Puluhan dibo-dibo (pengepul ikan,red) pagi di akhir Desember 2020 itu berjejal menunggu kapal penangkap jenis pajeko (purseine) yang akan sandar. Kapal berbahan fiber itu, berasal dari Pulau Hiri dan akan sandar di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Dufa-dufa Ternate Utara.
Puluhan penjual yang juga ibu-ibu ini, berasal dari beberapa kelurahan di Ternate. Mereka sebagian besar bertempat tinggal di Tengah dan Utara kota Ternate. “Torang dapa info (kami dapat informasi,red) pajeko (purse seine,red) dari Hiri mau masuk jadi mau beli ikan jualan,” kata Ibu Hawa pengepul ikan asal Kelurahan Sangaji.
Ketika kapal akan sandar, sebagian penjual berjalan menenteng baskom besar menuju tempat sandar. Sebagian ibu harus berlari merebut tempat agar baskom mereka diletakkan di samping kapal. Tak pelak kadang saling sikut agar baskom mereka berada paling di depan. Dengan begitu ketika keranjang takar ikan diangkat ke atas jembatan, langsung dipindahkan ke baskom mereka untuk selanjutnya ditimbang. Para pedagang berebut karena kuatir stok ikan yang didapat nelayan tidak mencukupi. “Hari ini kami jual per kilo Rp17 ribu. Kali ini iko torang pe harga dulu (harga nelayan,red),” teriak salah satu lelaki yang menimbang ikan. Karena dianggap mahal dari ibu-ibu itu ada yang menawar agar diturunkan Rp1000. Tapi pemilik ikan ngotot diharga yang telah disebutkan. “16 ribu per kilogram yaa,” kata ibu berjilbab ungu itu. Tawaran itu sepertinya tak digubris.Pada saat yang sama ikan yang ada di dalam geladak kapal terus dibongkar ke atas jembatan.
Banyaknya pedagang ikan serobot membeli ikan layang (sorihi,red) memunculkan kegaduhan sebagaimana kondisi berjualan di pasar ikan.
Pengakuan sebagian pedagang, mereka harus lincah bergerak karena jika lambat sedikit bisa gigit jari. Ketakutan itu terbukti karena setelah kapal bersandar dan ikan diturunkan ada pedagang tidak kebagian ikan. “Stok ikan tidak terlalu banyak. Ikan yang didapat tidak cukup tiga ton,” ujar Ibu Rahma. Ibu ini mengaku tidak kebagian ikan karena sebelum baskomnya terisi, sudah habis stok di kapal.
Aktivitas ibu-ibu yang dikenal dengan dibo-dibo ikan ini dijalani hamper setiap hari. Mereka bisa ditemui di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Bastiong, PPI Dufa-dufa, Pasar Ikan Gamalama dan Pelabuhan Tradisional Rua. Di tempat tempat ini setiap hari ditemukan aktivitas bongkar muat ikan yang dipasarkan tingkat lokal Ternate. Beberapa tempat di atas adalah lokasi keseharian dibo-dibo mengejar stok ikan yang selanjutnya di jual ke pasar. Ikan yang dijual juga tidak hanya jenis ikan pelagis kecil. Ada juga jenis cakalang maupun demersal atau ikan dasar.
Di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Bastiong misalnya, ada banyak jenis ikan didaratkan. Dari pelagis besar dan kecil hingga jenis ikan dasar atau ikan karang.
Ada yang menarik dari hal yang dianggap biasa di Ternate ini. Sebab ibu-ibu ini sebenarnya adalah penggerak denyut ekonomi kota. Mereka adalah pengisi perut warga kota yang jumlahnya menyentuh 200 ribu jiwa di Kota Ternate. Dari aktivitas mereka, ikan yang ditangkap nelayan bisa terdistribusi sampai ke perut warga kota yang disibukkan keseharian mereka.
Untuk pengais rezki dari sektor ini, mereka tidak terdata secara lengkap. Mereka juga tidak berdagang secara terus menerus seperti penjual barang kelontong atau sayur mayor. Sekali-sekali mereka harus beristrahat karena dampak kondisi lautan tidak bersahabat. Tidak itu saja ada yang mesti beristrahat karena kehabisan modal. Mereka yang mengandalkan hasil suami yang nelayan kecil misalnya, harus bersabar karena tidak setiap hari rutin mendapatkan hasil tangkapan. Jika tak ada hasil tangkapan terpaksa mereka harus mengejar stok ikan melalui pajeko (purse seine) atau pelanggan pelanggan ikan yang sudah ada sebelumnya. “Saya sekarang harus menyediakan sendiri untuk berjualan ikan. karena suami sudah tidak lagi menangkap ikan karena tidak punya alat tangkap,” kata Amrina salah satu pedagang ikan yang mengaku berasal dari Pulau Hiri.
Perjuangan para dibo-dibo ikan ternyata tidak mudah karena mereka jualan atau mengejar stok ikan sejak pagi subuh. Hal ini dilakoni setiap pagi. Ketika mendengar suara azan subuh di masjid mereka juga harus beres beres dan berangkat menuju pasar. Selain beres beres jualan pagi, jika stok ikan menipis maka harus memutar otak mendapatkan stok untuk berjualan lagi. “Saya biasanya mengambil ikan sorihi (ikan layang,red) di pelabuhan Bastiong. Kadang jika di situ tidak ada kita pagi –pagi harus ke kelurahan Rua. Di Rua setiap pagi banyak pajeko (purse seine) dari kelurahan ini banyak menurunkan ikan setelah ditangkap nelayan di rumpon ,” jelas Ibu Ima salah satu penjual. Para dibo-dibo ikan terbilang luar biasa karena rata-rata dari usaha mereka selain bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari juga membantu biaya pendidikan anak bahkan sisanya bisa ditabung untuk bangun rumah dan kebutuhan lainnya.
“Lumayan memenuhi kebutuhan sehari-sehari termasuk untuk pendidikan anak dan biaya kesehatan terutama untuk baya BPJS,,” jelasnya.
Dia enggan menyebut angka pasti pendaptan setiap hari karena fluktuatif. Kalau harga ikan mahal keuntungannya lumayan. Bisa sampai Rp500 ribu pendapatan bersih satu hari. Kadang juga turun sampai Rp200 ribu,” imbuhnya. (*)
CEO Kabar Pulau