Cerita Tersisa dari Ekspedisi Maluku di Pulau Makean
Pada 1 November 2020 lalu, kami berkesempatan mengunjungi kampung Suma di Makean Pulau Kabupaten Halmahera Selatan. Kunjungan ini dalam agenda kegiatan Ekspedisi Maluku yang menyinggahi beberapa pulau di Maluku Utara termasuk di Pulau Makean.
Kehadiran kami bertepatan dengan penyuluhan dan pelayanan kesehatan sebagai bagian dari kegiatan Ekspedisi Maluku oleh Yayasan EcoNusa bekerja sama dengan Perkumpulan PakaTiva dan Walhi Maluku Utara. Ekspedisi menggunakan kapal Kurabesi Explorer ini singgah di Suma setelah sebelumnya dari Gane menyinggahi Pulau Sali, dan Pulau Kayoa di Desa Pasir Putih. Ekspedisi yang membawa tim media dokter dan bantuan saran pertanian ini, selain melakukan pengabdian kepada masyarakat di pulau-pulau jarang tersentuh, juga ingin mencatat dan memublikasikan cerita-cerita baik dari kampong dan pulau. Ingin mencatat dan mengangkat beragam produk local ke permukaan sehingga lebih diketahui publik.
Cerita tentang kenari dan halua dari Suma, begitu terasa ketika menginjakkan kaki ke kampong ini. Sebenarnya, desa ini sama seperti kampung lain di Pulau yang memiliki dua gunung, Kie Besi dan Solimongo itu. Pulau vulkanis berada dalam jalur ring of fire ini, hutan setiap kampungnya didominasi pohon kenari, selain pala dan cengkih. Kenari pala dan cengkih menjadi tanaman yang dikelola dan dikembangkan warga turun temurun ratusan tahun lalu. Dibanding pohon kelapa terbilang tanaman baru. Di desa Suma misalnya pohon kelapa baru ditanam warga, 1999 lalu pasca konflik social yang melanda negeri ini.
Hutan kenari mendominasi lahan di pulau ini maka banyak orang menjuluki Pulau Makean dengan Pulau Kenari. Kenari sebenarnya memiliki sejarah panjang. “Kenari adalah tanaman yang diintroduksi dari luar oleh Belanda,” ujar Irfan Ahmad sejarawan Maluku Utara.
Ikon kenari begitu kuat. Siapa saja yang datang ke Suma termasuk 15 kampung di Pulau ini, pasti menyaksikan dan menikmati beragam cemilan dari kenari.
Dari pelabuhan saja sudah disuguhi pemandangan beragam jualan cemilan buah kenari. Dari biji kenari muda mentah, hingga dibuat dalam bentuk halua kenari basah maupun yang kering.
Di kampng ini, ketika ada kapal penumpang sandar baik dari Ternate atau sebaliknya dari Kayoa menuju Ternate, singgah menurunkan dan mengangkut penumpang dan barang, ibu-ibu dan anak-anak sibuk dan berebut menawarkan pada penumpang berbagai cemilan kenari ini.
Kesan kampong kenari terlihat di desa ini juga, sebelum masuk hutan. Di pelabuhan desa Suma, ada dua pohon kenari besar berdiri tepat di samping pelabuhan. Pohon kenari ini menjadi penanda. Pasalnya dari pesisir hingga ke daerah pegunungan semua dihiasi pohon kenari ditupangsarikan dengan kelapa pala dan cengkih. Memang saat kami tiba di desa Suma, telah lewat masa panen kenari. Karena itu ketika didatangi beberapa kebun, hampir semua pohon kenari baru berbunga. “Proses kenari berbunga sampai matang dan siap dipanen itu butuh waktu 6 bulan. Kalian datang ini masa panen telah lewat dan memasuki masa berbunga ,” jelas Usman Hi Hamadi pemilik kebun kenari yang juga tokoh masyarakat setempat.
Beruntung, tak jauh dari kampong Suma sekira 300 meter, di kebun Pak Usman masih ada satu dua buah kenari tersisa saat panen lalu dan telah matang. Akhirnya langsung dipanen pemilik kebun. Buah yang dipanen itu jadi contoh dan ditunjukan kepada para tamu yang datang ke Suma dalam agenda Ekspedisi Maluku waktu itu. Para tamu ini ingin melihat dari dekat proses panen kenari hingga diolah menjadi halua kenari.
Setelah menyaksikan proses panen, dilanjutkan memisahkan tempurung kenari dari isinya dengan cara dipukul dengan batu. Usai proses pemisahan dari tempurung dilanjutkan dengan pelepasan lapisan kulit. Karena kenarinya baru dipanen, pemisahan lapisan kulit dari isinya juga mudah. Sementara untuk buah kenari yang telah dikeringkan jika dipisahkan dari lapisan isinya butuh perendaman dengan air panas. “Jika kita rendam dalam air panas maka kulit yang melapisi kenari mudah terlepas,” kata Nona K Badi salah satu ibu yang mengolah kenari jadi halua. Dari kenari yang diolah bisa jadi dua jenis halua yakni kering dan basah.
Untuk halua basah setelah dipisahkan lapisan kulit dengan isi, langsung di masukan ke dalam gula aren atau gula kristal yang telah dicairan. Kemudian dibolak balik sampai merata dan matang. Sementara untuk halua kering, isi kenari yang telah disiapkan, digoreng terlebih dulu. Jika sudah matang dimasukan ke dalam gula yang telah dimasukan dalam wajan lalu dibolak balik seperti sangarai hingga merata. Untuk halua basa jika sudah merata kemudian diangkat dan dibentuk memanjang di dalam daun pisang maupun dibungkus dalam plastic. “Kita di sini menggunakan plastic karena dia tahan lama saat dijual,” ujar Nona. Sementara halua kering yang telah disangarai dengan gula langsung dibungkus menggunakan plastic.
Produksi halua dari kampong ini tidak hanya dijual di local atau kampong saja. Saat ini warga Suma mulai merambah Ternate dengan menjualnya dari rumah ke rumah hingga berbagai tempat yang banyak pengunjung. Misalnya pelabuhan dan bandara.
Diakui memang warga setempat sangat terpukul ketika munculnya virus Covid 19 karena usaha mereka terhenti sama sekali. Pasalnya ketika tak ada transportasi yang masuk ke kampong mereka beberapa waktu lalu uang pun mereka tak dapatkan. “Sekarang seiring waktu aktivitas jual beli di atas pelabuhan telah ramai dengan aktifnya aktivitas transportasi laut menyinggahi kampong ini. Syukur Alhamdulillah. Sekarang sudah bergeliat lagi. Usaha kerajinan cemilan halua kembali hidup,” ujar Nona. Tiap hari dari jual kenari isi dan halua tiap ibu bisa mendapatkan Rp 100 ribu. Angka yang sangat berharga untuk ukuran hidup di kampung,” kata Usman lagi.
Cerita tentang kenari sebenarnya tidak hanya urusan cemilan halua. Pohon kenari adalah identitas warga di Pulau Makean maupun yang telah berdiaspora ke pulau lain di Maluku Utara. Pulau yang memiliki luas 55,50 kilometer dari pesisir sampai mendekati kawasan puncak dihiasi kenari dari berusia muda sampai yang sudah ratusan tahun. “Hasil kenari yang dijual bisa menyekolahkan anak hingga naik haji,” kata Narjo warga Suma. (*)
CEO Kabar Pulau