Generasi Z dan Alpha Paling Terdampak Perubahan Iklim di Masa Depan
Dampak yang ditimbulkan dari adanya perubahan iklim, tidak hanya dirasakan manusia dewasa yang menempati bumi saat ini. Berbagai ancaman juga akan dirasakan juga oleh Gen Z dan Alpha termasuk di Indonesia dan Maluku Utara khususnya. Lalu siapakah gen z dan alpha itu? Dikutip dari sejumlah sumber seperti Suhantono (2021: 38), menyebutkan bahwa, generasi Z adalah generasi yang lahir dari tahun 1995-2010. Sementara generasi alpha adalah mereka yang lahir setelah 2010 ini mobilitas digitalnya cukup tinggi. Saat ini saja hampir seluruhnya bergantung pada perangkat seluler.
Ternyata kedua kelompok ini juga akan terdampak akibat adanya perubahan iklim. Generasi Z dan Alpha akan menjadi generasi yang paling merasakan dampak dari perubahan iklim itu. Karena itu diharakan anak- anak muda yang jumlahnya mendominasi penduduk Indonesia saat ini bisa memberikan dampak signifikan terhadap aksi perubahan iklim.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam rilisnya 22 Agustus lalu menyebut, anak muda merupakan kelompok yang akan paling terdampak perubahan iklim. Karena itu penting bagi anak muda mau melakukan aksi-aksi nyata dalam pencegahan perubahan iklim.
Menurutnya, fenomena perubahan iklim semakin mengkhawatirkan serta memicu dampak yang lebih luas. Hal itu terlihat dari berbagai peristiwa alam terkait iklim. Dari suhu udara yang lebih panas, terganggunya siklus hidrologi, hingga maraknya bencana hidrometeorologi di berbagai belahan dunia.
Karena itu, seluruh generasi harus saling berkolaborasi menahan laju perubahan iklim itu.
” Gen Z dan Alpa akan menjadi generasi yang paling merasakan dampak dari perubahan iklim. Karenanya, saya yakin anak-anak muda yang jumlahnya mendominasi penduduk Indonesia bisa memberikan dampak signifikan terhadap aksi perubahan iklim,” kata Dwikorita dalam Festival Aksi Iklim dan Workshop Iklim Terapan, di Jakarta, Selasa (20/8/2024) lalu.
Festival itu merupakan rangkaian acara dalam Peringatan Hari Meteorologi Klimatologi dan Geofisika ke-7. Tema kegiatan tersebut adalah “Aksi Iklim Kaum Muda untuk Perubahan Iklim Indonesia”.
Dwikorita dalam penyampaiannya mengatakan, perubahan iklim global bukanlah kabar bohong (hoax-red) dan prediksi untuk masa depan, melainkan realitas yang dihadapi miliaran jiwa penduduk bumi. Fenomena tersebut tidak bisa dianggap sebagai sebuah persoalan sepele.
Lebih lanjut, dia menerangkan, Badan Meteorologi Dunia (WMO) baru saja menyatakan bahwa tahun 2023 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang pengamatan instrumental. Anomali suhu rata-rata global mencapai 1,45 derajat Celcius di atas zaman pra industri.
Angka ini, kata Dwikorita, nyaris menyentuh batas yang disepakati dalam Paris Agreement tahun 2015 bahwa dunia harus menahan laju pemanasan global pada angka 1,5 derajat Celcius. Pada 2023, terjadi rekor suhu global harian baru dan terjadi bencana heat wave ekstrem yang melanda berbagai kawasan di Asia dan Eropa.
Dwikorita mengungkapkan, BMKG sendiri memproyeksi suhu udara di Indonesia akan melompat naik hingga 3,5 derajat celcius dibandingkan zaman pra industri di tahun 2100 mendatang apabila aksi mitigasi iklim gagal dilakukan.
“Sementara Badan Meteorologi Dunia (WMO), menyebut bahwa 2050 mendatang, dalam skenario terburuk maka negara-negara di dunia akan menghadapi tidak hanya bencana hidrometeorologi, namun juga kelangkaan air yang berakibat pada krisis pangan. Jika melihat tahun tersebut, maka dapat dipastikan bahwa Generasi Z dan Alpha lah yang akan paling merasakan,” imbuhnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Klimatologi, Ardhasena Sopaheluwakan menyampaikan bahwa perubahan iklim akan terus terjadi dalam beberapa dekade mendatang apabila tidak dilakukan aksi mitigasi. Dampak negatif yang telah ditimbulkan oleh perubahan iklim menuntut perlunya respon global untuk melakukan aksi mitigasi dan adaptasi. Dalam World Economic Forum 2023, lanjut dia, disampaikan juga bahwa kegagalan mitigasi dan adaptasi iklim merupakan risiko global terbesar dunia.
Menurutnya, kunci keberhasilan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim itu ada pada upaya yang dilakukan oleh masyarakat berdasarkan kesadaran dan pengetahuan yang mereka miliki. Nah, yang menjadi tantangan saat ini adalah bagaimana meningkatkan pemahaman iklim dan perubahan iklim di kalangan publik, terutama generasi muda, generasi milenial, gen-Z, yang mereka adalah generasi yang akan paling terpapar dampak perubahan iklim dalam satu atau dua dekade mendatang, sekaligus paling bertanggung jawab untuk melakukan segala tindakan dan upaya untuk menanggulanginya.
Tidak hanya meningkatkan pemahaman, tetapi juga mendorong aksi-aksi nyata dalam melakukan penanggulangan perubahan iklim melalui aksi mitigasi dan aksi adaptasi perubahan iklim.
“Diperlukan kesadaran dan tindakan yang masif dalam berbagai tingkatan disertai aksi iklim yang nyata dan terukur dalam mewujudkan target Perjanjian Paris, yaitu membatasi peningkatan suhu rata-rata global di bawah 1,5°C dari tingkat pra industri, dan harus ada aksi nyata di lapangan yang mendukung pencapaian Sustainable Development Goal (SDG), terutama pada SDG ke-13, climate action,” pungkasnya. (*)
CEO Kabar Pulau