Pengaruhi Pengambil Kebijakan hingga Kampanye untuk Kaum Mileneal
Maluku Utara dengan ribuan pulaunya memiliki potensi sekaligus masalah. Terutama ancaman bencana perubahan iklim.
Dampak perubahan iklim sebenarnya sudah sangat serius. Tidak hanya banjir akibat bencana hydromterologi, tetapi juga kecelakaan laut (lakalaut) yang terjadi hamper setiap saat akibat cuaca buruk. Banjir dan lakalaut jadi masalah yang menghiasi Maluku Utara hamper sepanjang tahun. Tak hanya korban material, puluhan nyawa ikut melayang akibat rententan peristiwa tersebut.
Lakalaut sepanjang 2021 sesuai data Basarnas Ternate ada 30 kejadian dengan korban 782 orang di mana 1 warga meninggal dan 14 orang hilang. Terbaru adalah peristiwa kecelakaan kapal KM Cahaya Arafah di perairan Gane Barat Halmahera Selatan dengan korban 77 penumpang di mana 66 orang selamat 10 orang meninggal dan 1 orang dinyatakan hilang. Belum lagi bencana banjir yang kejadiannya sudah ratusan kali diberbagai tempat di Maluku Utara dengan korban harta bahkan nyawa. Itu masalah yang nyata di depan mata.
Bagaimana dengan dampak lain bagi petani dan nelayan? Pendapatan petani di Maluku Utara sangat tergantung dengan hasil perkebunan. Ambil contoh petani cengkih, sudah tiga tahun ini mereka merana. Pasalnya, akibat dampak musim hujan dan kemarau yang tak teratur membuat cengkih juga tak berbuah. Rempah yang jaya di masa lalu ini memiliki ketergantungan dengan kondisi hujan dan panas yang harus teratur.
Musim panen cengkih misalnya, dilakukan sejak tahun 2019 lalu. Artinya sudah tiga tahun ini cengkih belum berbuah lagi. Para petani cengkih di Kalaodi Pulau Tidore misalnya, mengatakan persoalan ini lebih karena adanya kondisi iklim tidak teratur seperti sebelumnya. “Cengkih so tara babuah so tiga tahun ini. Bisa torang tau sandiri ini karena musim hujan dan panas yang sudah tidak lagi menentu,” komentar Samsudin Ali petani cengkih dan tokoh masyarakat Kelurahan Kalaodi Tidore Kepulauan.
Begitu juga dengan nelayan di Ternate. Waktu menangkap ikan mereka juga sangat tergantung dengan cuaca harian. Beberapa bulan belakangan ini kondisi cuaca sangat tidak menentu sehingga memengaruhi hasil tangkapan mereka. Di 2022 ini turun melaut sudah sangat terganggu. “Kadang istrahat hingga hamper dua minggu, karena menyesuaikan kondisi laut,”keluh Icu Jou salah satu nelayan tradisional Kelurahan Sangaji Kota Ternate Utara Ternate Maluku Utara.
Apa yang diungkapkan warga Ternate dan Tidore di atas adalah setidaknya mewakili petani dan nelayan sekaligus bagian dari fakta ancaman perubahan iklim yang nyata dampaknya bagi kehidupan masyarakat petani dan nelayan saat ini.
Masalah ini yang mendasari lembaga swadaya masyarakat PakaTiva Maluku Utara yang kemudian dalam tiga tahun terakhir melakukan berbagai upaya mendorong isyu perubaha iklim menjadi perhatian semua pihak. Apa yang dilakukan itu menyasar berbagai kelompok masyarakat serta para pihak yang diharapkan bisa berkontribusi dalam kebijakan pembangunan yang ramah terhadap isu perubahan iklim. Aksi nyata juga menyasar kaum milineal untuk lebih concern dengan kampanye melalui aksi- aksi.
Direktur PakaTiva Nursyahid Musa menjelaskan, wilayah pulau-pulau kecil dan pesisir laut di Timur Indonesia, terutama Maluku Utara rentan terhadap dampak krisis iklim global. Perubahan pola cuaca ekstrem dan kenaikan suhu rata-rata dalam waktu yang cukup panjang—seperti apa yang dilaporkan Stasiun Metereologi Kelas I Sultan Baabullah Ternate per 2020—berdampak langsung terhadap sektor produktifitas masyarakat tempatan, pertanian dan perikanan. Tentu saja katanya dalam konteks kebencanaan perlu dipikirkan secara serius apa pendekatan strategi mitigasi adaptasi sebuah wilayah dengan karakter dan pola produksi pemukim yang hidup di pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dia lantas membeber sejumlah masalah yang perlu dipikirkan solusinya menyikapi problem perubahan iklim tersebut. Menurutnya, perlu dipikirkan implementasi pembangunan rendah karbon dan ketahanan terhadap perubahan iklim melalui restorasi, pengelolaan dan pemulihan ekosistem pesisir. Rehabilitasi hutan dan lahan serta pengurangan laju deforestasi. Selain itu perlu mengubah arah pengelolaan hutan yang semula berfokus pada pengelolaan kayu ke arah pengelolaan berdasarkan ekosistem sumber daya hutan dan berbasis masyarakat yang memiliki landbase yang berkelanjutan.
Untuk pemerintah, perlu dibangn persepsi dan respon daerah atas kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan memberikan akses kelola hutan kepada masyarakat yang berkeadilan dan berkelanjutan melalui perhutanan sosial dan kemitraan konservasi.
Perlu juga strategi pembangunan berkelanjutan mempertimbangkan pendekatan berbasis penyelesaian konflik yang terkait dengan kasus tenurial kehutanan, perikanan berkelanjutan, dan memberikan aset legal lahan bagi masyarakat. “Sejauh mana proses internalisasi prinsip-prinsip daya dukung dan daya tampung lingkungan diakomodir ke dalam penyusunan KLHS yang kemudian menjadi acuan revisi RTRW sebagai arahan spasial makro pembangunan kehutanan tahun 2011-2030 dari KLHK. Bagaimana tindakan preventif daerah dalam konteks meminsimalisir kehilangan keanekaragaman hayati dan keruakan ekosistem melalui upaya-upaya konservasi kawasan serta perlindungan keanekaragaman hayati yang terancam punah baik di darat maupun pesisir laut.
Adakah kalkulasi skala risiko yang dihadapi ke depan ketika maraknya izin diberikan kepada industri pertambangan/smelting dalam satu kawasan berhutan di Maluku Utara. Selain itu bagaimana strategi intervensi pengendalian emisi yang dihasilkan dari aktivitas industri padat karbon di daerah. “Ini pertanyaan -pertanyaan dalam hal kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan isyu perubahan iklim,” cecarnya.
Selain ini dia juga mempertanyakan bagaimana roadmap Kelautan dan Perikanan bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dalam konteks pembangunan berkelanjutan di daerah ini. Berbagai persoalan kebijakan itu, dibutuhkan penyadaran kepada berbagai kelompok masyarakat.
“PakaTiva telah melakukan beberapa kegiatan mulai dari FGD dengan pemerintah daerah terkait kebijakan pembangunan berkelanjutan di Maluku Utara, serta kampanye membangun kesadaran bahaya perubahan iklim yang mengancam alam dan manusia kini dan di masa depan. Kampanye itu dilakukan dengan mendatangi sekolah SMA untuk mengakampanyekan bahaya sampah plastic bagi alam. Tidak itu saja, dampaknya terhadap kondisi laut dan pulau-pulau kecil di Maluku Utara,” jelasnya.
Tidak hanya kampanye di sekolah, isu Ternate bebas sampah plastic melalui aksi jalanan juga ikut digeber. ”Ini semua adalah aksi nyata membangan kesadaran tentang dampak perubahan iklim bagi masyrakat,”jelasnya. (*)
CEO Kabar Pulau