Cerita dari Kampong Tongole Pulau Ternate
Suasana siang jelang sore di awal Januari, tepatnya Minggu (10/1/2021) itu agak terik. Hari itu masih terasa gerah ketika dalam perjalanan untuk sebuah acara dari pusat kota menuju kawasan ekowisata Cengkih Afo di puncak Pulau Ternate. Begitu memasuki Lingkungan Tongole/Ake Tege tege, Marikurubu Ternate Tengah, rasa gerah berangsur sejuk. Rerimbunan hutan cengkih, pala dan bambu di sisi kiri kanan jalan menjadi sumber penyejuk ketika memasuki kampong ini.
Berada 600 meter di atas permukaan laut, untuk menjangkaunya dari pusat kota tak cukup 20 menit. Kampung di lereng Gamalama ini menghadap ke timur Pulau Ternate. Rumah-rumah warga dibangun berjejer mengikuti lereng.
Kawasan ini masuk dalam situs penting berhubungan dengan sejarah masa lalu kejayaan rempah, khususnya cengkih. Cengkih tertua di dunia ditemukan tumbuh di kampong ini.
Tongole tak hanya menjadi pusat awal berkembang biaknya cengkih. Di Maluku Utara, kampong ini juga terkenal dengan bambu tutul atau bamboo loreng-nya. Bambu yang awalnya tumbuh liar, saat ini telah dibudidayakan. Bahkan telah menjadi ikon Kampong Tongole. Dari sini para perajin memproduksi kursi bambu tutul atau loreng dan berbagai alat rumah tangga lainnya. Tak salah ketika memasuki kawasan ekowisata Cengkih Afo seluruh fasilitasnys dibuat dari bambu loreng. Dari pagar hingga material bangunan dan alat makan.
Cengkih Afo di kampong yang asri dan sejuk ini, ada dan timbuh sudah tiga generasi. Sekadar diketahui, Cengkih Afo pertama dan turunan kedua ketiga berada tak berjauhan di satu lokasi tepat di puncak kampong Tongole.
Cengkih Afo pertama yang dikenal sebagai cengkih tertua berumur sekira 416 tahun. Tingginya mencapai 36,6 meter dengan diameter 1,98 meter. Cengkih tertua ini sekali musim berbuah dan dipanen sampai selesai, mencapai 600 kilogram. Cengkih ini telah mati sekira tahun 2000 lalu. Cengkih afo turunan kedua, berusia 250 tahun memiliki diameter 3,97 meter. Dalam satu musim berbuah dan panen hasilnya mencapai 340 kilogram. Pohon cengkih afo kedua ini juga telah mati di tahun 2000- an lalu. Saat ini yang masih ada adalah cengkih afo turunan ketiga yang telah dilindungi.Meski kondisi percabanganya juga sudah ada yang mati, masih coba dirawat. Cengkih afo turunan ketiga ini lingkar tengah batang 3,90 meter. Berumur kurang lebih 200 tahun dengan hasil panen setiap musim berbuah mencapai 250 kilogram.
Sebagai sebuah situs alam bersejarah, di mana cengkih memiliki hubungan dengan perdagangan masa lalu, maka dibuatlah kawasan ekowisata di mana cengkih afo berada.
Wisata cengkih afo yang dikemas bergaya alam memadukan tradisi lokal Ternate, menawarkan kepada pengunjung tak hanya menikmati tempat yang asri dan sejuk, tetapi kembali ke alam sambil menghirup udara dengan bau harum bunga cengkih dan pala.
Adalah Kris Samsudin, orang yang berada di balik ini, menginisiasi dibuatnya kawasan wisata Cengkeh Afo. ‘
Dia bilang, Cengkih Afo adalah cerita yang menarik menjadi asset wisata penting. Menarik karena memiliki sejarah masa lalu yang epic. Bahwa negeri dan bangsa ini dijajah karena hubungannya dengan rempah-rempah terutama cengkih.
Sementara jika orang datang ke Ternate hanya mendengar cerita bahwa negeri ini sumber cengkih berasal. “Bagi saya yang ada orang hanya mendengar cerita. Lalu di mana cengkihnya?. Ekowisata ini tak hanya menjadi icon cengkih yang diburu bangsa Eropa, China dan Arab di zamannya. Perlu wisatawan menyaksikan langsung pohonnya dan jika musim panen orang bisa mencium langsung bau harum cengkih itu,” katanya.
Sementara jika pengunjung atau ada wisatawan datang ke tempat ini, manfaatnya dirasakan masyarakat sekitar secara langsung
Karena itu dia mencoba mulai dari nol menginisiasi pembuatan kawasan ekowisata ini. Berkat dukungan berbagai pihak tempat ini kini menjadi destinasi ekowisata di Ternate dengan luas mencapai 4 hektar.
Dari generasi cengkih afo yang tumbuh di ekowisata ini, masih tersisa generasi ketiga. Di sini juga telah dibangun berbagai fasilitas ekowisata. Ada sawung atau rumah-rumah kecil di bawah rerimbunan cengkih dan pala. Ada juga semacam gazebo dan aula untuk kegiatan pertemuan. Pengunjung bisa menikmati makan dan ngopi atau bersantai sambil dalam suasana alam perkebunan cengkih dan pala. Jika mau menuju ke lokasi cengkih afo pertama juga sudah dibuat tracking sekira 300 meter ke lokasi tersebut.
Ekowisata Cengkih Afo berada di sebuah bukit di seberang kanan jalan, menuju kawasan wisata ini, agak mendaki. Meski demikian telah dibuat tangga. Di kiri kanannya dibuatkan pagar dari bambu dihiasi dekorasi lampu dari bambu yang menarik. Semua bahan yang dipakai dari serba alam. Bangunannya dari kayu dan bambu, atapnya juga dari bambu, tempat makan dan minum juga dari bambu serta batok kelapa. Sementara makanan hingga minuman hangat yang disajikan semua serba tradisonal. Menu yang disajikan sumbernya dari alam sekitar. Ada makanan kobong (pangan local) yang diolah dan disajikan warga. Makanannya khas Ternate dibuat dan dikonsumsi masyarakat turun temurun.
“Ekowisata ini kita kelola berbasis masyarakat. Jadi tidak tidak hanya wisatwan datang menikmati alam dan rempah. Masyarakat sekitar juga diberdayakan. Tujuannya cengkih afo ini memiliki manfaat lebih bagi komunitas masyarakat setempat,” katanya.
Kris mengaku menghimpun dan memberdayakan warga setempat guna menghidupkan kawasan ekowisata Cengkeh Afo ini. “Untuk mengembangkan ekowisata ini dikenal luas butuh kolaborasi termasuk mempebaiki sumberdaya pengelolanya,” katanya.
Dosen ilmu sejarah Universitas Khairun Ternate Irvan Ahmad bilang, untuk wisata sejarah yang menjadi kekayaan Ternate, sejauh ini belum dikelola baik. Benteng tersebar memenuhi kota Ternate, sebenarnya punya kaitan dengan cerita cengkeh afo. Apalagi saat ini telah diresmikan hari rempah di mana Maluku Utara menjadi titik tolak penetapan hari rempah itu. Rempah dan benteng ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
“Wisatawan jauh-jauh datang itu mau melihat jejak nenek moyang mereka di masa lalu. Karena itu narasi tentang rempah dan benteng benteng itu harus diperkuat,” katanya. (*)
CEO Kabar Pulau