Cerita Warga Desa Kao Mulai Rehabilitasi Mangrove
Selasa (28/8) sore sekira pukul pukul 16.00 WIT, dua orang ibu, Iswati Mabang (45 tahun) dan Suparni Sulan (44 tahun) menyulam kebun bibit rakyaat yang berisi anakan mangrove yang mati. Kebun bibit mangrove ini dibangun kelompok Green Kai Dati desa Kao Kecamatan Kao Halmahera Utara. Dua perempuan dari 15 anggota kelompok ini, sehari-hari merawat bibit yang nanti ditanam di kawasan hutan mangrove desa Kao.
Langkah ini dilakukan karena hutan mangrove desa ini, telah ditetapkan menjadi Kawasan Ekosistem Esensil (KEE) oleh Pemerintah Kabupaaten Halmahera Utara. Luas KEE ini adalah 400 hektar dengan berbagai keanekaragaman hayati di dalamnya.
Menarik dari cerita ini, ternyata ibu-ibu ini dulu menjadi penebang mangrove atau soki dalam bahasa local Maluku Utara, untuk kebutuhan kayu bakar. Seiring waktu karena mulai tahu dan sadar akan pentingnya peran mangrove, kini mereka ambil peran bertanam mangrove.
Mereka harus menanam kembali, karena mangrove makin terdesak dan rusak akibat ulah manusia. Warga kembali sadar ternyata mangrove yang melingkupi desa ini memberi kehidupan yang nyata sehingga perlu dijaga dan dirawat. ”Torang so mulai paham kalau ikang abis udang ilang itu karena pengaruh soki yang abis,” kata Suparni salah satu dari mereka ditemui di kebun bibit tersebut .
Dia bilang mereka harus melakukan kerja ini untuk mengembalikan hutan mangrove yang selama ini banyak ditebang maupun rusak akibat ulah manusia. Kelompok ini telah menyemai 20 ribu pohon mangrove.
Dari hasil identifikasi jenis bibit mangrove yang mereka semai ada 5 jenis. Berdasarkan nama nama local seperti hutu lage, pena, ting, dao dan fika. Ragam mangrove ini ditemukan di kawasan hutan mangrove Kao.
Gerakan ini dilakukan sudah memasuki tiga bulan sejak ditetapkan kawasan hutan mangrove desa ini sebagai KEE.
Mereka bilang kesadaran ini muncul setelah menyaksikan hamper 20 tahun terakhir kondisi ikan, dan udang telah menipis. “Kita mulai sadar karena melihat kenyataan hari ini yang sudah berbeda dengan 15 sampe 20 tahun lalu,”katanya lagi.
Desa Kao yang berada di kawasan Teluk Kao Halmahera Utara dulu memiliki hasil ikan dan udang melimpah. Sekarang udang juga sulit didapat. Begitu juga ikan teri semakin berkurang. “Dari berbagai informasi yang kami peroleh, kondisi ini juga karena dampak dari semakin menipis dan berkurangnya hutan mangrove di desa kami. Maka, mutlak mangrove harus dkembalikan,” ujar Lukman Langga ketua kelompok kebun bibit rakyat yang membawahi 15 anggota. Selain kelompok, saat ini warga juga membuat pembibitan mangrove secara mandiri.
Hasil dari hutan mengrove yang melimpah sebelum terganggu, juga diakui Iswati. Dia mengungkapkan, udang laut di Kao dulu melimpah. Sekarang sudah susah didapat.
“Dulu tinggal falo (ambil, red) sekarang pake soma (pukat, red) juga sudah susah. Dulu orang pakai jala saja dapat udang banyak. Sekarang ini menggunakan berbagai macam jaring tetapi hasilnya sedikit. Torang berharap dengan mengembalikan mangrove bisa mengembalikan kondisi ikan dan udang yang dulu begitu melimpah,” harapnya.
Selain udang dan ikan, dari hutan mangrove, juga ibu- ibu menikmati hasil yang melimpah dari jenis kerang-kerangan. Ada banyak jenis bia (kerang,red) yang ada di hutan mangrove Kao ini. Ada kurang lebih 5 jenis kerang. Ada juga beberapa jenis kepiting. Berbagai jenis kerang ini memiliki nilai protein bagi warga bahkan bernilai ekonomis. “Kami ambil kerang jenis popaco itu kalau ada pesanan. Biasanya orang beli untuk dibuat sate kerang. Itu kalau ada yang pesan,” ujar Iswati.
Sementara soal kayu bakar. Dulu memang rajin menebang mangrove. Kini tidak lagi dan menggunakan alternative dengan mengambil kayu dari hutan. Dulu katanya lebih berpikir praktis karena mengambil kayu soki atau mangrove lebih mudah dan dekat. Begitu juga nyalanya sangat bagus.
Setelah mengetahui larangan menebang dan mengambil di kawasan hutan mangrove, akhirnya beralih ke bahan bakar kayu jenis lain. Meski berjalan jauh ke hutan mengambil kayu bakar tetapi harus dilakukan karena tidak bisa lagi mengambil mangrove untuk kayu bakar. Tidak itu saja, saat ini sebagian besar warga Kao telah menggunakan kompor minyak tanah untuk memasak.
Soal potensi di hutan mangrove tidak hanya kayu ikan, udang jenis kerang dan kepiting. Kawasan ini juga menyimpan berbagai jenis satwa burung dan tempat bertelurnya penyu. Data Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) di sini ada 23 jenis burung. Ada juga jenis mandar gendang dan gosong Maluku (maleo,red).
Di kawasan pantai Hate Jawa Desa Kao ini menjadi pusat bertelurnya Gosong maluku atau maleo serta penyu. Sayang hingga kini upaya perlindungan jenis ini dari eksploitasi telurnya belum usai. Meskipun sesuai Perdes sudah mengatur larangan pengambilan telur tetapi eksploitasi masih berjalan.
Hasil penelusuran kabarpulau.co.id ke lapangan menemukan pengambilan telur masih massive. Ditemukan di lapangan ada 26 lobang galian, yang dibuat warga untuk mencari telur maleo/mamua.
Soal adanya eksploitasi oleh warga diakui Sekretaris Desa Kao Rahmat Salampe. Dia bilang Perdes 03/2017 tentang lingkungan hidup yang dihasilkan Desa Kao, sebenarnya mulai berjalan. Warga desa Kao juga perlahan mulai sadar dengan kondisi di desa ini. Persoalannya ada warga di luar desa Kao sering masuk ke kawasan hutan mangrove mengambil kayu dan berbagai potensi di dalam. Mereka menggantungkan kebutuhan mereka di hutan mangrove ini. “Untuk masyarakat Kao, hadirnya Perdes dan Penetapan KEE ini memiliki dampak penting. Kesadaran mereka perlahan mulai tumbuh. Yang kami hadapi sekarang adalah adanya intervensi dari desa tetangga yang kadang bisa memicu konflik jika ada tindakan,” ujarnya.
Dia mengaku, memang masih ada warga yang berburu dan masuk kawasan KEE ini, tetapi ada usaha perlahan lahan memberikan penyadaran sehingga mereka bisa paham pentingnya tidak merusak mangrove dan keanekaragaman hayatinya. (*)
CEO Kabar Pulau