Dari Ibu Hamil Melahirkan di Perjalanan hingga Menelpon Harus Jalan 9 Kilometer
Terlalu banyak yang mesti direkam dari perjalanan jurnalistik 4 hari di Pulau Mayau Kecamatan Batang Dua akhir Agustus 2023 lalu. “Sebagai kecamatan yang berada di pulau terluar memiliki banyak masalah. Soal air, jalan sarana komunikasi sarana kesehatan dan banyak lagi,” kata Plt Camat Batang Dua Katlin Salu SE, di Kantor Camat Kecamatan Batang Dua Senin (26/8/2023).
Pernyataan Katlin tidak mengada- ada. Jika berkeliling di pulau ini. Bisa dilihat kenyataan seperti yang digambarkan Katlin yang menjabat belum sebulan tersebut. Kondisi itu begitu nyata. Lihat saja akses jalan yang mereka punyai, air bersih yang mereka peroleh, begitu juga akses komunikasi melalui jaringan telpon di beberapa kelurahan. Mereka dipaksa menikmati kenyataan yang ada, meskipun wilayah mereka berada di Kota Ternate berstutus kelurahan.
Soal akses jalan misalnya, jangan membayangkan seperti melintasi jalanan utama di Kota Ternate. Kondisi jalan yang memprihatinkan tak perlu jauh-jauh, bisa disaksikan ketika melintasi jalan lingkungan di Mayau, Ibu Kota Kecamatan Batang Dua. Saya juga mencoba merasakan sensasi perjalanan dari Kelurahan Mayau hingga ke kawasan Keramat 4 kilometer dari Kelurahan Bido di mana Pelabuhan fery berada dengan mobil pick up. Atau kurang lebih 11 kilometer dari Mayau ibukota Kecamatan Batang Dua.
Sepanjang perjalanan tidak melihat jalanan mulus. Yang ada hanya lobang-lobang di jalanan karena aspal yang hancur. Kerikil tajam tercerabut dari aspal mewarnai hamper sepanjang jalan.
Jalan menuju kawasan Keramat ada gundukan tanah di tengah jalan akibat aspal yang hancur dilindas mobil dan motor setiap saat. “Jalan ini sudah puluhan tahun belum ada perbaikan. Kerusakannya makin parah. Karena itu hamper sepanjang jalan bisa ditemukan lobang menghiasi jalank,” ata Epang sopir pick up yang melayani kami sewaktu di Mayau.
Dia lantas mengeluh spare part mobil dan motor juga cepat rusak karena jalan rusak seperti itu. Dia akui memang akses sudah terbuka tetapi kondisi jalannya memprihatinkan hancur di mana mana dan butuh perbaikan. Soal jalan ini sangat dikeluhkan karena berkaitan dengan akses warga antar kelurahan termasuk ke sekolah, kawasan pusat pemerintahan di Mayau, bahkan ke kebun.
Jalan ini dibuka di zaman Wali Kota Ternate Drs Syamsir Andili (alm) 2000- 2005-2010 kemudian peningkatannya di zaman Walikota Hi Burhan Abdurahman (alm) 2010-2015-2020. Warga mulai merasakan akses jalan antarkelurahan sudah terbuka.namun sampai sekarang belum juga ada perbaikan.
“Wali Kota yang berjasa besar bagi orang Batang Dua dengan membuka akses jalan adalah pak Syamsir (eks walkota Ternate,red). Seluruh masyarakat Batang Dua mengingat dan mengenang jasa beliau,” kata Novel salah satu warga Kelurahan Perum Bersatu. Dia turut menyebut Walikota Hi Burhan yang memiliki kepedulian yang besar bagi masyarakat di sana.
Persoalan yang dihadapi masyarakat di pulau terluar seperti Mayau dan Tifure Kecamatan Batang Dua tidak hanya akses jalan atau transportasi laut antarpulau. Satu yang menjadi kebutuhan urgen adalah ketersediaan air yang layak.
Sebagai warga yang hidup di pulau kecil air menjadi sebuah kebutuhan primer yang selalu bermasalah baik ketersediaan maupun kualitasnya. Warga di Pulau Mayau tidak semua sumber air mereka bisa manfaatkan. Semisal air tanah dari sumur.
Di Kampung Bido misalnya, dari 16 sumur yang ada tidak semua bisa dimanfaatkan. Hanya ada 8 yang bisa diambil airnya untuk kebutuhan makan dan minum. Sementara sisanya tidak bisa karena terasa payau.
Memang warga sudah merasa sangat terbantu ketika dibangunnya pompa air tanah yang listriknya menggunakan energy solar cell. Sumber air ini menjangkau hamper semua masyarakat. Sayang setelah beberapa tahun beroperasi pompa air itu alami kerusakan, sekira 8 bulan ini.
Akhirnya warga harus berjalan kaki hingga 500 meter mengangkut air yang dipakai untuk makan dan minum. “Sudah hamper 8 bulan kami ambil air pakai gallon dan dorong dengan gerobak untuk dibawa ke rumah. Air kami ambil di sumur yang tidak terasa payau berjarak sekira 500 meter dari rumah,” kata Rina salah satu ibu bersama anak perempuanya mengangkut air di salah satu sumur umum Kelurahan Bido. Rina mengaku kadang mereka mengkonsumsi air isi ulang yang dijual di kampong itu dengan harga Rp10 ribu/galon.
Persoalan air bersih ini terjadi juga di kelurahan Perum Bersatu Mayau. Sumber air pompa dari sumur bor yang berpusat di Kelurahan Mayau di distribusi ke kelurahan ini, secara bergilir tiga hari sekali. Karena itu mereka mesti punya tanki atau bak untuk bisa menampung air beberapa hari. Kasus yang sama juga terjadi di kelurahan Lelewi. Saat ini sumur bor mereka alami kerusakan sehingga mengambil air dari sumur yang dianggap layak konsumsi. “Pompa air yang kami miliki sudah rusak. Sudah pernah diperbaiki tetapi kembali alami kerusakan,” jelas Nixon Lete Sekretaris Kelurahan Lelewi.
Karena itu akhirnya satu sumur dimanfaatkan warga sekampung. Dia lalu berharap ada kegiatan atau program yang bisa mengatasi kebutuhan air masyarakat di Batang Dua terutama di Lelewi. Dia contohkan, penting kiranya pemerintah mendorong program pemanen air hujan seperti yang dilakukan komunitas Besa Ma Cahaya di dua kelurahan yakni Mayau dan Bido. “Air bersih memang ada tetapi selalu ada kendala untuk didapatkan secara layak. Salah satunya mungkin perlu menjalankan proses pemanen air hujan,” katanya.
Persoalan air sebenarnya tidak hanya di Pulau Mayau. Di Pulau Tifure juga sama. Di Pulau ini selain ketersediaan air yang terbatas, juga air nya mengandung kapur yang dikuatirkan berdampak bagi kesehatan masyarakat ketika dikonsumsi dalam jangka panjang.
Berkaitan dengan air tanah bukan hanya soal menyimpan tetapi juga mengkonsumsi. “Air bersih menjadi kebutuhan masyarakat termasuk kami di Batang Dua. Air di Tifure mengandung zat kapur sangat tinggi. Karena itu butuh riset untuk diketahui kelayakan dan dampaknya bagi kesehatan.
Untuk Telpon dan Internetan Harus dengan Motor hingga 9 Kilometer
Problem hidup yang dihadapi warga di pulau terluar tidak hanya kesulitan transportasi antar pulau serta sarana pendukungnya. Pelabuhan dan akses jalan penghubung antar kelurahan dan kampong serta tersedianya air yang layak juga sama parahnya degan layanan komunikasi sebagai salah satu kebutuhan utama masyarakat moderen.
Fasilitas pendukung untuk telpon dan internet yang sudah menjadi bagian hidup masyarakat sekarang ini nampaknya masih menjadi kerumitan hidup yang harus dihadapi. Di Kecamatan Batang Dua sendiri ada 4 tower Based Tranceiver Station (BTS) mini telah dibangun. Sayangnya keberadaan fasilitas ini juga tidak ada artinya. Pasalnya hanya satu yang bisa berfungsi baik terutama di Kelurahan Mayau ibukota kecamatan Batang Dua. Kelurahan lainnya, tidak berfungsi sama sekali. Jika kita berada di kelurahan Bido misalnya, akses telpon benar- benar tidak ada. Sebuah tower mini yang diadakan pemerintah puluhan tahun lalu hanya berfungsi kurang lebih setahun dan selebihnya puluhan tahun warga setempat tidak bisa lagi manfaatkan.
“Tower mini di Desa Bido ini sudah hamper 10 tahun rusak dan hingga kini belum diperbaiki,” kata Andreas Peo tokoh masyarakat Bido.
Karena itu masyarakat yang butuh mengakses informasi ke luar misalnya menelpon keluarga atau siswa dan guru membuat tugas lewat akses internet, harus ke ibu kota kecamatan yang berjarak hamper 9 kilometer. Beruntung akses jalan sudah terbuka meski rusak masih bisa menggunakan motor bisa pergi pulang ke ibukota kecamatan.
Andreas bilang, sangat berharap pemerintah menyentuh juga persoalan ini demi pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat di pulau terluar.
“Memang kami dengar ada rencana mau diperbaiki tetapi tidak tahu kapan. Kita orang kampong hanya berharap syukur kalau mereka (pemerintah,red )perbaiki,” ujarnya.
Dia lantas mengatakan, sebagai warga tetap menjalani kondisi yang ada meski terasa sulit.
Untuk kebetuhan listrik di Pulau Mayau sudah lumayan, meskipun listrik dari PLN tidak dinyalakan full 24 jam. Listrik di pulau ini hanya bisa menyala pukul 18.00 sore hingga pukul 0.7.00 Wit. Artinya lampu listrik hanya menyala malam hari. Sementara siangnya aktivitas lampu dari PLN benar-benar tidak ada.
Belum lagi jika bicara pelayanan kesehatan. Pasalnya di kecamatan ini, belum memiliki Puskesmas yang layak pelayanannya seperti sebuah rumah sakit yang melayani pasien secara lengkap.
Ada banyak kisah ibu hamil yang terpaksa dirujuk ke Ternate menggunakan long boat,alami keterlambatan sehingga terpaksa melahirkan di perjalanan. Kisah seperti ini sudah setiap saat dialami. Di Mayau sudah berulangkali ibu hamil yang dibawa ke Ternate sebelum sampai, sudah melahirkan di tengah laut. Terpaksa dibawa pulang.
“Setahu saya sekitar dua kali ada ibu terpaksa melahirkan di tengah laut sebelum sampai Ternate. Terpaksa dikembalikan lagi ke Mayau,” cerita Novel warga Kelurahan Perum bersatu. Saat kami berangkat pulang ke Ternate, di atas kapal sempat bertemu dua petugas kesehatan perempuan yang juga bidan di Mayau. Mereka bercerita baru dua hari sebelumnya mengantar salah satu pasien ibu melahirkan. Meskipun angin selatan bertiup kencang, ibu hamil tersebut selamat lolos sampai ke rumah sakit di Ternate. “Kebetulan dua hari lalu kami baru balik dari Ternate mengantar pasien menggunakan long boat ke Ternate,” kata salah satu bidan yang sehari hari bertugas di Puskesmas Mayau tersebut.
Dia juga bilang kejadian seperti ini sudah setiap saat mereka hadapi. Dalam kondisi darurat pasien harus dirujuk meskipun tidak ada rute kapal. Alternatifnya mereka menggunakan long boat. Di atas laut yang serba kurang bersahabat itu mereka harus pintar pintar melihat situasi cuaca. Jika tidak ancaman nyawa selalu menghantui.
Kasus kecelakaan laut berupa perahu terbalik dan tenggelam ketika warga menyeberang ke Ternate maupun dari Bitung menuju Mayau dan Tifure sudah berulang kali. Yang masih membekas di ingatan masyarakat Kecamatan Batang Dua adalah tenggelamnya kapal motor (KM) Kairos yang mengangkut satu keluarga bersama penumpang berjumlah 18 orang. Kapal itu tenggelam sebelum sampai ke Mayau. Para korban dan kapalnya hingga saat ini hilang tanpa bekas. Hingga kini para keluarga korban masih menanti kabar mereka yang hilang bersama kapal pengangkut barang tersebut .
KM Kairos bertolak dari Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara menuju Pulau Mayau Batang Dua Kota Ternate, Maluku Utara pada Minggu, 12 Agustus 2018. Kapal seharusnya tiba di Pulau Mayau Batang Dua, Ternate, Maluku Utara pada pukul 12.00 Wita pada hari yang sama. Namun hingga saat ini kapal dan penumpangnya hilang entah kemana. Pendeta Fileks Talakua tokoh agama Kecamatan Batang Dua mengingatkan semua pihak bahwa Kecamatan Batang Dua juga bagian dari Ternate sehingga penting juga diperhatikan. Terutama menyangkut berbagai problem yang dihadapi saat ini. (*)
CEO Kabar Pulau