Home / Kabar Kampung

Minggu, 29 November 2020 - 13:28 WIT

Halua Kenari, Sumber Pendapatan Ibu-ibu Suma

Cerita Tersisa  dari Ekspedisi Maluku di Pulau Makean

Pada 1 November 2020 lalu, kami berkesempatan mengunjungi kampung Suma di Makean Pulau Kabupaten Halmahera Selatan. Kunjungan ini dalam  agenda kegiatan Ekspedisi Maluku  yang menyinggahi beberapa pulau di Maluku Utara termasuk  di Pulau Makean.

Kehadiran kami  bertepatan dengan penyuluhan  dan pelayanan kesehatan sebagai bagian dari kegiatan Ekspedisi Maluku oleh Yayasan EcoNusa bekerja sama dengan Perkumpulan PakaTiva dan Walhi Maluku Utara. Ekspedisi menggunakan kapal Kurabesi Explorer ini singgah di Suma setelah sebelumnya dari Gane menyinggahi  Pulau Sali, dan Pulau Kayoa di Desa Pasir Putih.  Ekspedisi  yang membawa tim media dokter dan bantuan saran pertanian ini, selain melakukan pengabdian kepada masyarakat  di pulau-pulau   jarang tersentuh, juga ingin mencatat dan memublikasikan cerita-cerita baik dari kampong dan pulau.  Ingin  mencatat dan mengangkat beragam produk local ke permukaan sehingga lebih diketahui   publik.

Isi Buah kenari yang telah dipisakan dari tempurungnya, foto m ichi

Cerita tentang kenari dan halua dari Suma,  begitu   terasa ketika menginjakkan kaki ke kampong ini. Sebenarnya, desa ini sama seperti kampung lain di Pulau  yang memiliki dua  gunung, Kie Besi dan Solimongo itu.  Pulau vulkanis  berada dalam jalur ring of fire ini, hutan setiap kampungnya didominasi pohon kenari, selain pala dan cengkih. Kenari pala dan cengkih menjadi tanaman yang dikelola dan dikembangkan warga turun temurun   ratusan tahun lalu. Dibanding  pohon kelapa terbilang tanaman baru.  Di desa Suma misalnya pohon kelapa baru ditanam warga, 1999 lalu pasca konflik social yang  melanda negeri ini.

Hutan kenari mendominasi lahan di pulau ini maka   banyak orang  menjuluki Pulau Makean dengan Pulau Kenari. Kenari sebenarnya memiliki sejarah panjang.      “Kenari adalah tanaman yang diintroduksi dari luar   oleh Belanda,” ujar Irfan Ahmad sejarawan  Maluku Utara.

Ikon kenari begitu kuat. Siapa saja yang datang ke  Suma termasuk 15  kampung di Pulau ini, pasti menyaksikan dan menikmati beragam  cemilan  dari kenari.  

Dari pelabuhan saja sudah disuguhi  pemandangan beragam jualan cemilan buah kenari. Dari biji kenari muda mentah, hingga  dibuat dalam bentuk halua kenari  basah maupun yang kering.

Baca Juga  Kisah "Kampung Tua" Tifure di Pulau Batang Dua

Di kampng ini,  ketika ada kapal penumpang sandar baik dari Ternate atau sebaliknya dari Kayoa menuju Ternate,  singgah  menurunkan dan mengangkut   penumpang dan barang,  ibu-ibu dan anak-anak sibuk  dan berebut menawarkan pada penumpang berbagai cemilan  kenari ini.    

Setelah dipisah dari lapisan kulit, isi kenari ditaruh dalam wajan yang sebelumnya telah dipanskan gula hingga mencair.

Kesan kampong kenari terlihat di desa ini juga, sebelum masuk hutan. Di pelabuhan desa Suma, ada dua pohon kenari besar berdiri tepat di samping pelabuhan. Pohon kenari ini menjadi penanda.  Pasalnya  dari pesisir hingga ke daerah pegunungan semua dihiasi   pohon kenari ditupangsarikan dengan kelapa pala dan cengkih. Memang saat kami tiba di desa Suma, telah lewat masa panen kenari. Karena itu ketika didatangi beberapa kebun, hampir semua pohon kenari baru berbunga. “Proses kenari berbunga sampai matang dan siap dipanen itu  butuh waktu 6 bulan. Kalian datang ini masa panen telah lewat dan memasuki  masa berbunga  ,” jelas Usman Hi Hamadi pemilik kebun kenari yang juga tokoh masyarakat  setempat.   

Beruntung, tak jauh dari kampong Suma sekira 300 meter, di kebun Pak Usman  masih ada satu dua buah  kenari  tersisa saat panen lalu dan telah matang. Akhirnya  langsung dipanen pemilik kebun. Buah yang dipanen itu  jadi   contoh dan ditunjukan kepada para  tamu yang datang ke Suma dalam  agenda  Ekspedisi Maluku waktu itu. Para tamu ini ingin melihat dari dekat proses panen kenari hingga diolah  menjadi halua kenari.

Proses pelepasan lapisan kulit daging kenari

Setelah menyaksikan proses panen,  dilanjutkan memisahkan tempurung kenari dari  isinya dengan cara dipukul dengan batu.  Usai proses pemisahan dari tempurung  dilanjutkan dengan pelepasan lapisan  kulit.  Karena kenarinya baru dipanen,   pemisahan lapisan  kulit  dari isinya   juga  mudah.  Sementara untuk buah kenari yang telah dikeringkan jika dipisahkan dari lapisan isinya   butuh perendaman  dengan air panas.  “Jika kita rendam dalam air panas  maka kulit yang melapisi kenari   mudah terlepas,” kata  Nona K Badi  salah satu ibu yang mengolah kenari jadi halua.   Dari kenari yang diolah  bisa jadi dua jenis halua yakni  kering dan basah.  

Baca Juga  Bangun Desa Harus Dimulai dari Tata Ruang

Untuk halua basah setelah dipisahkan lapisan kulit dengan isi, langsung di masukan ke dalam gula aren  atau gula kristal yang telah dicairan. Kemudian dibolak  balik  sampai merata dan matang. Sementara untuk halua kering,  isi kenari yang telah disiapkan, digoreng terlebih dulu. Jika sudah matang dimasukan ke dalam gula yang telah dimasukan dalam wajan lalu dibolak balik seperti sangarai hingga  merata.   Untuk halua basa  jika sudah   merata kemudian diangkat dan dibentuk  memanjang di dalam daun pisang maupun dibungkus dalam plastic. “Kita di sini menggunakan plastic karena dia tahan lama saat dijual,” ujar Nona.  Sementara halua kering yang telah disangarai dengan gula  langsung dibungkus menggunakan plastic.

Produksi halua dari kampong ini tidak hanya dijual di  local atau kampong saja. Saat ini warga  Suma mulai merambah Ternate dengan  menjualnya dari rumah ke rumah hingga  berbagai tempat  yang banyak pengunjung. Misalnya pelabuhan dan bandara.

Buah kenari yang telah dilepas kulit tempurgnya

Diakui memang warga setempat sangat terpukul ketika munculnya virus Covid 19 karena  usaha mereka terhenti sama sekali. Pasalnya  ketika  tak ada transportasi yang masuk ke kampong mereka beberapa waktu lalu uang pun mereka tak dapatkan. “Sekarang seiring waktu aktivitas jual beli di atas pelabuhan telah ramai dengan aktifnya aktivitas transportasi laut  menyinggahi kampong ini.  Syukur Alhamdulillah. Sekarang sudah bergeliat lagi. Usaha kerajinan cemilan halua kembali hidup,” ujar Nona. Tiap hari dari jual kenari isi dan halua tiap ibu bisa mendapatkan Rp 100 ribu. Angka yang sangat berharga untuk ukuran hidup di kampung,” kata Usman lagi.   

Cerita tentang kenari sebenarnya tidak hanya urusan cemilan halua. Pohon kenari  adalah   identitas warga  di Pulau Makean maupun yang telah berdiaspora ke pulau lain di Maluku Utara.  Pulau yang memiliki luas 55,50 kilometer dari  pesisir sampai  mendekati kawasan puncak dihiasi kenari dari berusia muda sampai yang sudah ratusan tahun. “Hasil kenari  yang dijual bisa menyekolahkan  anak hingga naik haji,” kata Narjo warga Suma. (*)  

Share :

Baca Juga

Kabar Kampung

Bacarita Pangan Lokal Maluku Utara

Kabar Kampung

Dulu Tebang, Sekarang Tanam

Kabar Kampung

Perkenalkan Badan Bank Tanah di  Malut 

Kabar Kampung

Warga Gane Timur Minta Pemerintah Perhatikan Produksi Sagu

Etniq

Perempuan Tobaru Kembangkan Pangan Lokal

Kabar Kampung

Lebah Raksasa Kembali Ditemukan di TNAL Resort Tayawi

Kabar Kampung

Tradisi Gotong-Royong Tangkap Ikan di Mayau

Kabar Kampung

Ini Cara Antisipasi Stok Pangan Saat Pandemi