Ironi Negeri El Dorado dan El Picente
Setelah menemukannya, saya berani mengatakan bahwa Hindia adalah wilayah terkaya di dunia ini. Saya bicara tentang emas, mutiara, batu berharga dan rempah rempah berikut perdagangan dan pasar yang mereka miliki, karena semuanya tidak muncul begitu saja. Saya menahan diri untuk tidak mengeksploitasinya, (Cristopher Columbus surat dari perjalanan ketiga yang ditulis di Jamaika 7 Juli 1503).
Isi surat yang saya kutip dari buku Jack Turner Sejarah Rempah dari Erotisme Sampai Imprealisme ini, sebenarnya ingin memotret Maluku Utara. Di sini tidak bermaksud menggambarkan perulangan sejarah pencarian Columbus pada Hindia yang kaya raya akan sumberdaya alam. Sebab apa yang Columbus cari seperti dalam suratnya, ternyata dia temukan benua Amerika bukan Hindia dalam misi pencarian El Dorado (emas,red) dan El Picente (rempah-rempah,red). Laporan Columbus itu dimentahkan para penjelajah lain yang tidak menemukan jenis rempah apa pun. Columbus pun disebut sebut menuliskan sesuatu yang sifatnya hayali bahkan melakukan genocide di benua Amerika.
Terlepas dari itu, apa yang digambarkan dalam suratnya tentang hasil bumi emas, mutiara dan rempah adalah sebuah kenyataan yang hari-hari ini jadi sumber berita yang mengisi ruang diskursus tentang negeri hindia yang kaya raya tersebut.
Terlalu banyak catatan sejarah telah menulis perjuangan, mempertahankan kekayaan alam yang direbut bangsa bangsa Eropa zaman itu.

Lalu apa saja yang menghipnotis mereka, hingga berlayar dari negeri yang jauh mendatangi pulau pulau terpencil dan tak tertera di peta dunia itu? Jawabannya sumber daya alam biji cengkih dan pala.
Giles Milton menulis dalam Pulau Run,Magnet Rempah rempah Nusantara yang Ditukar dengan Manhattan, (2015), menyebut biji Pala adalah kemewahan paling diidamkan di Eropa abad ke 17.
Pala misalnya adalah satu jenis rempah yang memiliki khasiat luar biasa untuk pengobatan. Sehingga itu orang orang mempertaruhkan nyawa mereka mendapatkannya.
Begitu juga pohon cengkih yang menghasilkan biji cengkih, begitu mahalnya, hingga ketika mencium baunya dijuluki aroma surgawi.
Negara yang pernah menjajah Indonesia, yaitu Portugis, Spanyol, Belanda, Prancis, Inggris memiliki alasan beragam. Mulanya, ingin membeli dan bertukar barang, tetapi akhirnya menjajah lalu menguasai sumber daya alam dan hasil bumi lainnya. Maluku Utara sebagai bagian dari sebutan Hindia zaman itu, menyimpan kekayaan yang tergambarkan seperti surga dunia. Dikejar dan diimpikan semua bangsa.
Akan halnya hari hari terakhir ini, Eldorado di wilayah ini tidak hanya emas. Ada nikel, biji besi dan beragam hasil tambang lainnya. Eldorado adalah sumberdaya alam yang terus diperebutkan. Sementara El picente redup karena tidak menjadi komoditas Negara yang dijadikan proyek strategis nasional (PSN). Elpicente yang lebih menjadi komoditas rakyat bawah, mesti diurus dan diperjuangkan sendiri agar bisa hidup dan menghidupkan.
El-dorado, hari hari ini meski menjadi sumber pemiskinkan dan menderitakan rakyat, tetap dilindungi dan dijadikan obyek vital negara. Benar benar kemerdekaan yang terkekang. Merdeka karena bebas mengakui bumi Indonesia dan segala isinya dikuasai Negara dan dipergunakan sebesar besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana diamanahkan Pasal 33 UUD 45.
Tetapi di sisi lain, terkekang karena seluruh asset itu menjadi hak pemilik modal mengelola dan menghisapnya.
Padahal, kalau menilik lebih jauh kata merdeka, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dari Pusat Bahasa Edisi Keempat Departemen Pendidikan Nasional Terbitan Jakarta tahun 2012, menyebutkan bahwa Merdeka artinya bebas. Baik dari penghambaan, penjajahan dan sebagainya.
Merdeka juga memiliki makna berdiri sendiri. Tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, tidak tergantung kepada orang atau pihak tertentu.
Merujuk makna yang telah disebutkan dalam buku setebal 1700 halaman itu, dikontekskan dengan kekinian Maluku Utara dan Indonesia, maka akan memunculkan diskursus “Belum Merdeka dari Penjajahan akibat biji emas, biji besi, biji nikel dan lainnya.
Penjajahan karena biji tambang saat ini tidak mengangkat senjata seperti di zaman penjajahan karena biji cengkih, pala, lada kopi dan lain sebagainya. Tetapi dampaknya lebih menyakitkan karena akan berlangsung turun temurun.

Penjajahan karena ada biji- bijian dalam perut bumi itu makin menjadi– jadi. Mengharu biru kelompok proletar dan marhean. Membuat semua mulut tersumpal dari suara lantang.
Menarik melihat kemerdekaan mengelola dan memanfaatkan kekayaan tak tepermanai yang tersimpan di bumi Maluku Utara. Terutama yang ada Hale–mahera (tanah induk, bahasa Tidore,red) dan kepulauan sekawasan (Taliabu, Sulabesi, Obi, Bacan, Kasiruta) bersama empat persekutuan kerajaan (moti verbond, red) serta Morotai, .
Kekayaannya sejak lama telah menghipnotis bangsa kulit putih. Tercatat bangsa barat silih berganti datang menjajah sebelum Negara pulau ini diproklamirkan 17 Agustus 1945. (sumbernya elpicente,red).
Kini penjajahan itu masih saja ada. Kolaborasi ras dalam menjajah semakin menghidupkan semangat menghisap dan menghabiskan sumberdaya yang ada. Ras kuning bersama elit sawo matang bersatu menghabiskan sumberdaya titipan anak cucu yang ada di perut bumi (el dorado,red).
Lihatlah Hal- Mahera. Dalam bahasa Ternate Hal berarti persoalan. Sementara Mahera yang berarti induk (induk persoalan,red) telah mencatatkan selaksa masalah yang akan diwariskan generasi hari ini dan anak cucu di 20, 30, 50 hingga 100 tahun ke depan.

Hutan yang dulu menghijau kini kerontang, bulldozer menggeruduk tanah, debu membungkus kampong. Sungai berair bening kini kuning keemasan. Hilang suara nuri dan kakatua hingga karamat para moyang yang kini entah di mana. Di sana datang puluhan ribu orang mencari nafkah, tetapi suatu saat entah kapan, akan meninggalkan “sampah” yang dipungut anak cucu bumi Hal—Mahera. (*)

CEO Kabar Pulau