Home / Etniq / Lingkungan Hidup

Kamis, 11 November 2021 - 07:32 WIT

Hutan Orang Tobaru Terus Menyusut

Yusak Bulere (67 tahun) sibuk mengasapi kelapa yang telah diolah menjadi kopra. Saat ditemui di kebunnya Minggu sekira pukul 11.30 WIT pertengahan Februari 2021 lalu, Ayah tiga ini sibuk melemparkan  gonofu  (sabut kelapa dan tempurung kelapa,red) ke dalam api untuk menambah  api bafufu (pengasapan,red). Yusak sejak pagi menunggu kopra matang untuk segera dijual  kepada pedagang  pengumpul di Kecamatan Tabaru Kabupaten Halmahera Barat.

Dia mengaku punya tiga kebun atau dusun  yang berisi tanaman kelapa  dan pala. Kebun kelapa miliknya sekali panen mencapai 800 kilogram. Dalam setahun 3 kali panen atau  sekali panen dalam 4 bulan.   Sebelumnya karena harga kopra yang rendah, kebun kelapa  tidak diurus. Dalam 4 bulan terakhir harga kopra mulai merangkak naik sehingga dia turun tangan panen  kelapa miliknya.

Sementara untuk kebun pala  setiap   bulan dia panen.  Jika buah lagi  banyak,  sekali panen bisa 50 kilogram.  Meski tidak muda lagi, Yusak masih tetap bekerja mengolah  kebunnya. 

“Untuk proses panen  ada tenaga kerja yang bisa disewa. Panjat dan panen saja atau panjat panen sampai jadi kopra, semua bisa disewa,” katanya.

Selain kebun kelapa ada juga lahan kebun menanam tanaman pangan. Yusak hampir setiap tahun  tanam padi. Hanya saja dalam dua  tahun belakangan  sudah dihentikan  tanam padi karena  membuka kebun baru sudah semakin jauh lokasinya dari kampung. 

Tidak itu saja,  sudah tidak ada lahan yang datar. Hamper semua kebun   di daerah lereng  dengan jarak tempuh   lumayan jauh.  Hutan makin berkurang membuat orang  berkebun sekarang makin jauh. “Tra bisa heran orang tambah banya   bakobong me lebe   jao ( tidak bisa heran  karena semakin  bertambah penduduk orang buka  hutan untuk kebun  juga makin jauh,” kata Yusak. Karena itu jika dia ingin berkebun  juga  harus berjalan sangat jauh. Bisa sampai puluhan kilometer. 

Hutan Orang Tobaru yang sudah sangat jauh dari Desa Togoreba Tua Tobaru Halmahera Barat M Ichi

Di desa Podol yang merupakan desa pertama di Kecamatan Tabaru, warganya jika  ingin   buka hutan untuk kebun baru,   menempuh jarak sangat jauh. Sampai puluhan kilometer.

“Dulu hutan masih luas orang buka kebun baru paling tiga empat kilometer. Sekarang  hutan   semakin  jauh. Jika mau buka lahan hutan sudah   jauh   terbatas pula.  Sudah begitu sudah di gunung- gunung,” jelas Yusak.

Semakin berkurangnya hutandan terbatasnya lahan  tidak hanya dirasakan warga Podol seperti diutarakann Yusak. Di kampung lain juga sama. Warga Togoreba Tua dan Togoreba Sungi juga merasakan hal serupa. Kampung-kampung warga Tobaru yang memanjang dari Timur ke Barat mengikuti lembah Toou dan berada di bawah gunungapi Ibu ini sudah terbatas lahan hutan. Lembah dengan kondisi gunung- gunung yang agak curam membuat warga yang ingin berkebun di daerah itu juga kesulitan. Karena itu mereka lebih banyak memilih berkebun ke wilayah barat yang dekat dengan gunung Ibu atau mengikuti  akses jalan raya  yang mulai terbuka menuju Halmahera Utara. 

“Kami Warga Togoreba Sungi yang ingin membuka lahan hutan baru sudah  sangat jauh. Bahkan ada yang berkebun  sudah dekat  ke daerah  Kao  Halmahera Utara,” jelas Yosep Ugu warga Togoreba Sungi.  Dia cerita, karena lahan  yang sudah mulai terbatas, sekira 3 tahun lalu dia mengajak  beberapa kepala keluarga  membuka lahan yang sudah sangat jauh dari kampungnya.  Mereka  buka hutan sekira 20 hektar  dijadikan kebun baru sekira 17 kilometer dari kampung.

Kebun- kebun itu ketika dibuka diawali dengan menanam padi. Setelah panen dilanjutkan menanam tanaman tahunan terutama  pala dan kelapa. 

Kebun kebun warga Tobaru yang berada di tepi jalan Trans Halmahera Barat menuju Halmahera Utara

“Tahun 2015 kami buka bersama lahan hutan itu menjadi kebun. Hasil kebun berupa  padi juga tidak habis dimakan. Sampai saat ini masih  tersimpan di lumbung. Meski begitu  padinya sudah tidak bisa dimakan lagi,” katanya. 

Di Desa Togoreba  Tua juga sama.  Untuk lokasi  kebun baru juga  sudah jauh. Jika  membuat kebun padi sampai berpuluh kilometer. Meski begitu karena tanahnya datar tidak bergunung sehingga masih mudah. Berbeda dengan beberapa desa lainnya, sudah jauh bergunung- gunung pula. Di Desa Borona dan Todoke warga juga sudah berkebun mendekati gunung Ibu yang berada cukup  jauh.

Baca Juga  Ini Potensi Keanekaragaman Hayati Tiga TWP di Malut (1)

Ketua  Adat Desa Togoreba Tua Tawas Tuluino  mengaku warganya ketika membuka kebun baru   berjalan sangat jauh. Sekarang ini karena akses jalan dari Halmahera Barat menghubungkan ke Halmahera Utara sudah terbuka dan tinggal menunggu dilakukan pengaspalan. Karena itu warga mulai mengikuti akses jalan tersebut untuk berkebun. Sebagian warga   desanya  sudah mulai masuk ke kawasan hutan yang berbatasan dengan Kabupaten Halmahera Utara.

Beruntung di daerah ini tidak ada perusahaan atau industry ekstraktif dan perkebunan besar yang masuk sehingga warga bisa membuka lahan  tanpa berkonflik dengan korporasi.  “Di daerah Tabaru ini  belum ada perusahaan tambang atau  sawit. Karena  itu hamper tidak ada konflik.    Paling dibuka untuk usaha pertanian warga saja,”jelas Yosep.   

Hutan di Kecamatan  Tabaru   memang sangat terbatas. Berdasarkan  data  stastik  tahun 2014  luasan  hutan  di masyarakat adat Tobaru  terutama

 hutan lindung  ada 6.313,26 hektar,  suaka alam dan pelestarian alam 4. 835,81 hektar, hutan produksi terbatas 681 hektar,  hutan produksi tetap 0,  dan hutan produksi yang dapat dikonversi 10. 761,63 hektar.

Sementara untuk luasan hutan secara keseluruhan  di Kabupaten Halmahera Barat  adalah hutan lindung 67 039.53  hektar,  suaka  alam dan pelestarian alam 66 170.23  hektar,  hutan  produksi terbatas  2385.02 hektar,  hutan produksi tetap 1 679.50  hektar dan hutan yang dapat dikonversi memiliki luasan 50.502,49 hektar.

Dari luasaan yang  ada,   semakin hari semakin menyusut. Penyusutan ini disebabkan adanya beragam kegiatan termasuk perkebunan dan  aktivitas perambahan.  

Biji Pala, Tanaman tahunan andalan warga Tobaru ketika membuka hutan untuk kebun selain kelapa dan tanaman pangan lokal

Di Halmahera Barat sendiri daerah yang masih memiliki hutan cukup luas adalah di kecamatan Loloda. 

Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Halmahera Barat Baerudin menjelasakan, dengan kondisi hutan Halmahera Barat yang terbatas maka  tak bisa ditampik tekanan cukup luar biasa  dilakukan  di beberapa   status kawasan hutan. Dia menyebutnya tekanan itu dengan perambahan hutan, meski tak bisa menyebut berapa luas  pastinya, namun tekanan itu cukup nyata dengan semakin massive-nya pembukaan area perkebunan baru yang terus berlangsung.

Dia bilang ada dua jenis kawasan hutan yang paling rawan perambahan itu yakni Hutan Lindung dan  Hutan Produksi yang dapat  dikonversi (HPK). 

“Memang untuk memastikan jumlah luasan tekanan paling nyata itu  harus melalui survei dan tinjauan ke lapangan. Tetapi dengan semakin hari pembukaan lahan perkebunan itu membuat kawasan lindung  begitu rentan,”katanya.

Untuk melarang warga berkebun memasuki kawasan-kawasan itu memang agak sulit. Karena  itu untuk desa desa dengan wilayah perkebunan warganya yang sudah memasuki Kawasan hutan dibuat kolaborasi  dengan kegiatan penanaman. Mereka juga diikutkan program perhutanan social. Tujuannya agar bisa terkontrol dalam memasuki kawasan hutan. 

“Jadi pada dasarnya masyarakat yang sudah berkebun di dalam kawasan hutan   dalam program Perhutanan Sosial KPH juga  memberikan  bantuan alat ekonomi produktif (AEP) sesuai pontensi desa masing-masing. 

Untuk daerah Tabaru ada beberapa desa sudah memperoleh  izin PS yaitu Desa Borona, Laba Besar, Laba Kecil, Togoreba Tua  dan Tolisaur,” jelasnya.

Tidak itu saja ada upaya lain dilakukan KPH dengan menggerakan masyarakat melakukan kegiatan penanaman kembali  untuk rehabilitasi Daerah   Aliran Sungai (DAS) Ibu dengan  penananaman  tanaman  jenis-jenis  kayu atau Multi Purposes Tree Species (MPTS)  sesuai permintaan masyarakat.

Orang Tobaru Percaya  Hutan Punya Kekuatan

Hingga kini di sebagian masyarakat Tobaru masih percaya jika   hutan punya kekuatan magis yang bisa mencelakakan orang jika diganggu. Karena itu mereka sangat hati-hati ketika membuka hutan baru untuk berkebun.

Baca Juga  ESDM Hanya Beri Teguran 21 IUP

“Orang tua- tua  dulu masih percaya ada hutan  atau pohon punya kekuatan. Tetapi kepercayaan itu kini perlahan mulai luntur dengan masuknya agama,” kata  Yosep Ugu tokoh masyarakat Desa Togoreba Sungi Kecamatan Tabaru. Dulu warga adat Tobaru ketika membuka hutan untuk kebun, masih  percaya ada pohon- pohon yang diyakini memiliki kekuatan tertentu karena  itu  tidak ditebang. Tidak itu saja,ketika membuka kebun baru, ada ritual atau meminta doa  kepada yang kuasa atas usaha yang mereka lakukan. Praktek seperti ini masih ada  meskipun seiring waktu karena masuknya berbagai  budaya atau kebiasaan terkikis.

Dia mengaku masuknya agama membuat berbagai kepercayaan lama itu ditinggalkan.  Keyakinan itu sudah ada pada agama yang mereka anut saat ini.

“Dulu Ketika belum masuk agama ritual seperti ini dilakukan. Tetapi setelah masuknya agama ke masyarakat Tobaru,  perlahan sudah ditinggalkan. Prakteknya dalam bentuk meminta izin kepada sang  pencipta dengan cara berdoa menurut agama.  Agama kami Nasrani meminta kepada Tuhan dengan doa sebelum membuka hutan. Ini praktek yang dijalankan,” jelas Yosep.

Dia bilang, ketika seseorang membuka hutan  menjadi kebun yang pertama dilakukan adalah dengan menandai sebagai milik yang dikenal dengan Tolagumi. Tolagumi  menjadi penanda orang tersebut  yang pertama  memotong semak atau rotan di hutan tersebut. Dialah  yang kemudian akan membongkar  hutan itu menjadi kebun  dan  menjadi miliknya.

“Orang akan datang ke  hutan tersebut   memotong semak yang ada menjadi penanda  memiliki secara sah. Meskipun  hutan  itu  belum dibuka menjadi menjadi lahan kebun.  Setelah  tolagumi   bertahun tahun kemudian tidak lagi diambil atau dicaplok orang lain. Warga  sudah tahu  lahan hutan itu milik orang yang  lakukan tolagumi,” jelas Yosep.

Setelah proses Tolagumi, oleh masyarakat Tobaru dikenal dengan Pairi. Pairi adalah sebutan untuk pembersihan lahan hutan yang akan dibuat kebun sebelum dilakukan  penebangan kayu atau pohon. Pairi ini  dilakukan para petani agar lahannya bersih sebelum dilakukan penebangan. Seluruh semak yang telah dipotong potong kemudian di kumpulkan agar lahan mereka setelah selesai penebangan sudah bisa langsung dilakukan penanaman. Usai proses pairi selanjutnya dilakukan  Todanga atau penebangan.

Yusak Bulere (kanan) didampingi cucunya menunggu kopra yang diasapi matang untuk dijual

Dalam proses Todanga  itu  ada  ritual meminta izin kepada pemilik alam  dalam bentuk ritual. “Yang sekarang ini biasanya hanya dengan doa sesuai agama saja,” katanya. Setelah hutan dibuka lalu dibakar. Kebiasaan sebagan  orang Tobaru tidak biasa membakar lahan yang dibuka. Mereka  mengumpulkan  sisa kayu dan  tumbuhan yang ditebang. Setelah penebangan mereka  kumpulkan  cabang  kayu dan belukar yang telah  dipotong.  Begitu juga  ranting kayu serta daun dikumpul dan dibiarkan mengering dan hancur. “ Tradisi ini masih dijalankan  sebagian petani di masyarakat Tobaru. Hanya saja   sebagian  besar sudah   mempraktekan membakar lahan  agar lahan mereka cepat bersih.

“Di kalangan orang tua-tua kami  lebih memilih  tidak membakar. Dalam  membuat  kebun    bertahap dan perlahan dari pembersihan penebangan hingga   bersih dan siap ditanami. Cara ini yang mereka  praktekkan,” jelasnya. 

Praktek  tidak membakar lahan ini akan disesuaikan dengan teknik menebang  pohonnya, agarketika dilakukan pembersihan tidak menyulitkan. Biasanya mereka mengusahakan agar pohon-pohon yang ditebang   bisa mengumpul ke tengah kebun. Tujuannya kayu atau semak belukar yang telah dipotong  bisa dikumpul di suatu tempat.

“Praktek orang tua-tua orang Tobaru ini membuat mereka bisa survive meskipun hujan hamper sepanjang tahun  masih bisa menanam karena tidak mengharapkan membakar lahan agar kebun mereka  bisa bersih. Beda dengan sekarang  semua orang mau serba cepat dengan membakar karena itu ketika ada hujan sepanjang tahun tidak bisa buka lahan baru  menanam padi,” jelas Yosep lagi. (*)  

Share :

Baca Juga

Lingkungan Hidup

Kolaborasi Bahas Lingkungan, Lahir Gagasan Ecoteologi  

Lingkungan Hidup

Potensi Keanekaragaman Hayati TWP Pulau Rao dan Mare (2)

Kabar Kampung

Warga “Usir” PT Priven Lestari dari Gunung Wato-wato Halmahera Timur?

Lingkungan Hidup

Penemuan Lebah pluto di Halmahera Jadi Perbincangan Ilmuan Dunia

Lingkungan Hidup

Indonesia Mencari Pemimpin Pro Lingkungan

Kabar Kampung

Sungai Sagea Nasibmu Kini, Keruh Belum Usai   

Lingkungan Hidup

Krisis Iklim Berdampak Serius bagi Anak Indonesia

Lingkungan Hidup

Kapan Malut Miliki Kedokteran Kelautan untuk Lindungi Laut Kita?