Transportasi Tak Aman, Energi Terbarukan Tak Terurus
Jika Anda berangkat menuju bagian Selatan Halmahera Maluku Utara, menuju gugusan pulau Guraici, Moari dan Kasiruta maka akan menyinggahi kampong- kampong di pulau tersebut. Akhir Juli 2023 tepatnya 25 hingga 1 Agustus lalu kabarpulau.co.id mendatangi beberapa pulau di kawasan itu, dalam satu tugas liputan mengenai pemanfaatan sumberdaya energy terbarukan, solar cell atau energy matahari.
Liputan ini sebenarnya ingin melihat seberapa besar pemanfaatan sumber energy ramah lingkungan itu termasuk keberlanjutan pemanfaatan dan potensinya bagi masyarakat di pulau kecil.
Dari perjalanan, wawancara dan pengamatan lapangan di beberapa pulau tersebut, menemukan banyak masalah yang dihadapi masyarakat. Meski banyak masalah sorotan utama diarahkan dua masalah mendasar.
Sebenarnya, ada banyak kebutuhan mendasar yang mesti diselesaikan agar mereka bisa mendapatkan pelayanan yang sama seperti warga di pulau besar lainnya. Begitu juga banyak persoalan lingkungan terutama dampak climate change yang bisa disaksikan massivenya, dampak yang ditimbulkan di pulau pulau tersebut. Mulai dari ancaman abrasi, kebutuhan air bersih hingga perusakan lingkungan serta biota dan sumber daya laut lainya.
Sebut saja masalah transportasi public yang jauhd ari memadai hingga pemanfaatan energy terbarukan sebagai salah satu sumber energy yang dapat dimanfaatkan. Tidak hanya sebagai penerangan tetapi juga memenuhi berbagai keperluan listrik, seperti yang ada di masyarakat umumnya.
Sekadar diketahui untuk sampai ke pulau pulau ini, tidak ada transportasi setiap hari. Kapal- kapal yang melayari rute antar pulau yang terpisah kawasan laut itu, hanya dua hari sekali. Kapal itu pun tidak menyinggahi secara keseluruhan desa pulau pulau tersebut. Hanya di pulau tertentu kapal singgahi terutama yang memiliki pelabuhan. Karena itu penumpang yang berasal dari pulau atau desa yang tidak disinggahi, harus menambah transportasi laut lanjutan.
Warga di pulau Siko dan Gafi misalnya, tidak bisa langsung turun menuju kampungnya. Ketika kapal sudah tiba di Pulau Laigoma, mereka harus menunggu perahu perahu nelayan atau body perahu milik desa, menjemput dan membawa barang dan penumpang ke kampung. Jarak yang ditempuh setelah dari Laigoma juga cukup lumayan lama.
Kegiatan ini juga bisa berlangsung, jika kondisi laut sedang baik. Tidak ada angin atau gelombang. Jika laut bergelombang maka dijemput di atas laut tak jauh dari pulau Laigoma. Para penumpang harus menurunkan barang bawaanya kadang dihempas ombak. Karena itu jika tak lincah bisa jatuh ke laut. Atau jika saat tiba kapal di musim hujan dipastikan penumpang lanjutan dan barang bawaanya basah kuyup.
Perahu perahu penjemput penumpang tak memiliki rumah atau disediakan terpal pengaman barang. Seperti ketika saya menumpang salah satu kapal dan menyinggahi pulau Laigoma akhir Juli lalu. Kapal tidak bisa bersandar karena dihantam angin arah selatan disertai gelombang dan hujan.
Saat itu sekira 10 penumpang kapal dari tiga desa di tiga pulau, Laigoma, Gafi dan Siko terpaksa turun di tengah laut. Kapal behenti di laut di ujung pulau tempat yang terhalang angin kemudian menurunkan penumpang. Saat itu juga turun hujan, akhirnya kapal pun menugggu hingga hujan reda baru menurunkan penumpang dan barang.
Maemunah salah satu penumpang dari Gafi bersama beberapa barang bawanya basah terkena hujan. Dia juga rela berbasah basah karena ingin segera turun dari kapal. Para penumpang ini harus menempuh perjalanan lagi sekira 30 menit menumpang body perahu fiber dengan mesin 15 PK.
Aktivitas naik turun penumpang yang sangat menyusahkan ini diakui Maemunah sudah berlangsung bertahun- tahun. Mesi begitu mereka menikmati saja kondisi kesulitan itu sebagai sebuah hal biasa.
“So (sudah,red) syukur biar naik turun ganti body perahu dari Laigoma ke Gafi tapi selalu ada transportasi dua hari satu kali. Kalau tidak ada berarti kami tidak bisa ke Ternate. Paling tunggu ada body atau perahu dari kampong ke Ternate baru bisa ke Ternate. Itu juga tidak menentu,” katanya.
Meski begitu karena kesulitan yang mereka hadapi ini, turut berharap ada perhatian pemerintah daerah sampai pusat. Mungkin bisa mendorong transportasi rakyat semisal kapal penumpang regular menyinggahi pulau Siko. Hal ini karena di pulau memiliki sarana dermaga dan pelabuhan yang memadai.Pulau Siko juga lebih dekat ke pulau Gafi dan bisa ditempuh hanya kurang lebih 10 hingga 15 menit. “Torang (kami,red) juga mau kapal bisa masuk ke Siko sehingga penumpang dari pulau Gafi juga lebih dekat saat turunkan barang dan penumpang,” harapnya.
Sekadar diketahui, di kawasan pulau-pulau ini dilayari dua kapal kayu yang meski standar keamanan kenyamanan dan keselamatan kapal butuh perhatian lagi, tetap saja dimanfaatkan warga setiap hari. Meski semua barang dan penumpang duduk ditumpuk berdesak desakan jika padat penumpang, warga tetap menikmatinya dengan enjoy.
Masalah transportasi di pulau pulau kecil berpenghuni ini, seperti belum menjadi perhatian serius terutama pemerintah daerah menyediakan moda transportasi public yang memadai. Terbukti sampai saat ini belum ada transportasi milik pemerintah yang melayari pulau pulau ini. Kalaupun ada, misalnya kapal sabuk nusantara hanya melayari pulau pulau yang memiliki sarana pendukung memadai dengan banyak penumpang.
Persoalan kedua yang dihadapi masyarakat di tiga desa dan tiga pulau itu adalah ketersediaan energy untuk kebutuhan listrik. Baik untuk penerangan maupun memenuhi kebutuhan lainnya.
Pulau pulau kecil dengan warga yang sedikit ini tidak dilayani PLN. Mereka banyak memanfaatkan genset yang tentu butuh BBM untuk bisa dioperasikan. Setiap bulan desa harus menyediakan anggaran jutaan rupiah untuk beli BBM jenis solar.
Karena itu juga salah satu energy alternative yang digunakan selain genset atau generator adalah memanfaatkan sebaik mungkin energy terbarukan melalui cahaya matahari atau solar cell.
Sumber energy yang tidak ada habisnya itu, saat ini sudah dibangun serana pendukungnya di tiga pulau tersebut. Ada PLTS surya maupun yang berbentuk panel atap diberikan oleh pihak Kementerian ESDM langsug ke rumah warga dengan 4 bola lampu.
Ternyata fasilitas yang telah dibangun menggunakan uang rakyat melalui APBD maupun APBN itu, hanya tidak diperhatikan keberlanjutannya. Terutama menyangkut perawatan dan pemeliharaanya. Akhirnya anggaran yang digelontorkan puluhan miliar ke pulau dengan tujuan menerangi rumah masyarakat serta mengurangi dampak penggunaan bahan bakar fosil menjadi sia sia.
PLTS di tiga pulau itu setelah digunakan, satu tahun lebih ini sudah mengalami kerusakan. Setelah rusak terkesan tidak diurus dan dibiarkan saja. PLTS di Siko dan Laigoma sudah beberapa tahun ini mengalami kerusakan, tetapi belum juga diperbaiki.
“PLTS Siko sudah lama rusak. PLTS Laigoma juga baru hamper setahun ini,” ujar Gufran Mahmud tokoh masyarakat Siko yang saat ini jadi anggota DPRD Halmahera Selatan. PLTS Siko kata dia alami kerusakan parah. Di Siko ada 40 accu penyimpan listrik alami kerusakan. . Per unitnya sekira hamper Rp18 juta untuk biaya perbaikan,” ujar Gufran. Artinya kata dia butuh anggaran tidak sedikit untuk perbaikan.
Dia lantas menyampaikan bahwa, sudah diusulkan melalui anggaran daerah untuk segera dilakukan perbaikan. Sementara di Pulau Laigoma hingga kini PLTS tersebut sudah atau 8 bulan alami kerusakan. Namun belum juga ada kejelasan kapan diperbaiki. “PLTS ini rusak sekira 7 atau 8 bulan lalu. Torang belum tahu kapan diperbaiki,”kata Ade Thalib Kepala Urusan Pemerintahan Desa Laigoma akhir Juli lalu. Sumber kerusakanya kata dia karena penggunaan listrik yang berlebihan dari warga pengguna.
Proyek PLTS ini sendiri setelah selesai pembangunan, sudah diserahkan ke desa untuk dikelola dan dimanfaatkan. Sayang saat pemanfaatan dan alami kerusakan sudah tidak lagi diurus.
Di desa desa pulau ini selain PLTS yang didanai pembangunannya melalui APBD, juga ada bantuan panel solar cell tiap rumah dari Kementerian ESDM RI. Bantuan per rumah ini juga ada mata lampu yang alami kerusakan tetaoi sudah tidak diganti lagi.
“Untuk bantuan ini ada 4 mata lampu tetapi ada yang rusak kita tidak bisa ganti Hal ini karena tidak tahu beli di mana. Bola lampu ini bantuan pemerintah pusat,“jelas Ade lagi.
Masalah pembangunan energy listrik terbarukan yang bersumber dari APBD sesuai hasil penelusuran kabarpulau.co.id, alami kerusakan di sebagian besar pulau. Ada PLTS di Bokimiake, Siko, Gafi, Laigoma Marituso Kasiruta, Wiring Tawabi Bacan setelah dibangun dan dinikmati warga tak cukup lama, langsung rusak dan dibiarkan begitu saja.
Pemerintah daerah melalui Badan Perencanaan dan Penelitian Pembangunan Daerah Bappelitbang yang dikonfirmasi masalah ini, enggan menanggapi. Kepala Bappelitbang Halsel Thamrin Imam tak mau memberikan tanggapan soal ini. Saat ditemui maupun dikonfirmasi melalui aplikasi whatsapp juga tak diguibris. (*)
CEO Kabar Pulau