Sisi Lain Kehidupan Warga Sawai di Halmahera Tengah
Daun pandan jenis buro-buro (Pandanus tectorius) menumpuk di teras depan, rumah keluarga Elisa Nusu (65 tahun). Sore di awal Januari 2021 itu, Elisa bersama istrinya Angga Nice Loha (60), menggulung daun buro-buro yang diambil tak jauh dari kawasan pantai Desa Gemaf Weda Utara Halmahera Tengah itu, telah dibersihkan duri di tepi daunya. Daun pandan itu juga sudah kering setelah dijemur beberapa hari.
Elisa sudah menggulung empat gulungan daun pandan yang disimpan sebagai bahan baku tikar pandan. ”Nanti mau bikin kokoya orang sini bilang,” kata Elisa warga suku Sawai Gemaf Weda Utara Halmahera Tengah belum lama ini.
Tujuan digulungnya daun pandan itu agar ketika menganyam kokoya tidak terlalu sulit karena daunnya sudah tertata rapi.
Sekadar diketahui, Kokoya adalah jenis tikar yang dianyam menggunakan daun pandan yang tak disayat kecil- kecil. Sementara tikar, dianyam menggunakan daun pandan yang telah diraut dengan diberi ragam bahan pewarna. Tikar jenis ini lebih halus dan menarik serta pengerjaannya membutuhkan waktu agak lama.
Elisa dan istrinya mengambil daun pandan tak jauh dari Desa Gemaf tepatnya di bagian utara desa ini karena belum dieksploitasi perusahaan tambang walau telah masuk dalam wilayah konsesi PT Weda Bay Nikel. “Karena dorang (mereka,red) perusahaan tambang belum gusur jadi masih bisa dapat daun buro buro (pandan, red) di daerah tak jauh dari pesisir pantai,” katanya.
Dia bilang kokoya ini akan dipakai sehari-hari di rumah. Bisa juga dibawa ketika melakukan perjalanan menggunakan kapal. Sementara untuk jenis tikar, kadang menjadi buah tangan untuk keluarga dan handai taulan. Bahkan tikar dalam beberapa hajatan, misalnya kawinan menjadi barang seserahan dari mempelai pria untuk wanita. “Kalau tikar itu dia pe bikin (cara buat,red) agak susah dan lama. Kadang tiga minggu baru bisa anyam satu tikar,”cerita Angga.
Di Gemaf, warga terutama ibu-ibu biasanya membuat kokaya, tikar dan kalasa. Kokoaya menggunakan daun pandan yang agak lebar, sementara tikar menggunakan daun pandan yang telah disayat halus dan diberi warna. Untuk kalasa dibuat dari kulit pelepah sagu.
Di Gemaf kata Angga, masih ada yang bikin jenis jenis tikar ini, meski tinggal sedikit orang.
Di kampungnya, perajin tikar dan kokoya ini sudah jarang ditemukan sekarang ini orang kampong lebih senang menggunakan tikar plastic karena dengan uang Rp100 ribu sudah bisa membeli tikar plastic. Padahal katanya untuk kenyamanan tidur kokoya, tikar dan kalasa memiliki nilai lebih dibanding tikar plastik.
Dia lantas bilang, saat ini sudah jarang dan hamper tidak ada anak muda mau belajar bikin tikar dari daun pandan. Biasanya yang menganyam dan menghasilkan tikar ini ibu-ibu yang usianya sudah ujur.
Padahal katanya di kalangan orang Halmahera terutama di Tengah dan Halmahera Utara tikar jenis ini menjadi bagian dari barang seserahan yang dibawa serta dalam acara perkawinan. .”Yang kami tahu di bagian utara Halmahera tikar ini jadi bagian penting kalau ada anak laki-laki yang menikah,” ujar Angga.
Meski begitu dia akui saat ini yang sulit itu bahan baku dan orang yang menganyam tikar ini. “So jarang (sudah jarang) anak muda perempuan belajar membuat tikar. Kalau orang tua tua sudah tidak ada (meninggal, red) dipastikan budaya bikin tikar dari daun buro-buro ini juga akan hilang,” imbuhnya.
Karena itu bagi dia tradisi ini terutama di Weda atau di kelompok masyarakat Sawai, anak mudanya juga sudah harus belajar menganyam tikar. Apalagi katanya di kelompok masyarakat suku Tobelo, Galela, atau Sawai tikar ini, adalah bagian dari tradisi yang seharusnya tetap dipertahankan dan lestarikan. Sayang katanya, anak muda sekarang lebih senang tikar plastic yang dibeli di toko.
Salah satu daerah yang terbilang banyak memproduksi tikar anyam ini adalah warga di Morotai. Namun demikian dalam 20 tahun terakhir tikar anyam dari daun pandan ini sudah semakin langka. Bahkan untuk mendapatkan orang yang menganyam tikar pandan juga sudah sulit.
Indah Indriyani warga Sangowo Morotai Timur mengaku di kampungnya dulu banyak ibu-ibu membuat anyaman tikar dari daun pandan. Namun dalam 15 tahun terakhir sudah sangat jarang ditemukan ditemui lagi. Indah bahkan berusaha mencari para perajin di kampungnya untuk memastikan produksi tikar ini, tetapi sudah tak lagi menemukan. “Kampung saya di Sangowo. Dulu ibu- ibu yang bikin tikar pandan ini ada. Tapi sekarang sudah sangat sulit ditemukan,” katanya saat dihubungi dari Ternate.
Dia bilang, saat ini yang sulit itu bahan baku pandan dan mereka yang membuat atau menganyam tikar. Kalaupun ada di kampungnya tersisa orang tua tua yang biasa membuatnya.
“Saya sudah coba keliling kampung untuk cari tahu orang tua-tua yang masih konsisten menganyam tikar. Sayang sudah tidak ada lagi,” katanya. (*)
CEO Kabar Pulau