Home / Lingkungan Hidup

Minggu, 19 Mei 2024 - 20:37 WIT

Banyak Celah Dalam RUU KSDAHE 

Paruh Bengkok yang ditangkap di Alam

Paruh Bengkok yang ditangkap di Alam

FWI: Implementasiya Dikuatirkan Masuk Policy Trap

Dalam upaya meningkatkan perlindungan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, Panitia Khusus Komisi IV DPR RI telah mengadakan serangkaian rapat bersama Pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk membahas substansi RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE).

Rilis yang dikirimkan Forest Watch Indonesia (FWI)  dan diterima kabarpulau.co.id pada 15 Mei 2024 lalu menyebutkan bahwa, dalam proses tersebut, sejumlah poin penting telah disepakati untuk menghadirkan formulasi pengelolaan.

Dalam dokumen per tanggal 19 Maret 2024 yang diterima, Tim Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti beberapa aspek penting yang menjadi atensi, yaitu Pembagian Kewenangan, Kategorisasi Satwa, dan Pengenaan Sanksi. Dalam dokumen rumusan kesepakatan, pembagian kewenangan dalam pelaksanaan KSDAHE, dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan mandat UU Nomor 23 Tahun 2014.

Dikhawatirkan implementasi KSDAHE di lapangan justru masuk ke dalam policy trap (kebijakan jebakan,red). Areal preservasi dimaksudkan untuk lebih mengakomodasi perlindungan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berada di luar status kawasan konservasi. Sebelumnya menggunakan istilah “Ekosistem Penting di Luar Kawasan Konservasi” yang kewenangannya dimandatkan pada Pemerintah Daerah.

Burung Pitta Ternate yang berhasil diabadikan oleh JuJunaidi Hanafiah fotografer Mongabay burung yang terancam punah ini berada di luar kawasan konservasi

Data FWI menyebutkan 90 persen kerusakan sumber daya alam berupa ekosistem hutan alam terjadi di luar kawasan konservasi, yakni kawasan hutan dengan fungsi produksi, lindung, dan pada APL. Areal preservasi harus dimaknai sebagai areal yang ditingkatkan status perlindungannya.

Baca Juga  Kayu Besi di Hutan Halmahera yang Terancam  

Koalisi Masyarakat Sipil menilai regulasi untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam beserta ekosistemnya yang berada di luar kawasan konservasi tidak dimaknai sebagai pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab perlindungan sumber daya alam kepada Pemerintah Daerah semata.

Bottleneck untuk mengatasi permasalahan terkait areal preservasi di Kawasan Hutan Produksi (HP), Hutan Lindung (HL), dan Areal Penggunaan Lain (APL) adalah kekuatan (power) dan kewenangan yang dimiliki Pemerintah Daerah. Dimana pembagian kewenangannya saat ini mengikuti aturan pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Implementasinya saat ini tidak cukup memperkuat peran Pemda. Contohnya misal dalam pengaturan kepatuhan kinerja perusahaan kehutanan, tambang, dan perkebunan dalam pengelolaan sumber daya hutan di dalam konsesi.

Juru Kampanye FWI, Anggi Putra Prayoga menilai pembahasan RUU KSDAHE di DPR RI masih menyisakan beberapa celah yang perlu dibenahi. DPR RI dan pemerintah belum menentukan aspek penting dalam areal preservasi, yakni mekanisme dan tata cara penetapannya. Penetapan areal preservasi tentunya sarat kepentingan.

Sekitar 18.5% persen atau seluas 14,2 juta hektar ekosistem penting di luar kawasan konservasi (termasuk gambut, mangrove, karst, areal bernilai konservasi tinggi, taman keanekaragaman hayati, dan koridor satwa) berada di dalam konsesi perusahaan (PBPH-HA, PBPH-HT, Kebun dan Tambang).

Baca Juga  Jaring Nusa: Visi Indonesia Emas 2045, Wajib Pastikan Hak Masyarakat Pesisir dan Pulau Kecil  

Muhamad Satria Putra dari Garda Animalia menyoroti kemunduran dalam upaya penegakan hukum pada dokumen Kesepakatan Rumusan RUU KSDAHE per tanggal 19 Maret 2024. Pengawetan terhadap jenis Tumbuhan dan Satwa masih tetap menggunakan nomenklatur dilindungi dan tidak dilindungi. Padahal tidak semua Tumbuhan dan Satwa memiliki valuasi yang serupa serta memiliki tingkat ancaman kepunahan yang berbeda-beda. Pasalnya dalam draf RUU inisiatif DPR RI per 7 Juli 2022, usulan mengenai ketentuan pengawetan jenis Tumbuhan dan Satwa menggunakan pengkategorian berdasarkan tingkatan status perlindungan atau seperti halnya keberlakuan di perjanjian internasional. Koalisi Masyarakat Sipil menilai dengan menggunakan pengkategorian berdasarkan tingkatan status perlindungan justru memudahkan aparat penegak hukum untuk mencapai tujuan pemidanaan yang berkeadilan. Selanjutnya pada bagian pengenaan sanksi dalam bab ketentuan pidana, ancaman pidana bagi orang perseorangan DPR RI harus tetap berpegang teguh pada sanksi kumulatif dengan pengaturan pidana minimal.

Tindak pidana di bidang konservasi merupakan kejahatan serius (serious crime) sehingga keberadaannya tak hanya untuk mencapai tujuan pemidanaan, tetapi juga dapat memberikan efek jera bagi para pelaku. (*)

Share :

Baca Juga

Lingkungan Hidup

 Ini Urgensinya Energi Bersih dan Terbarukan  

Lingkungan Hidup

Ini Potensi Keanekaragaman Hayati Tiga TWP di Malut (1)

Lingkungan Hidup

Selamatkan Air Tanah, Tanam Sagu dan Buat Sumur Resapan

Kabar Kota Pulau

Negara Pulau dan Kepulauan akan Gelar Kongres

Lingkungan Hidup

Gurango Haga Pilihan Wisata Bawah Laut di Sail Tidore 2022 

Kabar Kampung

KTH Woda Oba Tidore Kepulauan Kirim Damar ke Surabaya

Lingkungan Hidup

Di Pulau Obi Rawan Tangkap dan Jual Paruh Bengkok

Lingkungan Hidup

Penemuan Lebah pluto di Halmahera Jadi Perbincangan Ilmuan Dunia