Rumah milik Safa Kamari (67 tahun) berada di ujung selatan Dusun I Desa Laigoma Kecamatan Kayoa Kabupaten Halmahera Selatan Maluku Utara.
Berdinding beton beratap seng, di halamannya berdiri satu buah panel surya yang berfungsi mengubah tenaga surya menjadi energi listrik. Dari panel ini tersambung dengan empat bola lampu yang dipasang di teras, ruang tamu, dapur dan kamari mandi.
Fasilitas listrik cahaya matahari (solar cell) ini didapatkan Safa melalui bantuan panel dan peralatannya tiga tahun lalu (2019) dari Kementerian Energi Sumberdaya Mineral ESDM) yang telah dimanfaatkan hingga kini.
Ibu ini punya tiga anak dan mereka sudah menikah. Dia hidup dengan salah satu anak perempuannya serta beberapa cucu.
Keseharian Safa mengandalkan lampu tenaga surya ini meski sebenarnya di kampong itu ada penerangan dari genset atau generator berkapasitas 10 kilo watt yang disediakan pemerintah desa.
“Torang (kami,red) sangat senang karena ada lampu tenaga surya ini. Tra (tidak,red) sibuk harus beli BBM. Pokoknya kalau malam sudah tahu langsung menyala,” ujar Safa.
Ditemui di rumahnya Sabtu (25/7/2023), dia bercerita, kala belum ada listrik seperti sekarang mereka harus menggunakan lampu teplok. “Kalau dulu pake loga loga (teplok,red) dengan minyak tanah sebagai bahan bakarnya. Biasanya kamar dan dinding juga jadi hitam. Bahkan ketika bangun pagi kadang lobang hidung juga hitam. Tapi sekarang sudah tidak lagi setelah adanya program solar cell masuk. Tidak hanya saya yang dapat bantuan ini. Semua rumah dua dusun di desa ini dapat bagian,” katanya.
Safa sendiri tidak punya kulkas atau mesin cuci. Karena itu dia hanya butuhkan listrik untuk penerangan. Dia bilang dengan adanya listrik surya ini sudah sangat membantu menerangi rumahnya.
Diakui memang saat ini ada genset membantu menambah penerangan dalam rumah. Tetapi penggunannya terbatas, dinyalakan pukul 18.30 WIT hingga pukul 24.00 WIT atau jam 12 malam. Setelah itu dipadamkan maka kampong juga jadi gelap. Tetapi adanya listrik tenaga surya ini dalam rumah mereka tetap terang.
Bagi dia lisitrik tenaga surya ini, banyak keuntungan dia dapatkan. Selain karena penggunaannya tidak tebatas, juga tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan membeli BBM. Beruntung saat ini untuk mengoperasikan genset milik desa, BBM nya ditalangi melalui Alokasi Dana Desa (ADD). Jika tidak, dipastikan mereka harus mengeluarkan anggaran untuk biaya membeli BBM. ”Saat ini torang tra (kami tidak,red) beli BBM karena pemerintah desa gunakan ADD beli BBM tiap bulan 1 drum solar,” katanya.
Dia juga mengaku senang karena baru saja dipasang dua buah lampu jalan yang sumbernya juga dari tenaga surya. Ada dua tiang di samping rumahny yang didatangkan pemerintah desa dan baru dipasang untuk lampu jalan. Meski belum nyala untuk penerangan jalan nanti tidak perlu lagi dari genset.
Senada Nenek Safa, Thamrin Habib (24 tahun) tokoh pemuda desa Laigoma Pulau juga memberi apresiasi dan terima kasih kepada pemerintah yang telah membantu masyarakat dengan membagi secara cuma-cuma panel solar cell tersebut. Sebagai orang kampong yang jauh dan terpencil di pulau, hadirnya solar cell ini sangat membantu warga di kampung. “Rumah- rumah di sini terang karena adanya bantuan ini,” ujarnya.
Dia bilang lagi, bantuan ini sangat membantu kehidupan warga setempat dalam pemenuhan penerangan. Mungkin bagi mereka yang punya kemampuan lebih bisa membeli mesin genset dan BBM dalam memenuhi kebutuhan kebutuhan listrik. Tetapi orang yang punya kemampuan dan pendapatan terbatas, mengandalkan melaut dan bertani dari hasil kopra yang juga terbatas, bantuan seperti ini, sangatlah berarti. “Apalagi listrik dari solar cell ini dipakai seumur hidup jika tetap dirawat,”imbuhnya.
Kata dia, bantuan solar cell ini sangat bermanfaat untuk penerangan. Hanya saja ada persoalan yang dihadapi masyarakat ketika ada kerusakan dan tidak bisa nyala. Mereka juga tidak punya keahlian untuk memperbaiki. Karena itu ketika ada kejadian sudah tidak bisa lagi lakukan perbaikan.
“Saya pikir yang jadi masalah masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk memperbaikinya. Akhirnya dibiarkan begitu saja dan berharap lagi mesin genset,” ujarnya.
Ini masalah yang dihadapi masyarakat. Dicontohkan ketika ada bola lampu yang rusak mereka tidak bisa menggantinya.Warga desa tidak tahu harus memperbaiknya, atau juga membeli ke mana.
Di rumahnya ada empat mata lampu, dua di antaranya telah rusak tetapi sudah tidak bisa diperbaiki atau diganti karena tidak tahu harus beli di mana bola lampu tersebut. Thamrin lantas berharap, bantuan solar cell ini tidak hanya diberikan kepada masyarakat, tetapi juga dipikirkan cara perbaikannya. Sehingga nanri masyarakat bisa memanfaatkan dalam waktu yang lama dan dapat diwariskan terus-menerus. “Listrik ini pake (pakai,red) cahaya matahari. Torang mau bisa jaga dan rawat sehingga bisa dipakai dalam waktu yang lama,” tutupnya. (*)
Adakan Genset untuk Tambah Kebutuhan Listrik
Sore sekira pukul 18.30 WIT, desa Laigoma itu terdengar riuh. Bunyi mesin generator merk Yanmar berkapasitas 10 kilo watt terdengar jelas dari pantai desa itu. Mesin ini dihidupkan untuk menyalakan lampu listrik dari sore hingga pukul 24.00 WIT. Selanjutnya lampu dipadamkan dan warga memanfaatkan solar cell bantuan Kementerian ESDM yang dibagi per KK dengan 4 mata lampu. Bola lampunya berkapasitas 20 watt/mata lampu dengan satu penampang atau panel di tiap rumah. Bantuan ini didapatkan warga jauh sebelum ada mesin genset yang dibeli pemerintah desa melalui Alokasi Dana Desa (ADD).
Desa dengan penduduk 61 Kepala Keluarga (KK) atau 321 jiwa itu, sebenarnya memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas lumayan besar untuk memenuhi kebutuhan warga. Panel panel surya itu dibangun di salah satu bukit di bagian utara desa di akhir 2018 dan sempat mangkrak. Proyek itu kemudian dilanjutkan pengerjaanya dan bisa dinyalakan akhir 2021 lalu. Setelah dilanjutkan proyek listrik tenaga surya ini bisa dinikmati warga pada awal 2021 lalu.
Melalui skema pendanaan APBD Kabupaten Halmahera Selatan 2018, dana yang dikucurkan mencapai Rp 1,3 miliar lebih. Sayang setelah dinikmati warga setahun lebih, PLTS kembali alami kerusakan hingga kini.
Saat Mongabay.co.id menyambangi Laigoma PLTS tersebut masih alami kerusakan. Pengakuan warga kerusakan itu akibat penggunaan berlebihan karna kurangnya control setelah diserahkan pemerintah kabupaten ke pemerintah desa.
“PLTS di kampong ini memiliki kapasitas 5 kva. Karena kapasits terbatas, penggunaannya juga dibatasi. Akan tetapi ada warga menggunakan listrik berlebihan tidak hanya untuk penerangan. Misalnya untuk mesin cuci maupun lemari pendingin. Akhirnya alami kerusakan,” jelas Ade Thaib Kepala Urusan Pemerintahan Pemerintah Desa Laigoma.
Dia bilang, PLTS ini memiliki kapasitas terbatas. Sementara warga memiliki kebutuhan listrik lebih besar, terutama menunjang aktivitas ibu– ibu. Tidak itu saja ada yang sembunyi sembunyi memanfaatkan kapasitas listrik yang berlebihan akhirnya inverter dari tenaga surya ini rusak.
Sekadar diketahui, panel surya menyerap energi radiasi dari cahaya matahari yang akan menghasilkan energi listrik DC (direct current) atau arus searah, kemudian Solar Inverter berperan mengubah energi listrik DC, menjadi energi AC (alternating current) berubah dan bolak balik untuk suplai ke arah beban. Karena itu inverter menjadi alat esensial di sistem PLTS. (https://sunenergy.id/blog/inverter-panel-surya PLTS merupakan komponen,sebagainya menggunakan arus listrik AC)
Rusaknya PLTS dan adanya keterbatasan kapasitas listrik itu membuat warga menambah listrik dari genset. Terutama untuk penerangan, mengisi bateray HP, mesin cuci, kulkas, menghidupkan alat music dan lainya. “Dalam memenuhi kebutuhan listrik harus disuplai dari genzet,” tambahnya.
Sebenarnya kata dia, ketika ada solar cell, warga sangat terbantu terutama untuk penerangan. Termasuk menghemat pengeluaran. Misalnya, pembiayaan bahan bakar (BBM) untuk genzet. Saat ini BBM untuk genset saja setiap bulan harus disediakan dana sekira Rp 3 juta untuk membeli 250 hingga 300 liter BBM jenis solar. BBM sebanyak ini dimanfaatan untuk dua mesin yang ada di dua dusun desa ini.
Padahal katanya jika menggunakan solar cell maka tidak ada lagi sepeser uang dikeluarkan untuk beli BBM. “Pokoknya saat solar cell masih menyala masyarakat senang. Rumah menjadi terang tidak ada biaya tambahan untuk penerangan,” jelas Ade Rabu (25/7/2023) lalu.
Solar cell menjadi salah satu sumber energi yang diharapkan bisa dinikmati masyarakat secara berkelanjutan. Sayangnya panel surya yang alami kerusakan itu belum diperbaiki.
Dia bilang lagi warga sebenarnya membutuhkan energy solar cell, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan penerangan. Jika lebih bagus lagi membantu menyediakan listrik untuk kebutuhan pembuatan es yang nanti dimanfaatkan mengawetkan ikan hasil tangkapan nelayan.
Sekadar diketahui, Desa Laigoma yang rata-rata penduduknya adalah nelayan sangat butuh ketersediaan es. Desa yang berada di gugusan pulau- pulau Guraici dengan kurang lebih 17 pulau ini sangat butuh ketersediaan es balok untuk mengawetkan hasil tangkapan mereka. Ikan-ikan dari pulau ini hamper semua masuk dan beredar di pasar Ternate. Bahkan sebagian pembeli menjualnya antar pulau ke Sulawesi maupun Pulau Jawa.
“Kami butuh solar cell ini, lebih dari penerangan. Jika ada tenaga listrik lebih bisa dimanfaatkan membuat es. Karena ketiadaan listrik dan tidak bisa membuat es, akhirnya nelayan memesan langsung dari Ternate. Tentu ini membutuhkan anggaran tambahan lebih besar agar bisa sampai ke kampong Laigoma. Es balok digunakan nelayan yang menangkap ikan karang atau warga Maluku Utara menyebutnya ikan dasar. “Rata rata masyarakat nelayan di sini mengail ikan dasar (ikan karang,red). Jika ingin menjualnya ke Ternate maka perlu menyediakan es untuk mengawetkan ikan selama 2 atau 3 hari,”kata Ade yang juga sebagai nelayan tersebut. (*)
Tulisan ini merupakan hasil liputan kolaborasi 350.org bersama kabarpulau.co.id dan mongabay.co.id
CEO Kabar Pulau