Air menjadi salah satu sumber kehidupan penting di bumi. Secara global, hampir 850 juta orang di seluruh dunia tidak memiliki akses terhadap air bersih. Angka ini diprediksi akan terus bertambah jika tidak segera dilakukan upaya pengelolaan sumber daya air berkelanjutan. Keberlanjutan sumber daya air saat ini memang semakin terancam, akibat berbagai faktor, di antaranya pertambahan penduduk, pembuangan limbah ke daerah-daerah aliran sungai, dan bencana alam seperti banjir bandang akibat perubahan ekologis dan krisis iklim global.
Beberapa hal ini, dibahas saat digelar Kelas Belajar Bersama bertema Krisis Air dan Masa Depan Bumi pada 9-10 Januari 2020 lalu yang diinisiasi oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau The Society of Indonesia Enviromental Journalists
Direktur Sungai Pantai, Direktorat Kementerian PUPR Republik Indonesia, Ir. Bob Arthur Lambogia, M.Si,dalam kegiatan itu memaparkan tiga pilar utama perlindungan dan pelestarian sumber air yang menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Bob Arthur mengatakan tiga pilar itu yakni konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak sesuai UU Nomor 17 tahun 2019.
“Ketiga pilar ini menjadi pedoman dalam perumusan kebijakan pemerintah untuk menjamin hak rakyat atas air,” katanya.
Dikatakan, dari visium Kementerian PUPR 2030 bidang Sumber Daya Air yang menargetkan 120 M3/ kapita/ tahun, penyediaan air pada 2020 sudah berhasil mencapai 50,27 M3/kapita/tahun. Salah satu kebijakan yang dinilai efektif dalam perlindungan sumber daya air adalah pembangunan bendungan. Selain sebagai penyimpanan cadangan air, bendungan dapat difungsikan sebagai sumber arus listrik dan saluran irigasi.
Sampai 2020, total 220 bendungan dibangun Indonesia sudah berhasil terbangun dan sekitar 43 proyek lainnya masih dalam proses penyelesaian. Di sisi lain,
Kementerian PUPR mengakui adanya berbagai tantangan dalam pengelolaan sumber air berkelanjutan. Di antaranya laju pertumbuhan penduduk dan arus urbanisasi. Jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 290 juta jiwa pada 2030, sehingga kebutuhan air akan ikut meningkat.
Perpindahan penduduk selama ini juga turut memengaruhi ketersediaan air, “Urbanisasi membuat berkurangnya kapasitas tampungan air, selain sedimentasi juga okupansi. Sungai dari lebar misalnya 10 meter sisa 3 meter. Sedangkan daerah hulu terjadi penutupan lahan saat hujan turun yang dulunya sebagai infilitrasi,” jelas Bob Arthur.
Usaha pemerintah sendiri tidak dapat menjamin kesuksesan kebijakan perlindungan dan pelestarian sumber daya air. Peran serta berbagai pihak diperlukan.
Akademisi Universitas Riau Dr. Suwondo dalam kegiatan belajar bersama, ikut menekankan pentingnya perumusan strategi perlindungan sumber daya air yang melibatkan berbagai pihak, terutama masyarakat lokal.
Seperti fenomena siklus banjir 10 tahun yang terjadi di daerah sekitar waduk PLTA Koto Panjang di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kampar. Pembangunan waduk seakan hanya menambah masalah, padahal bencana banjir justru diakibatkan oleh perubahan keseimbangan ekologis. Di antaranya ahli fungsi lahan yang dijadikan perkebunan gambir dan kelapa sawit di daerah aliran sungai. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat setempat juga menggunakan waduk PLTA Koto Panjang sebagai media keramba yang menggunakan zat nitrat, sehingga terjadi pencemaran dan pendangkalan waduk yang memengaruhi kualitas air. “Masyarakat harus ikut terlibat dalam pola pertanian yang berkelanjutan. Harus ada sinkronisasi antar-lembaga seperti penerapan teknologi dan edukasi agar debit air terjaga, tentunya dengan peran multipihak,” tegas Suwondo.
Kepedulian terhadap keberlanjutan sumber daya air juga datang dari sektor swasta yang bergerak dalam bidang industri keuangan, PT Bank HSBC Indonesia. Salah satu komitmen HSBC Indonesia dalam upaya membangun bisnis jangka panjang adalah dengan adanya sustainability risk policies untuk memastikan kegiatan bisnis dan operasional dilakukan dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi.
Nuni Sutyoko, Head of Corporate Sustainability HSBC Indonesia, menuturkan bahwa air memiliki peranan penting dalam menciptakan masyarakat yang sehat sehingga dapat membangun perekonomian nasional. Oleh karena itu peran aktif dari seluruh lapisan masyarakat termasuk dari pelaku bisnis dari berbagai sektor sangat penting dalam memastikan pengelolaan sumber daya air. Pada 2012, HSBC telah memulai program global “HSBC Water Program” bersama dengan lebih dari 50 LSM di seluruh dunia dalam rangka penanganan isu air, edukasi, dan riset ilmiah.
Di Indonesia, HSBC menggandeng Yayasan WWF Indonesia untuk menjaga kelestarian air dengan program konservasi air, diantaranya berlokasi di Rimbang Riau dan Koto Panjang Sumatera Barat. Semangat untuk mengkampanyekan gerakan hemat air pernah diinisiasi Nana Firman, dari Yayasan Greenfaith berbasis di Amerika Serikat, yang menggunakan pendekatan unik untuk menyampaikan pesan tentang pentingnya air pada masyarakat.
Salah satu tantangan yang pernah Nana lakukan dengan mempraktekkan “Eco-wudu”, yaitu wudu ramah lingkungan sesuai sunah. “Bagaimana berwudhu dengan 500ml air. Sebotol kecil air dan lebih dekat dengan sunah,” jelasnya.
Semangat menjaga keberlanjutan sumber air, khususnya sungai-sungai di Indonesia, juga lahir dari gerakan yang digaungkan anak muda pendiri “Sungai Watch” dan Yayasan “Make A Change World”, Gary Benchegib. Setelah aksinya membersihkan sungai Citarum viral pada 2017 lalu, Gary masih tetap konsisten melakukan upaya-upaya pembersihan sampah di sungai.
Saat ini, Gary bersama timnya sedang mengembangkan inovasi penggunaan trash barrier atau trash block untuk ditempatkan pada daerah aliran sungai, yang berfungsi menyaring sampah-sampah sebelum akhirnya bermuara ke laut. Sampah yang dikumpulkan kemudian dipisahkan dan didaur ulang menurut jenisnya. “80% sampah di laut datangnya dari sungai, kita harus mengubah perspektif kita mengenai darimana sampah plastik di laut berasal. Kita harus mulai dari sungai,” ungkap Gary.
Air menjadi salah satu sumber kehidupan penting di bumi. Secara global, hampir 850 juta orang di seluruh dunia tidak memiliki akses terhadap air bersih. Angka ini diprediksi akan terus bertambah jika tidak segera dilakukan upaya pengelolaan sumber daya air berkelanjutan. Keberlanjutan sumber daya air saat ini memang semakin terancam, akibat berbagai faktor, di antaranya pertambahan penduduk, pembuangan limbah ke daerah-daerah aliran sungai, dan bencana alam seperti banjir bandang akibat perubahan ekologis dan krisis iklim global.
Beberapa hal ini, dibahas saat digelar Kelas Belajar Bersama bertema Krisis Air dan Masa Depan Bumi pada 9-10 Januari 2020 lalu yang diinisiasi oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau The Society of Indonesia Enviromental Journalists
Direktur Sungai Pantai, Direktorat Kementerian PUPR Republik Indonesia, Ir. Bob Arthur Lambogia, M.Si,dalam kegiatan itu memaparkan tiga pilar utama perlindungan dan pelestarian sumber air yang menjadi perhatian pemerintah Indonesia.
Bob Arthur mengatakan bahwa tiga pilar itu yakni konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak sesuai UU Nomor 17 tahun 2019.
“Ketiga pilar ini menjadi pedoman dalam perumusan kebijakan pemerintah untuk menjamin hak rakyat atas air,” katanya.
Dikatakan dari visium Kementerian PUPR 2030 bidang Sumber Daya Air yang menargetkan 120 M3/ kapita/ tahun, penyediaan air pada 2020 sudah berhasil mencapai 50,27 M3/kapita/tahun. Salah satu kebijakan yang dinilai efektif dalam perlindungan sumber daya air adalah pembangunan bendungan. Selain sebagai penyimpanan cadangan air, bendungan dapat difungsikan sebagai sumber arus listrik dan saluran irigasi.
Sampai 2020, total 220 bendungan dibangun Indonesia sudah berhasil terbangun dan sekitar 43 proyek lainnya masih dalam proses penyelesaian. Di sisi lain,
Kementerian PUPR mengakui adanya berbagai tantangan dalam pengelolaan sumber air berkelanjutan. Di antaranya laju pertumbuhan penduduk dan arus urbanisasi. Jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 290 juta jiwa pada 2030, sehingga kebutuhan air akan ikut meningkat.
Perpindahan penduduk selama ini juga turut memengaruhi ketersediaan air, “Urbanisasi membuat berkurangnya kapasitas tampungan air, selain sedimentasi juga okupansi. Sungai dari lebar misalnya 10 meter sisa 3 meter. Sedangkan daerah hulu terjadi penutupan lahan saat hujan turun yang dulunya sebagai infilitrasi,” jelas Bob Arthur.
Usaha pemerintah sendiri tidak dapat menjamin kesuksesan kebijakan perlindungan dan pelestarian sumber daya air. Peran serta berbagai pihak diperlukan.
Akademisi Universitas Riau Dr. Suwondo dalam kegiatan belajar bersama, ikut menekankan pentingnya perumusan strategi perlindungan sumber daya air yang melibatkan berbagai pihak, terutama masyarakat lokal.
Seperti fenomena siklus banjir 10 tahun yang terjadi di daerah sekitar waduk PLTA Koto Panjang di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kampar. Pembangunan waduk seakan hanya menambah masalah, padahal bencana banjir justru diakibatkan oleh perubahan keseimbangan ekologis. Di antaranya ahli fungsi lahan yang dijadikan perkebunan gambir dan kelapa sawit di daerah aliran sungai.
Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat setempat juga menggunakan waduk PLTA Koto Panjang sebagai media keramba yang menggunakan zat nitrat, sehingga terjadi pencemaran dan pendangkalan waduk yang memengaruhi kualitas air. “Masyarakat harus ikut terlibat dalam pola pertanian yang berkelanjutan. Harus ada sinkronisasi antar-lembaga seperti penerapan teknologi dan edukasi agar debit air terjaga, tentunya dengan peran multipihak,” tegas Suwondo.
Kepedulian terhadap keberlanjutan sumber daya air juga datang dari sektor swasta yang bergerak dalam bidang industri keuangan, PT Bank HSBC Indonesia. Salah satu komitmen HSBC Indonesia dalam upaya membangun bisnis jangka panjang adalah dengan adanya sustainability risk policies untuk memastikan kegiatan bisnis dan operasional dilakukan dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi.
Nuni Sutyoko, Head of Corporate Sustainability HSBC Indonesia, menuturkan bahwa air memiliki peranan penting dalam menciptakan masyarakat yang sehat sehingga dapat membangun perekonomian nasional. Oleh karena itu peran aktif dari seluruh lapisan masyarakat termasuk dari pelaku bisnis dari berbagai sektor sangat penting dalam memastikan pengelolaan sumber daya air. Pada 2012, HSBC telah memulai program global “HSBC Water Program” bersama dengan lebih dari 50 LSM di seluruh dunia dalam rangka penanganan isu air, edukasi, dan riset ilmiah.
Di Indonesia, HSBC menggandeng Yayasan WWF Indonesia untuk menjaga kelestarian air dengan program konservasi air, diantaranya berlokasi di Rimbang Riau dan Koto Panjang Sumatera Barat. Semangat untuk mengkampanyekan gerakan hemat air pernah diinisiasi Nana Firman, dari Yayasan Greenfaith berbasis di Amerika Serikat, yang menggunakan pendekatan unik untuk menyampaikan pesan tentang pentingnya air pada masyarakat.
Salah satu tantangan yang pernah Nana lakukan dengan mempraktekkan “Eco-wudu”, yaitu wudu ramah lingkungan sesuai sunah. “Bagaimana berwudhu dengan 500ml air. Sebotol kecil air dan lebih dekat dengan sunah,” jelasnya.
Semangat menjaga keberlanjutan sumber air, khususnya sungai-sungai di Indonesia, juga lahir dari gerakan yang digaungkan anak muda pendiri “Sungai Watch” dan Yayasan “Make A Change World”, Gary Benchegib. Setelah aksinya membersihkan sungai Citarum viral pada 2017 lalu, Gary masih tetap konsisten melakukan upaya-upaya pembersihan sampah di sungai. Saat ini, Gary bersama timnya sedang mengembangkan inovasi penggunaan trash barrier atau trash block untuk ditempatkan pada daerah aliran sungai, yang berfungsi menyaring sampah-sampah sebelum akhirnya bermuara ke laut. Sampah yang dikumpulkan kemudian dipisahkan dan didaur ulang menurut jenisnya. “80% sampah di laut datangnya dari sungai, kita harus mengubah perspektif kita mengenai darimana sampah plastik di laut berasal. Kita harus mulai dari sungai,” ungkap Gary.(*)
CEO Kabar Pulau