Negeri Moloku Kie Raha sebagai pusat rempah tidak diragukan lagi.Gugusan pulau-pulau di negeri para sultan ini memiliki tanaman khas cengkih dan pala sejak abad ke 16 sampai saat ini. Karena itu juga penetapan Hari Rempah Nasional (HRN) yang jatuh pada 11 Desember lalu juga berdasarkan ekspor cengkih Tidore ke Eropa sebanya 27,3 ton yang dilakukan pada 11 Desember 1521.
Tanggal ekspor cengkih ini, menjadi dasar Dewan Rempah Indonesia sepakat menjadikan sebagai Hari Rempah Nasional. Penetapannya berdasarkan waktu Kesultanan Tidore mengekspor perdana cengkeh ke Eropa dengan menggunakan kapal Victoria. Victoria (atau Nao Victoria, serta Vittoria) adalah kapal pertama yang berhasil mengelilingi dunia. Victoria adalah bagian dari ekspedisi Spanyol yang dipimpin penjelajah Portugis Ferdinand Magellan.
Hal ini menjadi hasil mufakat semua peserta pertemuan dalam rangka Hari Rempah Nasional yang diselenggarakan oleh Dewan Rempah Indonesia dan Ditjen Perkebunan.
Dikutip dari laman https://mediaperkebunan.id dijelaskan, bahwa kesepakatan ini dibacakan oleh Hendratmojo Bagus Hudoro, Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Ditjen Perkebunan.
Ketua Dewan Rempah Indonesia Gamal Nasir sebagai mana dirilis media perkenbunan.id menyatakan Hari Rempah Nasional (HRN) akan diperingati setiap tahunnya bersama para stakeholder agribisnis rempah nasional. Kesepakatan menjadikan HRN tanggal 11 Desember berjalan mulus karena selama ini sudah banyak informasi, data dan historis yang dibahas dalam berbagai event FGD, seminar, workshop, webinar sejak dekade terakhir. Antara lain mengenai jalur rempah, wisata rempah, kuliner rempah, akses pasar rempah dalam dan luar negeri, industri rempah, dan lainnya yang dilaksanakan oleh berbagai institusi rempah.
Demikian pula, dukungan program rempah pusat dan daerah antara lain GRATIEK di Kementan, jalur rempah di Kemendikbud, poros maritim berbasis rempah dan spices culinary for the future di Kemenko Maritim. Wisata berbasis rempah di Kemenpar dan Ekonomi Kreatif, rempah di kawasan transmigrasi di Kemendes PDT dan Trans, lahan sosial kehutanan untuk rempah di Kemen LHK, Market Place di Kemenkop UKM, Gosora di Maluku Utara, gerakan desa rempah di Bappenas, Festival rempah di Sumatera selatan, sekolah rempah, dan masih banyak lagi.
“Rempah jangan dipandang sebagai komoditi saja, tetapi sebagai nilai. Keberadaan rempah memberikan nilai menjadi lebih tinggi terhadap makanan, minuman, kesehatan, kebugaran, kecantikan, pewarna, pengawet, dan spiritual,”kata Gamal.
Demikian juga historis tentang situs, artefak, gedung tua, literasi tua, dan cerita lama kearifan lokal, dikemas untuk menjadi produk bernilai tinggi sebagai obyek, dan tujuan wisata. Gamal menyatakan hal ini pada pertemuan dalam rangka Hari Rempah Nasional, Dewan Rempah Indonesia.
Dia bilang banyak nilai rempah yang dapat diraih dari potensi dan peluang yang ada, dari nilai yang hilang trilyunan rupiah dari waktu ke waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk modal pembangunan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Mari sama sama memperbaiki tata nilai dari rangkaian rantai pasok rempah dari hulu, hilir sampai ke konsumen akhir dalam dan luar negeri,” kata Gamal.
Alangkah sayangnya, jika rempah nasional yang memiliki berbagai keunggulan spesialty menjadi terpuruk padahal rempahlah yang menjadikan nusantara dikenal dunia. Rempahlah yang menjadi tulang punggung ekonomi dalam berbagai stuasi apalagi di masa resesi dan pandemi seperti saaat ini. Rempahlah yang telah merubah peradaban dunia. Rempah tidak hanya sekedar tanaman dan produk, tapi telah masuk ke tata kehidupan sosial dalam lapisan masyarakat yang akhirnya melahirkan perdadaban sosial suatu bangsa.
Secara teknis, rempah sebagai tanaman dan produk merupakan domain Kementan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan kualitas guna kesejahteraan masyarakat. Tetapi dalam aspek ekonomi berbasis rempah, mengandung sprektum yang lebih luas lagi yang melibatkan seluruh kementerian dan institusi terkait.
Dewan Rempah Indonesia (DRI) hadir untuk mengemban amanat UU perkebunan no 18 tahun 2004 yaitu membangun sinergi antar para pelaku usaha agribisnis perkebunan yang lebih dkuatkan dalam perubahan UU perkebunan no 39 tahun 2014 pasal 52. Namun, untuk Dewan komoditi tersebut belum diatur lebih lanjut operasionalnya dalam Peraturan Pemerintah sehingga memiliki berbagi keterbatasan sumber daya, sarana dan prasarana pendukungnya.
Namun demikian, dalam berbagai keterbatasan terebut, berbagai upaya tetap dilaksanakan untuk mendukung pemerintah dalam sinergitas dan keterpaduan khususnya dalam merebut kembali kejayaan rempah nasional.
Hal ini bukanlah suatu hal yang mudah, tapi memerlukan kepedulian, keseriusan, komitmen dan tanggung jawab dari seluruh stakeholder rempah. Untuk terwujudnya hal tersebut diperlukan juga payung hukum legal formal yang mengikat sehingga kejayaan rempah ini dapat diraih kembali. Jadi bukan hanya retorika dan slogan saja. (*)
CEO Kabar Pulau