Home / Kabar Kampung

Minggu, 18 Oktober 2020 - 15:40 WIT

Bacarita Pangan Lokal Maluku Utara

Sagu bagi warga Umera Pulau Gebe tak sekadar bahan pangan tetapi menjadi sumber utama pendapatan.  Tampak seorang warga  mengarungkan sagu yang selesai di remas di kawasan pantai desa Umera/foto M Ichi

Sagu bagi warga Umera Pulau Gebe tak sekadar bahan pangan tetapi menjadi sumber utama pendapatan. Tampak seorang warga mengarungkan sagu yang selesai di remas di kawasan pantai desa Umera/foto M Ichi

Catatan dari Diskusi  Bersama Stakeholder

Provinsi Maluku Utara yang terdiri dari pulau-pulau ini memiliki keragaman  pangan lokal. Dari banyaknya pangan local  yang dimiliki baik sagu, ubi-ubian maupun jenis biji-bijian  memiliki sejarah panjang.  Potensi sumber daya pangan itu diikuti berbagai tradisi dan  budaya dalam menyiapkannya.

Selain kekayaan pangan, Bumi Maluku Utara juga punya kekayaan yang luar biasa dari beragam rempah. Sejarah sudah mencatat dari hasil rempah  Indonesia bermula dijajah.  Rempah menjadi mangnet  menarik bangsa Eropa datang. Sebut saja Protugis pada 1509-1595  Spanyol 1521-1692, Belanda 1602-1942, dan Inggris 1811-1816.    

Dalam urusan pangan  Maluku Utara memiliki beragam  kearifan. Ini  terutama dalam penyiapannya mulai  dari  musim tanam dan  proses panen hingga dihidangkan menjadi makanan.  Mereka percaya kekuatan alam dan sang pencipta memiliki peran besar dalam berhasil tidaknya  kerja kerja yang dilakukan.  

Padi ladang yang diusahaka warga Samo Halmahera Selatan dengan hanya mengandalkan alam tanpa pupuk dan pestisida. Padi ini berumur 6 bulan hingga memasuki masa panen foto/Mahmud Ichi

Di belahan bumi pulau Halmahera dan beberapa pulau besar lainnya di Maluku Utara,  mereka memiliki kearifan masing-masing dalam menanam dan menjaga alam.   Di Halmahera Barat dikenal  ritual Rion-rion dan Orom Sasadu. Ada  praktik budi daya padi ladang suku Sahu Jio Tala’i Padusua. Ini adalah model pendekatan  ritual yang dilakukan karena mereka  percaya yang maha kuasa dan alam punya peran besar membuat usaha berhasil atau tidak.

Kampung samo, di Halamahera Selatan juga memiliki ritual khusus, dari sebelum menanam padi sampai  panen. Praktek yang sama juga dilakukan petani di gugusan pulau-pulau kecil Makian, Kayoa Sula  hingga ke Taliabu. Di daerah pulau-pulau ini juga beragam ritual turut dipraktekan.Terutama ketika menanam tanaman jenis biji-bijian seperti jagung dan padi. Mereka juga punya tradisi dan sejarah menyiapkan pangan yang telah dipanen sebagai buffer stok untuk kehidupan satu tahun.  

Ritual jaga alam di  kampung Kalaodi, Kota Tidore Kepulauaan, yang bernama Paca Goya misalnya merupakan upacara menjaga alam. Mereka memiliki   keyakinan bahwa hutan  dan tanah  tidak boleh dirusak. Tanah juga membutuhkan waktu istrahat  untuk dirusaki.  Semua kekayaan budaya dan tradisi ini mewarnai setiap praktek pertanian yang dijalankan.

Kebun pisang Salah satu cara warga mempertahankan pangan lokal selain sagu adalah menanam pisang di lahan-lahan mereka foto/Mahmud Ichi

Dalam prakteknya 10 sampai 20 tahun belakangan ini, ada beragam kearifan mengelola pangan dan menjaga alam perlahan  mulai terkikis. Perkembangan  kehidupan sosial dan teknnologi  telah  mendistorsi  hamper semua kehidupan manusia termasuk praktek menyiapkan pangan dengan usaha bercocok tanam.

Hal ini  menjadi tantangan  bagi  Perkumpulan PakaTiva sebuah  lembaga  local di Maluku Utara yang mengusung  isu literasi, budaya dan ekologi  untuk menjaga  kearifan local  dan beragam  praktek baik tetap lestari.   Lembaga ini  menginisiasi focus diskusi grup yang melibatkan berbagai pihak  untuk menggali akar  budaya dan kearifan yang dimiliki  petani di Maluku Utara.

Risman Buamona  Penulis  Buku Catatan Belajar Kampung di Halmahera Timur  menulis,  pulau Halmahera adalah sumber pangan utama di masa lampau. Lembah- lembah tersubur pulau ini menjadi ruang hidup tanaman pangan bagi penduduk Halmahera dan sekitarnya, termasuk sagu. Sebelum dibudidayakan oleh penduduk, sagu tumbuh di daerah-daerah berawa.

Dalam risetnya itu dia  menyebutkan, di Halmahera Timur, dusun-dusun sagu komunal berada beberapa di lembah luas seperti lembah Subaim dan Maba. Ironisnya, kedua lembah itu telah dialihfungsikan. Dusun sagu di lembah Maba diubah menjadi kawasan perkantoran pemerintah Kabupaten Halmahera Timur sejak wilayah itu ditetapkan sebagai ibukota kabupaten awal tahun 2000. Sedangkan di lembah Subaim, telah dikonversi jauh sebelumnya, sejak kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan transmigrasi lebih dari 30 tahun silam. Peengetahuan dan cara mengolah sagu merupakan salah satu bentuk paling nyata hubungan manusia dengan alam. Bahkan, kedua hal ini menjadi kewajiban bagi seorang laki-laki yang dianggap telah dewasa, dan telah siap untuk menikah. “Bisa mengolah sagu berarti telah sanggup menghidupi keluarga,” tulis Risman dalam risetnya itu.

Baca Juga  Ini Cara Mendorong Warga Memetakkan Wilayah Adatnya

Dia juga menggambarkan proses mengolah sagu yang diawali dari pengecekan pohon yang sudah tua untuk mengetahui batang sagu yang bisa menghasilkan banyak pati sagu. Pengetahuan masyarakat tentang sagu sudah turun temurun digunakan dalam proses ini.  

Selain sagu,  sumber pangan utama masyarakat Lolobata adalah padi kampung. Sejak dahulu padi kampung telah ditanam di Halmahera. Biasanya pada saat kebun baru dibuka. Sama halnya dengan sagu, bagi masyarakat Teluk Lolobata, padi kampung pun merupakan tanaman yang mewakili pengetahuan dan cara manusia mengolah alam. Oleh karena itu, sebelum berkebun, masyarakat Lolobata terlebih dahulu harus melaksanakan ritual membuka hutan.  

Setelah lahan selesai dibuka dan dibersihkan, padi kampung siap ditanam. Masyarakat akan menggunakan pengetahuan tentang waktu berdasarkan tanda-tanda alam. Letak bintang salah satunya. Dengan melihat bintang, petani bisa tahu waktu musim hujan dan saat-saat burung pipit berkembang biak.  

 Saat padi dipanen juga  tidak boleh dipetik  secara sembarangan, tapi harus dipetik dari “lao” (arah pantai)  ke “darat” (arah gunung). Tidak bisa sebaliknya. Seluruh hasil panen disimpan di dalam “bebereki” (lumbung).  Selain menanam padi, di sekitar kebun pun ditanami  berbagai jenis tanaman, seperti pisang, kasbi (singkong), botom,bawang, tomat, dan lainnya.  Sementara untuk cabai, tanpa ditanam, tumbuh sendiri di dalam kebun. Kasbi/singkong merupakan salah satu tanaman pangan utama juga selain padi dan sagu.

“Dengan proses pengolahan yang cukup panjang, kasbi bisa dihasilkan menjadi tepung kasbi. Baik yang diolah sebagai papeda, maupun roti kasbi. Roti kasbi dapat bertahan berbulan-bulan.

Hutan sagu salah satu sumber pangan yang mesti terus dikembangkan/ foto mahmud ichi

Selesai masa tanam padi, lahan akan ditanami dengan tanaman perkebunan khususnya kelapa. Meskipun tanaman- tanaman bulanan (singkong, ubi, pisang, kacang tanah, dan seterusnya) juga tetap ditanam,” tulis Risman dalam risetnya.  

Nursahid  Musa Dewan Daerah  Walhi Maluku Utara  dalam diskusi yang digelar PakaTiva awal Agustus 2020 lalu  bilang,   kosmologi pangan Maluku Utara sebenarnya tidak lepas dari fungsi kelapa.  Kelapa menjadi dasar   seluruh  pemanfaatan pangan  di Maluku Utara. Sebut saja sagu, maupun ubi-ubian semua memiliki keterkaitan dengan kelapa. Apa pun   sumber pangan yang dikonsumsi   tidak terlepas dari kelapa. Bahkan kalau bicara kelapa dan pangan maka hamper semua daerah di Indonesia tidak hanya   di Maluku Utara   menjadikan kelapa  sebagai sumber utama  penyediaan pangan bagi kehidupan manusia.

Baca Juga  Hati hati, Kawasan Wisata Dialihkan ke Asing

“Semua penganan hamper dipastikan memiliki hubungan  erat dengan kelapa.  Pisang dan ubi  bisa dibuat jadi pisang santan atau ubi santan.  Begitu juga dalam penganan sagu selalu saja  kelapa menjadi teman penganan ini. Karena itu bagi saya pangan local dan kelapa menjadi satu kesatuan yang utuh,” katanya.  Saat  ini yang dijadikan dasar sumber pangan oleh  Pemerintah Provinsi  Maluku Utara bukan hanya beras dan jagung, tapi juga ubi-ubian.  Kalau beras dan jagung memang kita belum termasuk daerah penghasil beras lokal yang besar dibanding Sulawesi dan Jawa, namun untuk ubi-ubian Maluku Utara cukup mandiri sebagi penghasil ubi-ubian lokal yang besar.Terdapat beraneka ragam ubi-ubian lokal yang dapat menjadi sumber karbohidrat, misalnya : singkong, ubi jalar, talas, gadung, dll. Selain itu terdapat sumber karbohidrat lain yang dihasilkan cukup berlimpah di Maluku Utara yaitu sagu, pisang dan sukun.  Pangan ini dapat menjadi pengganti beras.    

Bicara soal pangan local di masyarakat adat Tobelo Dalam di Halmahera juga punya kosmologi sendiri. Kehidupan mereka yang bergantung pada hutan  mengandalkan pangan yang berasal dari hutan.  Mereka juga mengandalkan umbi-umbian. Pangan utama mereka adalah sagu. Mereka melindungi sagu sebagai salah satu  sumber kehidupan mereka. Di Halmahera Timur mereka memiliki   kawasan hutan  sagu yang dikenal  dengan kebun raja sebagai sumber utama pangan. Selain mengkonsumsi sagu sebagai  sumber pangan utama tidak kalah pentingnya mereka menanam ubi- ubian  seperti singkong dan batatas. Ini menjadi sumber pangan  turun temurun.   Untuk masyarakat Tobelo dalam  di kawasan Tayawi Kota Tidore Kepulauan juga memiliki cara yang sama memanfaatkan pangan yang berasal dari hutan. Jika kesulitan bahan makanan pokok seperti, maka mereka memanfaatkan sejenis pohon yang masih masuk dalam jenis palm. Merreka menyebutnya dengan Pipitingi.  pohon ini memiliki batang  seperti pinang. Pohonnya  ditebang kemudian dibelah dan dipukul pukul  isinya kemudian diremas dengn disirami air. Dari sini akan keluar tepung putih   yang kemudian ditampung menjadi tepung sagu dan dijadikan beragam penganan.  

“Masyarakat Tobelo Dalam punya keragaman  pangan  maupun obat-obatan   dari hutan. Saya beberapa tahun mengikuti riset  dan menulis soal kehidupan orang Tobelo Dalam menemukan  begitu beragam pangan mereka dan dikonsumsi turun temurun hingga kini,” katanya.

Bongky Motau dari Ternate Heritage Socety menjelaskan focus pada  keragaman pangan dan  budaya orang Ternate.  Dia bilang kalau bicara pangan di Ternate maka bisa dilihat dalam  tradisi yang   berurat akar dalam kehidupan mereka. Berbagai ritual  selalu berhubungan dengan pangan yang mereka konsumsi.   Hal ini bisa dilihat  dalam beragam tradisi, baik ketika pernikahan  maupun di  kematian.  Ternate punya tradisi saro-saro  dalam pernikahan  dan  tahlil  ketika kematian. Dua tradisi ini kental dengan syariat agama. Tidak itu saja   ada  banyak pesan hadir dari beragam penganan dan sumber sumber pangan yang dibuat.  Beragam makanan  memiiliki makna  masing masing yang  dikenal dengan makanan  adat Ternate. (*)  

Share :

Baca Juga

Kabar Kampung

Di Ekspedisi Maluku Warga Suma Makean Dapat Layanan Kesehatan dan Saprodi

Kabar Kampung

“Oji” Si Yakis Bacan akan Dikembalikan ke Alam Liar

Kabar Kampung

Kelompok Tani Hutan di Tidore Kembangkan Minyak Kelapa

Kabar Kampung

Cerita Miris Warga Pulau Terluar Kota Ternate (2) Habis

Kabar Kampung

Dua Masalah di Tiga Pulau Halmahera Selatan   

Kabar Kampung

Toyom, Pohon Penyembuh Luka dari Halmahera

Kabar Kampung

Cerita Warga Mengolah Aren, Melindungi Hutan Halmahera

Kabar Kampung

Tanam Mangrove agar “Merdeka” dari Abrasi