Home / LAUT dan Pesisir / Lingkungan Hidup

Jumat, 23 Agustus 2024 - 09:44 WIT

Dampak Industri Ekstraktif di Malut Sangat Serius

Warna air laut kuning kecoklatan di Pulau Garaga Obi pada November 2023  akibat   terdampak kerukan  salah satu perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Obi, foto DKP  Halmahera Selatan

Warna air laut kuning kecoklatan di Pulau Garaga Obi pada November 2023 akibat terdampak kerukan salah satu perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Obi, foto DKP Halmahera Selatan

BRIN: Kelestarian dan Kelangsungan Ekosistem Pulau-pulau Makin Terancam  

Dampak industry ekstraktif bagi kelestarian dan kelangsungan ekosistem  terutama di pulau pulau kecil seperti di Maluku Utara sangat serius. Kehadiran industry padat modal  terutama pertambangan mineral diberbagai tempat termasuk di Maluku Utara disebut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)  mengancam lingkungan, biodiversitas dan manusia di dalamnya.

Karena itu BRIN meminta perlindungan  lingkungan dan pemberdayaan masyarakat lokal harus menjadi prioritas utama. Tujuannya agar keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan manusia dapat terjaga. Hal ini menjadi salah satu kesimpulan pembahasan diskusi publik “Masa Depan Pesisi r dan Pulau-Pulau Kecil Menghadapi Ancaman Industri Ekstraktif” yang digelar digelar oleh Pusat Riset (PR) Politik, Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora (OR IPSH), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) belum lama ini.

Dalam rilisnya Juli 2024 lalu, BRIN menyebut  wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia memainkan peran vital dalam ekosistem, budaya, dan ekonomi lokal. Namun kondisi saat ini menghadapi tantangan besar dari industri ekstraktif, seperti pertambangan, eksplorasi minyak dan gas, serta penangkapan ikan besar-besaran. Semua itu membawa dampak negatif yang signifikan. Dampak tersebut tidak hanya mengancam keberlanjutan ekosistem tetapi juga kehidupan masyarakat yang menggantungkan hidup pada sumber daya alam.

Kepala Pusat Riset Politik, Athiqah Nur Alami menyampaikan bahwa  diskusi   ini   merespon persoalan yang dihadapi dan dialami oleh masyarakat pesisir dan pulau pulau kecil pada industri, termasuk industri tambang dan pariwisata. Ia menjelaskan, Indonesia sebagai negara kepulauan kaya dengan aneka ragam hayati, biodiversitas, namun kelestarian dan kelangsungan ekosistem semakin terancam.

“Begitu pula eksistensi pulau-pulau kecil sudah ada yang mulai lenyap, bahkan tenggelam. Ini menunjukkan terjadinya kerentanan di pesisir yang sifatnya tidak hanya ekologis, tapi juga sosial, ekonomi, dan budaya. Hal itu tidak hanya karena perubahan iklim, tetapi juga aktivitas industri ekstraktif,”  jelas Athiqah.

Baca Juga  Miris, RPJMD Kabupaten Ini Tanpa KLHS
Aktivitas penambangan oleh ANTAM di Pulau Pakal tak jauh dari Pulau-Belemsili Teluk Buli Halmahera Timur. foto Adlun Fikri

Athiqah juga  mencermati dampak dari beberapa tahun terakhir  terkait  kebijakan hilirisasi dan masifnya kegiatan pertambangan dan perluasan industri ekstraktif. Kegiatan industrialisasi tersebut berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem di pesisir laut dan pulau kecil. Dia mencontohkan kondisi paling serius dialamai  adalah daerah Maluku Utara Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. “Salah satu contohnya adalah proyek hilirisasi nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, juga pertambangan biji besi dan tambang emas di Sulawesi Utara,” katanya. Dia bilang berbagai proyek industri ekstraktif itu ternyata berdampak bagi lingkungan dan sosial ekonomi. Bahkan juga berdampak terhadap kualitas kesehatan masyarakat seperti penyakit ISPA di sejumlah daerah sekitar tambang.

“Catatan WALHI menunjukan dampak lingkungannya jelas, bahwa terjadi pencemaran logam berat misalnya di sungai-sungai di sekitar pabrik di wilayah tersebut. Khususnya di pertambangan nikel yang tidak hanya pencemaran air tapi juga pencemaran udara, hancurnya hutan, serta penggusuran kebutuhan petani akibat ekspansi tambang nikel,” ujar Athiqah.

Selain itu, dampak lain yang tidak kalah penting adalah privatisasi atas wilayah pesisir atau pengaplingan lahan. Berdasarkan data dari sejumlah NGO, Sampai tahun 2023 sudah ada lebih 200 pulau yang sudah diprivatisasi dan diperjualbelikan di seluruh Indonesia, paling banyak di DKI Jakarta dan Maluku Utara.

Dari berbagai aktivitas pertambahan dan industri ekstraktif ini, menurut Athiqah, dapat saksikan siapa yang paling terdampak. Ia menegaskan, jelas masyarakat setempat yang paling terdampak. Ruang-ruang hidup mereka terampas, akses ke perairan untuk melaut juga semakin terbatas dan mereka semakin terpinggirkan oleh kekuatan oligarki dan korporat.

Baca Juga  Kanari Makeang Sasar Pasar Eropa

Sebagai salah satu contoh pembangunan di Pulau Rempang, Kepulaun Riau, bagaimana mega proyek dilaksanakan. Ia menekankan, hal ini penting untuk merefleksi kembali paling tidak melihat apakah memang regulasi terkait pengelolaan pulau-pulau kecil sesuai Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 sudah berjalan dengan semestinya. “Pada regulasi tersebut pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia mestinya bertujuan untuk melindungi konservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya alam serta sistem ekologi secara berkelanjutan,” ucapnya berharap.

Budaya olah sagu yang nyaris hilang ketika masuknya tambang Halmahera Tengah. Dalam gambar Abdurahman warga Sagea mengolah sagu di dekat kali sage dan membuang Oro atau empulur sagu yang-selesai diperas di tepi sungai. Abdurahman adalah satu satunya warga di Sagea yang masih aktif mengolah pohon sagu menjadi tepung sagu, foto M Ichi

Anta Maulana Nasution, Peneliti PR Politik menyampaikan refleksi perjalanan dilematis pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir, yang merupakan perjalanan fieldwork riset yang dilakukan dari tahun 2015-2023 dan tentunya masih terus berlanjut. Proses riset yang dilakukannya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berkaitan dengan perikanan, kelautan, tata kelola pulau kecil, pesisir, dan perbatasan laut, oseanografi biologi, ancaman keamanan laut, nelayan dan masyarakat pesisir, serta pembangunan ekonomi.

Anta menyampaikan permasalahan dan tantangan pulau-pulau kecil dan pesisir di Indonesia. Pertama, stagnansi ekonomi mulai dari pembangunan infrastruktur dasar dan penunjang, moda tranportasi, remote area, bantuan tak tepat sasaran, tingkat pendidikan, lapangan pekerjaan, pemasaran hasil bumi yang terbatas. Kedua, alam yang semakin rusak mulai dari alih fungsi lahan, stok sumberdaya perikanan yang menipis, pemutihan karang, sedimentasi, limbah laut, dan masifnya industri ekstraktif. Ketiga, orientasi kebijakan bahwa pemerintah berganti kebijakan berganti, kelembagaan, investasi, tata kelola laut dan pesisir, serta ocean grabbing. Keempat, keamanan ilegal dan destructive fishing, konflik sumber daya, penyelundupan, dan perdagangan barang ilegal.(aji/BRIN)

Share :

Baca Juga

Lingkungan Hidup

CONSERVE, Kegiatan Pengarusutamaan Kehati Lintas Sektor

Lingkungan Hidup

Ini 7 Mitigasi Awal Perubahan Iklim di Malut

LAUT dan Pesisir

Bina Desa di Pulau Laigoma, FPK Unkhair Turut Lepas Tukik

LAUT dan Pesisir

Berapa Banyak Ikan yang Dicuri dari Laut Kita?

Lingkungan Hidup

JETP Tak Boleh Abaikan Energi Terbarukan Berbasis Komunitas

LAUT dan Pesisir

Sebuah Catatan Tentang  Laut Maluku Utara

Lingkungan Hidup

Kawasan Khusus Sofifi di Atas DAS Kritis

LAUT dan Pesisir

Merintis Ekonomi Nelayan Kecil dengan Koperasi