Bagaimana Melakukannya di Komunitas?
Bencana baik alam maupun non alam berdampak cukup serius bagi warga. Pandemi Covid-19 misalnya, membuat hampir semua orang menjadi kurang produktif. Pemenuhan kebutuhan hidup di masa pandemi pun jadi tantangan. Warga menjadi sangat rentan terutama dalam memenuhi kebutuhan pangan. Karena itu perlu membangun ketangguhan. Menata kembali kehidupan sosial dan lingkungan, yang tahan goncangan bencana baik alam maupun non alam.
Setidaknya hal ini mengemuka dalam seri diskusi webinar online oleh Yayasan EcoNusa bersama lembaga mitra di Maluku Utara dan Papua, Mei lalu. Mengusung tema “Membangun Resiliensi Warga, menghadirkan Ahmad Mahmudi peneliti dari Lembaga Pengembangan Teknologi Perdesaan (LPTP), Dony Cahyono dosen UGM dan Insist Jogjakarta. Sementara lembaga di tingkat tapak, adalah Direktur Perkumpulan Paka Tiva Maluku Utara Faisal Ratuela dan Yanuairus Anouw Wakil Direktur Bentara Papua. Dua lembaga ini melalui aktivitas local, telah mendampingi warga menanam, riset hingga ragam pendidikan bagi warga di lapangan.
Lantas seperti apa pelaksanaanya di lapangan? terutama untuk kelompok komunitas?
Soal ini Bagi Dony Cahyono ,masyarakat diakui secara konstitusional memiliki keragaman mempertahankan hajat hidupnya. Berlaku prinsip rekognisi Negara dan prinsip kerja subsidiaritas. Baik komunitas desa maupun masyarakat hukum adat. Mereka tetap terikat pada huukum Negara. Hanya saja katanya menjalankan tatanan setempat sebagai cara mengatur peri kehidupan menjadi penting. “Kita perlu melakukan kontekstualisasi, revitalisasi, dan menempatkan hukum ulayat dan istiadat desa sebagai norma positif,” katanya.
Berhubungan dengan pengamalan konsepsi berdikari secara ekonomi, dalam hal investasi asing atau pun barang-barang impor yang dibutuhkan, semestinya hanya menjadi pelengkap atau contoh awal. Sebaliknya, kebutuhan dasar dan pokok harus diusahakan dengan mengolah dan mengembangkan kekayaan sumberdaya alam yang melimpah. Tentu menggunakan tenaga- tenaga terdidik yang dimiliki. “Kita perlu mengamalkan ajaran swadeshi dan memandang pasar sendiri, bukan menjadi pasar bagi produk asing,” katanya.
Ini butuh pengamalan dalam strategi kerja di komunitas. Dia bilang dengan prinsip hak asal usul dan kewenangan skala desa, semestinya komunitas hukum terbawah mampu mengontrol sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Mengembangkan model usaha koperasi produksi sector hulu–hilir untuk kebutuhan pangan dan papan, dan koperasi jasa untuk kebutuhan lain. Untuk produksi sector hulu pada kebutuhan pangan dan papan, perlu cermat menggunakan dana masyarakat, dana desa, dan dana Negara yang digunakan untuk kewenangan (sentraliasi, konsentrasi, tugas) yang dilaksanakan di Desa sehingga efisien dan efektif.
Pengamalan prinsip anti korupsi juga harus berjalan. Sistem tabungan dan gotong royong modal perlu diterapkan dengan mengaktualisasikan kemungkinan adanya system local yang telah hidup sebelumnya. Seperti Tabungan Ternak kecil, Ternak sedang, ternak besar dan pemanfaatan berbagai bentuk lahan. Termasuk diantaranya hutan, baik dengan skema perhutanan social atau lainnya.
Berkepribadian secara social budaya menurutnya, penting ditumbuh- kembangkan agar tidak terombang- ambing oleh semua hal yang berbau baru dan asing. “Kita punya kekayaan social dan budaya luar biasa kaya dan beragam. Ini harus kita kembangkan dalam rangka mewujudkan kepribadian bangsa. Kita harus menjadi bangsa besar dan kuat, dengan terus mengembangkan kekayaan sosial-budaya yang kita miliki,” jelasnya.
Pengamalan dalam strategi kerja di komunitas, di mana azas hidup yang pokok adalah kearifan local dan kemanusiaan yang universal. Gotong royong dalam berbagai bentuk kontribusi dapat dikembangkan. Mengeliminir kecenderungan menafsirkan adil dan sama. Di sisi lain, keunikan cara membangun keadilan di suatu komunitas, wajib diusahakan dengan menyerap prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang menjaga martabat manusia secara universal. Pengaruh kehidupan social dari ajaran agama dan ideologi perlu dilaksanakan dengan menjaga kearifan dan kemanusiaan, sedemikian rupa sehingga ajaran social budaya local dipertahanankan tetap terlaksana dengan tidak mengaburkan tujuan utama untuk keadilan sosial. Termasuk dalam hal keadilan jender dan pembangunan yang inklusif.
Direktur Paka Tiva Faisal Ratuela dalam diskusi itu menjelaskan beberapa hal yang telah dikerjakan di lapangan. Terutama membangun reseliensi warga di tingkat tapak. Dia bilang, pengalaman yang dikerjakan di Desa Samo Gane Barat Utara, Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara, bisa membantu warga menyiapkan pangannya. Luas desa hanya 4 ribu hektar lebih dengan tiga wilayah, yakni pemukiman, hutan dan kebun. Saat ini warga mulai membangun pangannya terutama padi ladang yang telah lama tidak ditanam lagi. Tidak itu saja pangan local ikut diusahakan.
Kampung dengan 621 jiwa itu awalnya memanfaatkan hasil hutan dan membangun kebun pangan. Kebun juga sebagai sumber ekonomi. Mereka ikut memanfaatkan hasil hutan non kayu. “Masyarakat desa ini bisa mewakili tipe masyarakat Maluku Utara dalam memanfaatkan hutan, serta perkebunan untuk tanaman tahunan seperti kelapa, kakao pala dan cengkih dan kebun untuk pangan,” jelas Faisal.
Dia cerita, warga terpuruk pangannya ketika investasi HPH ke desa itu 1980- an sampai 2000 yang mengelola wilayah konsesi mencapai 30 ribu hektar. Izin HPH ini kemudian membuka kawasan hutan sebagai sumber kehidupan warga. Masuknya investasi ini turut menggeser pola hidup masyarakat. Dari sebelumnya terbiasa menanam tanaman pangan, beralih menjadi membeli bahan pangan. “ HPH PT Taiwi meninggalkan desa itu sekira tahun 2000. Ketika itu kebiasaan warga menanam pangan menjadi hilang dan hanya mengandalkan hasil tanaman tahunan. Hasil panen tanaman tahunan ini membeli bahan pangan.
Kemudian 2016 masuk lagi rencana IUPHK PT Nusa Pala Nirwana dengan luas konsesi mencapai 28 ribu hektar. Seturut dengan itu, 2018 harga komoditi kopra jatuh ikut memukul kehidupan warga. “Sebelum masuk investasi, masyarakat punya ketahanan terhadap pangan terutama sagu. Bahkan setiap tahun warga juga dua kali menanam padi ladang. Pasca investasi mereka tidak lagi menanam tanaman pangan,” jelasnya. Warga lebih banyak menanam tanaman tahunan bertujuan menghasilkan uang.
Masuknya investasi sector kehutanan membuat pola ketergantungan berharap tanaman tahunan 3 kali produksi setahun. Padahal sebelum masuk investasi, kebutuhan pangan warga bisa terpenuhi. Di fase ini sangat rentan. Apalagi harga kopra jatuh membuat masyarakat tidak memiliki pegangan. Kondisi mereka juga rentan terhadap kemiskinan. Lebih menyengsarakan warga adalah masuknya program ternak sapi dari pemerintah provinsi Maluku Utara malah menjadi hama karena menyerang tanaman masyarakat. Akhirnya sumber pangan warga ikut ludes. “Saat harga kopra belum beranjak dan hama yang didatangkan pemerintah itu, membuat warga makin menderita,” imbuhnya.
Tahap ketiga lembaga Paka Tiva mencoba berkolaborasi mendamping warga menanam pangan dan mengelola tanaman perkebunan yang sudah dimiliki. Dari proses ini berjalan satu tahun mulai ada hasil. Warga perlahan mulai menyadari kerentanan yang mereka mereka. “Ada 8 kelompok tani yang didampingi, sudah berhasil memanen padi untuk kebutuhan mereka. Menanam padi ladang sebenarnya sudah jadi tradisi warga setempat turun- temurun,” jelasnya
Dia bilang dampak investasi tidak hanya mengubah pola pertanian warga, dampak lingkungan juga muncul. Fakta- fakta di lapangan pasca 2000- an, terjadi degradasi lingkungan luar biasa. Misalnya, ketika hujan terjadi banjr.
Soal pangan, pandemi ini sebenarnya membuka mata publik Maluku Utara, bahwa ketersediaan pangan begitu penting. Ini karena Maluku Utara berharap pasokan pangan dari Jawa dan Sulawesi. Otomatis pendemi ini membuat harga pangan menjadi naik. “Patut disyukuri di Samo sudah ada warga menyiapkan pangan mereka. Ini menjadi modal memenuhi kebutuhan pangan sehari hari. Kami memastikan hutan tetap terjaga dan masyarakat bisa menanam pangan untuk kebutuhan,” ujar Faisal.
Di masa pandemi Covid-19 ini dari hasil panen warga mereka bisa saling membantu. Terutama warga yang tidak mampu terutama para janda para lanjut usia dibagikan beras hasil panen mereka untuk meringankan beban warga yang lain. “Kita berbagi meski pun sedikit untuk saling meringankan beban,” ujar Husen salah satu anggota kelompok tani dihubungi dari Ternate.
Cerita membangun adaptasi warga juga disampaikanYanuairus Anouw Wakil Direktur Pusaka Bentara Papua. Dalam diskusi online seri kedua Senin (11/5/ 2020) lalu, dia menggambarkan kerja di lapangan yang mereka lakukan saat ini untuk beberapa komunitas di Sorong Selatan, Pegunungan Arfak, Raja Ampat dan Manokwari Papua Barat. Di bilang di Sorong selatan misalnya mereka mengidentifikasi potensi local yang dikembangkan untuk komunitas dampingan mereka. Misalnya, potensi di bidang pertanian terutama pangan local. Misalnya sagu, keladi, ubi jalar, singkong dan pisang. Sementara jenis hortikultura misalnya sayur-sayuran buah buahan dan tanaman obat.. Begituh juga dengan sumberdaya hutan. Di Sorong Selatan banyak potensi bisa dimanfaatkan. Semisal hasil hutan non kayu ada dammar, rotan, bambu, dan kulit kayu untuk pembuatan noken. Sementara hasil hutan jenis kayu,misalnya merbau, kayu matoa dan kayu putih.
“Di Sorong Selatan yang sudah kita lakukan untuk pendampingan di tingkat tapak, bahkan sudah ada hasil misalnya, membuat demplot dan menggerakan masyarakat menanam tanaman. Baik hortikutura maupun mengolah pangan local seperti sagu,” jelasnya. Bahkan warga komunitas juga dilatih membuat diversifikasi produk olahan sagu. Diakui memang saat ini masyarakat di daerah dampingan mereka ada mengkonsumsi beras yang didatangkan dari luar daerah. Studi kasus di salah satu desa dampingan yakni Desa Mlaswat dari 209 jiwa mereka mengkonsumsi beras mencapai 667 kilogram setahun.
Hal sama juga dilakukan di Kabupaten Pegunungan Arfak. Di sini ada beberapa sumberdaya local dikembangkan. Terutama potensi pertanian untuk pangan lokal teruatama ubi jalar dan keladi. Sementara jenis hortikultura sayur, buah-buahan dan tanaman obat juga ikut dikembangkan. Yang menarik di pegunungan Arfak memiliki potensi kopi arabika dan buah alpukat yang mulai dikembangkan. “Potensi ini coba dikembangkan bersama warga dampingan. Begitu juga potensi tanaman perkebunan serta perikanan air tawar yang dimiliki daerah ini,” jelasnya.
Menurut Anouw warga daerah ini telah didampingi dan berhasil menanam berbagai jenis hortikltura. Misalnya wortel kentang juga berhasil dikembangkan petani di pegunungan Arfak.
Hal yang sama juga dilakukan di Kabupaten Raja Ampat. Bentara Papua telah menginsiasi berbagai kegiatan bersama komunitas di tingkat tapak. Terutama dalam upaya memperkuat ketagguhan warga di bidang pangan. Ada berbagai potensi yang dimiliki, terutama pangan local seperti sagu, keladi dan pisang.
Selain itu ada juga pengembangan tanaman hortikutra dan buah buahan. Daerah ini juga punya potensi perkebunan seperti kelapa dan coklat. Sementara potensi lautnya terutama ikan dan lobster juga melimpah. “Banyak hal telah dilakukan Bentara di Raja Ampat,” ceritanya.
Anouw juga menjelaskan kerja kerja mereka di Papua Barat terutama di Manokwari, mereka mengembangkan hal yang sama dengan kabupaten lainnya. Sekaligus membantu memasarkan produk dari komunitas dampingan. Tidak itu saja kerja- kerja Bentara juga ikut mengedukasi warga komunitas di mana mereka bekerja. Hasilnya berbagai produk pangan maupun hasil olahan pangan local telah dikembangkan. Ambil contoh tepung sagu dan kopi yang kini telah dikembangkan sebagai industri kerajinan warga. (*)
CEO Kabar Pulau