Kolaborasi Jaga Adat dan Budaya untuk Alam Lestari
Sebuah kolaborasi digagas dua lembaga, EcoNusa Indonesia dan Perkumpulan PakaTiva. Lembaga yang berbasis di Papua, Papua Barat Maluku dan Maluku Utara itu, menggelar Ekspedisi Maluku dan Festival Kampung Pulau. Mengusung tema besar Menjaga Adat dan Budaya Membangun Alam yang Lestari. Ekspedisinya telah dimulai dari Papua Barat sejak 22 Oktober dan berakhir 15 November dengan waktu 25- 30 hari.
Ekspedisinya meliputi tiga provinsi, yaitu Papua Barat, Maluku Utara dan Maluku. Untuk ekspedisinya mengangkat tema Beradat Jaga Hutan Beradat Jaga Laut Bakudukung Jaga Alam Maluku. Sementara untuk Festival Kampung Mengangkat Tema Jaga Adat dan Budaya untuk Alam yang Lestari.
Untuk ekspedisinya melalui 3 rute perjalanan yaitu: rute1, 22 October–3 Nov (13 hari): Sorong sampai Ternate. Rute II dari 3- 6 November (3 Hari): Transit Ternate-Tulehu. Rute III, 6-18 November (12 Hari) : Tulehu- Kepualauan Banda.
Di Maluku Utara, ekspedisi menggunakan kapal finisi bernama Kurabesi itu, menyinggahi Gane Dalam Gane Barat Selatan, Pulau Sali, Samo, Posi-posi dan Gumira Gane Barat Utara. Selanjutnya menuju Pasir Putih Kayoa, Samsuma Pulau Makian, Pulau Tidore dan berakhir di Ternate.
“Ada beberapa kampong yang disinggahi tim ekspedisi ini, turut menggelar Festival Kampong Pulau, yakni Gane Dalam, Samo, Posi- posi, Gumira dan Pasir Putih Kayoa. Di sana akan digelar berbagai atraksi budaya dan tradisi. Mulai dari menanam dan mengolah pangan hingga adat dan tradisi menjaga alam.
“Semua desa yang disinggahi tim ekspedisi selain gelar festival kampong juga dibuat penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan gratis,” jelas Penanggung jawab Festival Kampung Pulau Zavira Daeng Barang. Kegiatan ini turut melibatkan media dari Jakarta dan Maluku Utara.
Di Pulau Tidore tim ekspedisi akan dijamu oleh pihak Kesultanan Tidore dengan suguhan kuliner tradisional Kedaton Kesultanan Tidore. Tim juga akan mengunjungi kampong ekologi di Kalaodi Tidore Timur. Di sana mereka akan menggelar penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan gratis. Usai kegiatan itu, tim ekspedisi akan diterima oleh struktur adat Kalaodi sambil menikmati keindahan alam pegunungan Tidore.
Sementara di Ternate, tim ekspedisi akan mengikuti kegiatan jelajah pusaka Ternate sebagai bagian dari cara tim ekspedisi menelusuri sejarah rempah di Ternate. Tim akan disuguhi berbagai kuliner khas Ternate, dilanjutkan jelajah benteng yang berakhir di Benteng Kastela. Setelah dua hari di Ternate, tim ekspedisi selanjutnya menuju Tulehu dan Banda di Maluku.
Direktur Eksutif Econusa Bustar Maitar yang ikut serta dalam ekspedisi ini menjelaskan, dia bersama Tim EcoNusa telah memulai perjalanan kedua menjangkau kampung- kampung terpencil di pesisir dan pulau-pulau kecil di Papua Barat.
“Perjalanan pertama telah kami lakukan September lalu. Menyusuri kampung- kampung pesisir dan pulau di Sorong dan Raja Ampat selama 15 Hari. Misi perjalanan ini adalah saling memberikan dukungan dan semangat bersama masyarakat akibat dampak COVID-19.
COVID-19 bukan saja tentang virus yang menakutkan itu, tetapi ada dampak lain yang ditimbulkan. Terutama ekonomi dan ancaman ketahanan pangan,” jelasnya.
Dia bilang, misi perjalanan kedua ini akan lebih banyak terfokus di Maluku Utara dan Maluku dengan pulau-pulau kecil. Sebagian dari kampung-kampung ini terpencil yang mungkin paling terpencil di wilayah ini. Sebagian di antaranya kampung-kampung yang wilayah hutannya paling terancam karena ekspansi pembukaan perkebunan skala besar dan tambang. Seluruhnya adalah kampung- kampung yang minim fasilitas kesehatan atau bahkan tidak ada sama sekali.
“Kami berangkat dari Sorong Papua Barat menggunakan kapal kayu tradisional (Kurabesi,red) yang memiliki fasilitas memadai untuk mendukung misi kami. Tim kami terdiri dari sukarelawan yang direkrut sebanyak 22 orang terdiri dari 2 dokter, 2 perawat, 4 ahli pertanian, 4 ahli dokumentasi, 8 orang relawan logistik dan 2 pendukung administrasi. Kami juga dibantu 11 crew kapal yang professional,” jelasnya.
Dia mengaku sangat bangga dengan keberanian para relawan muda yang bersama. Baik dalam perjalanan pertama maupun yang kedua saat ini.
“Di saat orang lain sibuk bekerja dari rumah, atau sibuk seminar online juga dari rumah dan hal-hal sejenisnya, Anak-anak muda ini dengan berani terjun dalam resiko terpapar COVID-19, virus yang paling ditakuti saat ini,” imbuhnya.
Dia bilang, bagi para relawan, ada banyak orang di luar sana, terutama yang jauh dari fasilitas kesehatan atau fasilitas pendukung lainnya membutuhkan sentuhan. Mereka adalah kelompok rentan yang perlu mendapatkan dukungan. Walaupan jauh dari “kerumunan virus” tetapi sekali mareka terpapar taruhannya adalah nyawa sekampung karena minimnya fasilitas. Saat ini selain Virus Corona, ekonomi juga terdampak signifikan, mereka tidak bisa dengan leluasa lagi menjual hasil-hasil produksi mareka. Bahkan di beberapa tempat aktivitas penghancuran hutan oleh perusahaan besar terus berlangsung.
“Salah satu relawan kami menyampaikan bahwa COVID-19 bukan lagi sebuah resiko, COVID-19 adalah sebuah “kenyataan hidup” saat ini yang harus kita hadapi. COVID-19 akan ada terus bersama kita sampai dalam waktu yang sangat lama atau bahkan seterusnya,” ujar Bustar.
CORONA tidak seharusnya menghentikan manusia untuk saling bantu, terutama masyarakat yang tidak punya “kemewahan” fasilitas pendukung seperti di perkotaan. Yang harus dilakukan adalah terus meningkatkan daya tahan tubuh (imun) dan menjalani protokol kesehatan yang ketat.
Perjalanan pertama dan kedua ini juga menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Semua tim yang ikut serta harus melakukan SWAB sebelum ikut serta dan menjalankan protokol sangat ketat ketika berinteraksi sesama tim dan masyarakat. Secara reguler melakukan tes untuk semua anggota tim, kapal juga secara reguler setiap hari dibersihkan dan dilakukan disinfektan. Resiko terpapar COVID tetap selalu ada dan untuk itu protokol penanganan kasus. Jika terjadi juga telah dibuat dan dijalankan dengan ketat baik selama perjalanan maupun beraktifitas dengan masyarakat.
“Kami juga membawa kurang lebih 8 ton barang sarana produksi pertanian, obat-obatan, masker kain yang sebagain diproduksi oleh kelompok ibu-ibu di Maluku dan Papua, alat pelindung diri lengkap untuk tenaga medis yang akan diberikan kepada Puskesmas, materi sosialisasi terkait COVID-19 dan Alat tes cepat COVID-19. Semua barang-barang ini adalah donasi masyarakat umum dan organisasi baik di Indonesia maupun dari luar negeri termasuk dari Anda semua,” imbuhnya.
Selain memberikan dukungan kepada masyarakat terkait dampak COVID-19, memperkuat ketahanan pangan dan pemulihan ekonomi masyarakat lokal. Yakni melakukan pemantauan terhadap situasi hutan. Karena itu bersama masyarakat di berarapa tempat akan melakukan pembersihan pantai yang untuk meningkatkan kesadaran semua bahwa jika tidak berhenti menggunakan plastik sekali pakai, pada 2050 akan lebih banyak plastik dari pada ikan. Ini tentu membahayakan. “Kami juga akan mendokumentasikan bagaimana kearifan masyarakat, hidup berdampaingan dengan alam tanpa saling merusak baik terkait hutan maupun laut.
Perjalanan ini kata Bustar, akan menjadi salah satu perjanalan panjang lintas pulau. Selama kurang lebih 28 hari, akan menyinggahi 25 kampung di dalam tujuh kabupaten dan tiga provinsi yaitu Papua Barat, Maluku Utara dan Maluku. Akan melintasi jalur laut sepanjang kurang lebih 2000 kilometer.
Kisah Gurabesi/Kurabesi
Bustar turut berkisah tentang sejarah Gurabesi/Kurabesi sebagaimana nama kapal Phinisi yang digunakan dalam ekspedisi ini. Menurutnya, Tidore sebagai kerajaan berbasis maritim di Maluku Utara, memiliki angkatan laut tersohor. Sekira abad ke-16 sampai 17 Panglima angkatan laut Tidore berasal dari Biak bernama Gurabesi/ Kurabesi.
Dalam tahun 1649, VOC berperang dengan Tidore. Datanglah armada yang terdiri dari 24 perahu ke Tidore membawa bahan makanan. Kapal-kapal kecil itu datang dari kepulauan Papua untuk membantu raja Tidore, di bawah perintah seorang yang bernama Gurabesi.”
Kisah Gurabesi berkaitan erat dengan sejarah Kepulauan Raja Ampat. Sebelum berlayar ke Tidore, Gurabesi dan pasukannya singgah di Pulau Waigeo, Raja Ampat. Setelah bertahun-tahun menetap di Pulau ini, dan membangun pangkalan laut yang kuat, Gurabesi memimpin daerah ini dengan perkasa. Ia juga menjadikan Kepulauan Raja Ampat sampai Seram sebagai jalur perniagaan yang strategis.
Ketika Gurabesi berlayar ke Tidore dengan maksud berdagang, ia turut membantu Kesultanan Tidore menghadapi Kesultanan Jailolo dan Ternate. Atas kegemilangannya memimpin pertempuran laut, Gurabesi diangkat menjadi panglima perang angkatan laut Kesultanan Tidore.
Selain itu, sebagai imbalannya, Sultan Tidore mengizinkan anak perempuannya, Boki Tabai, menjadi istri Gurabesi.
Sebelum Gurabesi bersama istrinya berangkat kembali ke Raja Ampat, Sultan Tidore memberi mandat kepada Gurabesi untuk menjadi raja di Kepulauan Raja Ampat dan berpesan kepadanya bahwa kerajaan Tidore akan memberikan dukungan bantuan kepada Gurabesi untuk mendirikan kekuasannya. Selain itu, kerajaan Gurabesi tetap menjadi sekutu Tidore.
Mereka tiba di Pulau Waigeo dan menetap di pusat Pulau Waigeo. Dari Waigeo itulah kekuasaan Gurabesi berkembang ke pulau-pulau lainnya di Kepulauan Raja Ampat, seperti Misol, Salawati, Batanta.(*)
CEO Kabar Pulau