Catatan dari Diskusi Bersama Stakeholder
Provinsi Maluku Utara yang terdiri dari pulau-pulau ini memiliki keragaman pangan lokal. Dari banyaknya pangan local yang dimiliki baik sagu, ubi-ubian maupun jenis biji-bijian memiliki sejarah panjang. Potensi sumber daya pangan itu diikuti berbagai tradisi dan budaya dalam menyiapkannya.
Selain kekayaan pangan, Bumi Maluku Utara juga punya kekayaan yang luar biasa dari beragam rempah. Sejarah sudah mencatat dari hasil rempah Indonesia bermula dijajah. Rempah menjadi mangnet menarik bangsa Eropa datang. Sebut saja Protugis pada 1509-1595 Spanyol 1521-1692, Belanda 1602-1942, dan Inggris 1811-1816.
Dalam urusan pangan Maluku Utara memiliki beragam kearifan. Ini terutama dalam penyiapannya mulai dari musim tanam dan proses panen hingga dihidangkan menjadi makanan. Mereka percaya kekuatan alam dan sang pencipta memiliki peran besar dalam berhasil tidaknya kerja kerja yang dilakukan.
Di belahan bumi pulau Halmahera dan beberapa pulau besar lainnya di Maluku Utara, mereka memiliki kearifan masing-masing dalam menanam dan menjaga alam. Di Halmahera Barat dikenal ritual Rion-rion dan Orom Sasadu. Ada praktik budi daya padi ladang suku Sahu Jio Tala’i Padusua. Ini adalah model pendekatan ritual yang dilakukan karena mereka percaya yang maha kuasa dan alam punya peran besar membuat usaha berhasil atau tidak.
Kampung samo, di Halamahera Selatan juga memiliki ritual khusus, dari sebelum menanam padi sampai panen. Praktek yang sama juga dilakukan petani di gugusan pulau-pulau kecil Makian, Kayoa Sula hingga ke Taliabu. Di daerah pulau-pulau ini juga beragam ritual turut dipraktekan.Terutama ketika menanam tanaman jenis biji-bijian seperti jagung dan padi. Mereka juga punya tradisi dan sejarah menyiapkan pangan yang telah dipanen sebagai buffer stok untuk kehidupan satu tahun.
Ritual jaga alam di kampung Kalaodi, Kota Tidore Kepulauaan, yang bernama Paca Goya misalnya merupakan upacara menjaga alam. Mereka memiliki keyakinan bahwa hutan dan tanah tidak boleh dirusak. Tanah juga membutuhkan waktu istrahat untuk dirusaki. Semua kekayaan budaya dan tradisi ini mewarnai setiap praktek pertanian yang dijalankan.
Dalam prakteknya 10 sampai 20 tahun belakangan ini, ada beragam kearifan mengelola pangan dan menjaga alam perlahan mulai terkikis. Perkembangan kehidupan sosial dan teknnologi telah mendistorsi hamper semua kehidupan manusia termasuk praktek menyiapkan pangan dengan usaha bercocok tanam.
Hal ini menjadi tantangan bagi Perkumpulan PakaTiva sebuah lembaga local di Maluku Utara yang mengusung isu literasi, budaya dan ekologi untuk menjaga kearifan local dan beragam praktek baik tetap lestari. Lembaga ini menginisiasi focus diskusi grup yang melibatkan berbagai pihak untuk menggali akar budaya dan kearifan yang dimiliki petani di Maluku Utara.
Risman Buamona Penulis Buku Catatan Belajar Kampung di Halmahera Timur menulis, pulau Halmahera adalah sumber pangan utama di masa lampau. Lembah- lembah tersubur pulau ini menjadi ruang hidup tanaman pangan bagi penduduk Halmahera dan sekitarnya, termasuk sagu. Sebelum dibudidayakan oleh penduduk, sagu tumbuh di daerah-daerah berawa.
Dalam risetnya itu dia menyebutkan, di Halmahera Timur, dusun-dusun sagu komunal berada beberapa di lembah luas seperti lembah Subaim dan Maba. Ironisnya, kedua lembah itu telah dialihfungsikan. Dusun sagu di lembah Maba diubah menjadi kawasan perkantoran pemerintah Kabupaten Halmahera Timur sejak wilayah itu ditetapkan sebagai ibukota kabupaten awal tahun 2000. Sedangkan di lembah Subaim, telah dikonversi jauh sebelumnya, sejak kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan transmigrasi lebih dari 30 tahun silam. Peengetahuan dan cara mengolah sagu merupakan salah satu bentuk paling nyata hubungan manusia dengan alam. Bahkan, kedua hal ini menjadi kewajiban bagi seorang laki-laki yang dianggap telah dewasa, dan telah siap untuk menikah. “Bisa mengolah sagu berarti telah sanggup menghidupi keluarga,” tulis Risman dalam risetnya itu.
Dia juga menggambarkan proses mengolah sagu yang diawali dari pengecekan pohon yang sudah tua untuk mengetahui batang sagu yang bisa menghasilkan banyak pati sagu. Pengetahuan masyarakat tentang sagu sudah turun temurun digunakan dalam proses ini.
Selain sagu, sumber pangan utama masyarakat Lolobata adalah padi kampung. Sejak dahulu padi kampung telah ditanam di Halmahera. Biasanya pada saat kebun baru dibuka. Sama halnya dengan sagu, bagi masyarakat Teluk Lolobata, padi kampung pun merupakan tanaman yang mewakili pengetahuan dan cara manusia mengolah alam. Oleh karena itu, sebelum berkebun, masyarakat Lolobata terlebih dahulu harus melaksanakan ritual membuka hutan.
Setelah lahan selesai dibuka dan dibersihkan, padi kampung siap ditanam. Masyarakat akan menggunakan pengetahuan tentang waktu berdasarkan tanda-tanda alam. Letak bintang salah satunya. Dengan melihat bintang, petani bisa tahu waktu musim hujan dan saat-saat burung pipit berkembang biak.
Saat padi dipanen juga tidak boleh dipetik secara sembarangan, tapi harus dipetik dari “lao” (arah pantai) ke “darat” (arah gunung). Tidak bisa sebaliknya. Seluruh hasil panen disimpan di dalam “bebereki” (lumbung). Selain menanam padi, di sekitar kebun pun ditanami berbagai jenis tanaman, seperti pisang, kasbi (singkong), botom,bawang, tomat, dan lainnya. Sementara untuk cabai, tanpa ditanam, tumbuh sendiri di dalam kebun. Kasbi/singkong merupakan salah satu tanaman pangan utama juga selain padi dan sagu.
“Dengan proses pengolahan yang cukup panjang, kasbi bisa dihasilkan menjadi tepung kasbi. Baik yang diolah sebagai papeda, maupun roti kasbi. Roti kasbi dapat bertahan berbulan-bulan.
Selesai masa tanam padi, lahan akan ditanami dengan tanaman perkebunan khususnya kelapa. Meskipun tanaman- tanaman bulanan (singkong, ubi, pisang, kacang tanah, dan seterusnya) juga tetap ditanam,” tulis Risman dalam risetnya.
Nursahid Musa Dewan Daerah Walhi Maluku Utara dalam diskusi yang digelar PakaTiva awal Agustus 2020 lalu bilang, kosmologi pangan Maluku Utara sebenarnya tidak lepas dari fungsi kelapa. Kelapa menjadi dasar seluruh pemanfaatan pangan di Maluku Utara. Sebut saja sagu, maupun ubi-ubian semua memiliki keterkaitan dengan kelapa. Apa pun sumber pangan yang dikonsumsi tidak terlepas dari kelapa. Bahkan kalau bicara kelapa dan pangan maka hamper semua daerah di Indonesia tidak hanya di Maluku Utara menjadikan kelapa sebagai sumber utama penyediaan pangan bagi kehidupan manusia.
“Semua penganan hamper dipastikan memiliki hubungan erat dengan kelapa. Pisang dan ubi bisa dibuat jadi pisang santan atau ubi santan. Begitu juga dalam penganan sagu selalu saja kelapa menjadi teman penganan ini. Karena itu bagi saya pangan local dan kelapa menjadi satu kesatuan yang utuh,” katanya. Saat ini yang dijadikan dasar sumber pangan oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara bukan hanya beras dan jagung, tapi juga ubi-ubian. Kalau beras dan jagung memang kita belum termasuk daerah penghasil beras lokal yang besar dibanding Sulawesi dan Jawa, namun untuk ubi-ubian Maluku Utara cukup mandiri sebagi penghasil ubi-ubian lokal yang besar.Terdapat beraneka ragam ubi-ubian lokal yang dapat menjadi sumber karbohidrat, misalnya : singkong, ubi jalar, talas, gadung, dll. Selain itu terdapat sumber karbohidrat lain yang dihasilkan cukup berlimpah di Maluku Utara yaitu sagu, pisang dan sukun. Pangan ini dapat menjadi pengganti beras.
Bicara soal pangan local di masyarakat adat Tobelo Dalam di Halmahera juga punya kosmologi sendiri. Kehidupan mereka yang bergantung pada hutan mengandalkan pangan yang berasal dari hutan. Mereka juga mengandalkan umbi-umbian. Pangan utama mereka adalah sagu. Mereka melindungi sagu sebagai salah satu sumber kehidupan mereka. Di Halmahera Timur mereka memiliki kawasan hutan sagu yang dikenal dengan kebun raja sebagai sumber utama pangan. Selain mengkonsumsi sagu sebagai sumber pangan utama tidak kalah pentingnya mereka menanam ubi- ubian seperti singkong dan batatas. Ini menjadi sumber pangan turun temurun. Untuk masyarakat Tobelo dalam di kawasan Tayawi Kota Tidore Kepulauan juga memiliki cara yang sama memanfaatkan pangan yang berasal dari hutan. Jika kesulitan bahan makanan pokok seperti, maka mereka memanfaatkan sejenis pohon yang masih masuk dalam jenis palm. Merreka menyebutnya dengan Pipitingi. pohon ini memiliki batang seperti pinang. Pohonnya ditebang kemudian dibelah dan dipukul pukul isinya kemudian diremas dengn disirami air. Dari sini akan keluar tepung putih yang kemudian ditampung menjadi tepung sagu dan dijadikan beragam penganan.
“Masyarakat Tobelo Dalam punya keragaman pangan maupun obat-obatan dari hutan. Saya beberapa tahun mengikuti riset dan menulis soal kehidupan orang Tobelo Dalam menemukan begitu beragam pangan mereka dan dikonsumsi turun temurun hingga kini,” katanya.
Bongky Motau dari Ternate Heritage Socety menjelaskan focus pada keragaman pangan dan budaya orang Ternate. Dia bilang kalau bicara pangan di Ternate maka bisa dilihat dalam tradisi yang berurat akar dalam kehidupan mereka. Berbagai ritual selalu berhubungan dengan pangan yang mereka konsumsi. Hal ini bisa dilihat dalam beragam tradisi, baik ketika pernikahan maupun di kematian. Ternate punya tradisi saro-saro dalam pernikahan dan tahlil ketika kematian. Dua tradisi ini kental dengan syariat agama. Tidak itu saja ada banyak pesan hadir dari beragam penganan dan sumber sumber pangan yang dibuat. Beragam makanan memiiliki makna masing masing yang dikenal dengan makanan adat Ternate. (*)
CEO Kabar Pulau