Buat Kampung Bersih, Beri PAD Buat Kota Tikep
Memasuki kampong Tomolou di Kota Tidore Kepulauan dipastikan tidak akan menemukan sampah tercecer di jalanan. Begitu juga pantainya. Tidak ada lagi warga membuang sampah ke tepi pantai. Kondisi hari ini berbeda dari sebelum-sebelumnya. Di mana kebanyakan buang sampah ke laut dan pantai sebagaimana kebiasaan sebagian warga di Maluku Utara.
Lalu siapa yang membuat gerakan ini?
Ternyata sadar sampah dan upaya bersih kampong ini digerakkan anak- anak muda setempat. Berawal dari gerakan anak muda menghimpun dirinya dalam sebuah lembaga bernama Gerbong Desa. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan 15 orang pengurus semua dikendalikan anak muda Tomolou.
Mereka sadar bahwa sebagai kampong nelayan, jika membiarkan laut kotor, maka ikan habis dan mereka akan susah. Karena itu gerakan pertama dilakukan dengan membersihkan pantai dan laut.
“Kami awali dengan membersihkan sampah yang menumpuk di pantai dan laut di kampong Tomolou. Ada 7 ton sampah terkumpul hari itu di akhir 2018,” jelas Abdul Gani Fardanan Direktur LMS Gerbong Desa.
Dia bilang, upaya mereka ini dimulai sejak 2016. Tetapi devisi yang mengurusi khusus sampah pada 2018 lalu.
Dia bilang lagi, mengangkut sampah dari pantai dan yang tertimbun di laut itu menjadi pintu masuk memberi penyadaran kepada warga. Selanjutnya dari pintu –ke pintu. Bahkan sekolah dan masjid.
Memang tidak mudah memberi penyadaran dan mengorganisir warga agar sadar bahwa sampah adalah masalah besar yang berhubungan langsung dengan kehidupan nelayan. “Kami butuh waktu 6 bulan dari rumah ke rumah menemui warga kampong dan menjelaskan,” tambah Gani diwawancari usai mengikuti diskusi Air Hutan dan Manusia di Ternate Sabtu (22/11/2020) lalu.
Selama 6 bulan itu terus menerus memberikan pemahaman bagaimana mengatasi sampah dan bicara dampaknya bagi warga sendiri. Gerakan ini tidak dilakukan sendiri, tetapi melibatkan semua elemen dan organisasi di kampong. Mulai dari pemerintah kelurahan, tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga pengurus masjid dan organisasi pemuda. Karena ada kesadaran bersama, akhirnya bisa jalan dan sampai saat ini kampung Tomolou menjadi bersih.
“Sebenarnya yang menjadi sentral penyadaran datang dari lembaga keagamaan di kampong sementara organisasi pemerintahan di kelurahan fungsi administrasi saja. Keikutsertaan dan keterlibatan lembaga agama dan tokoh agama cukup kuat akhirnya bisa berhasil gerakan ini. Intinya perlu ada sinergi sehigga bisa berjalan sama sama,” ujarnya.
Gerakan moral dengan imbauan dan penyadaran juga tidak akan berjalan kalau tanpa aksi. Karena itu anak anak muda Tomolou setiap saat harus turun ikut mengangkut sampah dan menjemput dari rumah ke rumah. “Kami sadari kondisi masyarakat itu melihat action atau kerja baru mereka ikut,” tambahnya.
Jumlah kk di kelurahan Tomalou Per Oktober 2020 ada 875 KK semuanya terdata dan setiap hari sampahnya terkontrol. Jika ada warga tidak menyerahkan sampahnya selama 3 hari maka dikroscek langsung ke mana sampah mereka buang. “Saya pastikan mereka tidak buang sampah ke sembarangan tempat karena terkontrol.
Gerakan ini juga sekaligus menjadi pembelajaran bagi anak sekolah SD maupun PAUD. Gerbong desa tak hanya menyasar orang dewasa. Mereka juga berkampanye soal sampah masuk ke PAUD dan SD. “Ada devisi sampah yang mengurusi khusus soal ini,” jelasnya lagi.
Yang menarik juga dari gerakan mengatasi sampah, anak-anak muda yang dilibatkan bekerja adalah mereka yang dulunya sering mengkonsumsi miras dan zat zat aditif termasuk narkoba. Setelah didekati dan diajak bersama mereka sadar dan mau bekerja bersama.
Ketua Devisi Sampah LSM Gerbong Desa Aisyah Abdulrajak mengaku, memang tidak mudah menggerakan kegiatan ini, jika tanpa fasilitas seperti kendaraan angkut sampah dan biaya operasional tenaga pengangkut. Menyiasatinya dengan retribusi dari rumah yang diangkut sampahnya sebesar Rp2000/hari. “Yang bukan pelanggan tetap, ada yang diangkut gerbong desa dan juga mereka angkut sendiri ke tempat pembuangan sementara (TPS) ”jelasnya.
Saat ini yang menjadi pelanggan tetap ada 200 dari 628 rumah. Artinya setiap bulan mereka mengumpulkan biaya operasional sekira Rp12 juta. Dari jumlah itu, digunakan untuk biaya operasional pengangkut sampah dan membeli fasilitas berupa dua buah motor roda tiga jenis kaisar.
Warga juga ada yang angkut sendiri ke tempat pembuangan sementara. Selanjutnya diangkut mobil dinas kebersihan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Diakui, memang alat angkut terbatas. Sementara medan yang berbukit menyusahkan alat angkut roda 3 yang mereka gunakan. Satu hal lagi pelayanan Pemkot belum maksimal menyebabkan penumpukan sampah di rumah maupun di lokasi pembuangan sementara. Jika terjadi penumpukan LSM Gerbong menyewa excavator desa mengeruknya serta kerja bakti massal setiap minggu. Dari retribusi yang terkumpul juga mereka sudah berikan pemasukan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Tidore Kepulauan. “Setiap bulan Rp500 ribu atau total setahun Rp6 juta,” jelas Abdul Gani. (*)
CEO Kabar Pulau