupun daerah.
Beberapa produk riset terkait pengelolaan sampah untuk pengurangan dan pemanfaatan sampah baik sampah medis maupun sampah non medis. “Untuk sampah medis, BRIN telah melakukan riset Alat Penghancur Jarum Suntik (APJS) generasi II yang kompak, murah, dan mudah dipakai dan dirawat, serta membutuhkan komsumsi listrik sangat rendah,” terangnya. Selain itu, juga dikembangkan Incenerator Sampah Infeksius Covid-19 Skala Kecil untuk Pabrik dan Perkantoran, Teknologi Bersih Pengolahan Sampah dengan Incinerator-Plasma, Instalasi Pengolahan Air Limbah dengan Plasma Nanobubble, Metode Daur Ulang Plastik Medis dengan Rekristalisasi, dan Daur Ulang Limbah Masker,”
Saat ini, BRIN tengah bekerja sama dengan mitra, mengembangkan teknologi Organic Rackine Cycle dengan memanfaatkan panas buang incinerator berbasis Hydrodrive untuk Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) skala 30 ton/hari untuk menghasilkan listrik. BRIN juga sedang memperkuat strategi management sampah yang optimal di masyarakat. “Kuncinya pemilahan sampah dari sumbernya. Dari eksperimen kami, dengan mengimbau 70% masyarakat berpartisipasi secara aktif dalam memilah sampah. Hasil eksperimen kami lainnya adalah bahwa seorang pekerja per hari dapat memungut dan memilah sampah untuk 250 kepala keluarga,” urainya.
BRIN juga sudah mendaftarkan paten, alat pengolah sampah organik (Lahsamor), yang dapat mengolah sampah organik di level rumah tangga, yang tidak bau, mudah dioperasikan, dan tidak memerlukan tambahan aditif ketika mengolahnya. Alat ini cukup diisi dengan 5 kg kompos lama sebagai starter, dan cukup tiap hari diputar manual sebanyak 5 kali. “Jika dibuat secara massal, alat ini bisa diproduksi dengan biaya Rp.500.000,-/buah. Apabila dibagikan ke setiap rumah di Indonesia, maka sampah yang diurusi oleh Pemda tinggal sampah yang kering dan bernilai kalor tinggi, yang mudah untuk diolah,” rincinya.(*)
CEO Kabar Pulau