Yusak Bulere (67 tahun) sibuk mengasapi kelapa yang telah diolah menjadi kopra. Saat ditemui di kebunnya Minggu sekira pukul 11.30 WIT pertengahan Februari 2021 lalu, Ayah tiga ini sibuk melemparkan gonofu (sabut kelapa dan tempurung kelapa,red) ke dalam api untuk menambah api bafufu (pengasapan,red). Yusak sejak pagi menunggu kopra matang untuk segera dijual kepada pedagang pengumpul di Kecamatan Tabaru Kabupaten Halmahera Barat.
Dia mengaku punya tiga kebun atau dusun yang berisi tanaman kelapa dan pala. Kebun kelapa miliknya sekali panen mencapai 800 kilogram. Dalam setahun 3 kali panen atau sekali panen dalam 4 bulan. Sebelumnya karena harga kopra yang rendah, kebun kelapa tidak diurus. Dalam 4 bulan terakhir harga kopra mulai merangkak naik sehingga dia turun tangan panen kelapa miliknya.
Sementara untuk kebun pala setiap bulan dia panen. Jika buah lagi banyak, sekali panen bisa 50 kilogram. Meski tidak muda lagi, Yusak masih tetap bekerja mengolah kebunnya.
“Untuk proses panen ada tenaga kerja yang bisa disewa. Panjat dan panen saja atau panjat panen sampai jadi kopra, semua bisa disewa,” katanya.
Selain kebun kelapa ada juga lahan kebun menanam tanaman pangan. Yusak hampir setiap tahun tanam padi. Hanya saja dalam dua tahun belakangan sudah dihentikan tanam padi karena membuka kebun baru sudah semakin jauh lokasinya dari kampung.
Tidak itu saja, sudah tidak ada lahan yang datar. Hamper semua kebun di daerah lereng dengan jarak tempuh lumayan jauh. Hutan makin berkurang membuat orang berkebun sekarang makin jauh. “Tra bisa heran orang tambah banya bakobong me lebe jao ( tidak bisa heran karena semakin bertambah penduduk orang buka hutan untuk kebun juga makin jauh,” kata Yusak. Karena itu jika dia ingin berkebun juga harus berjalan sangat jauh. Bisa sampai puluhan kilometer.
Di desa Podol yang merupakan desa pertama di Kecamatan Tabaru, warganya jika ingin buka hutan untuk kebun baru, menempuh jarak sangat jauh. Sampai puluhan kilometer.
“Dulu hutan masih luas orang buka kebun baru paling tiga empat kilometer. Sekarang hutan semakin jauh. Jika mau buka lahan hutan sudah jauh terbatas pula. Sudah begitu sudah di gunung- gunung,” jelas Yusak.
Semakin berkurangnya hutandan terbatasnya lahan tidak hanya dirasakan warga Podol seperti diutarakann Yusak. Di kampung lain juga sama. Warga Togoreba Tua dan Togoreba Sungi juga merasakan hal serupa. Kampung-kampung warga Tobaru yang memanjang dari Timur ke Barat mengikuti lembah Toou dan berada di bawah gunungapi Ibu ini sudah terbatas lahan hutan. Lembah dengan kondisi gunung- gunung yang agak curam membuat warga yang ingin berkebun di daerah itu juga kesulitan. Karena itu mereka lebih banyak memilih berkebun ke wilayah barat yang dekat dengan gunung Ibu atau mengikuti akses jalan raya yang mulai terbuka menuju Halmahera Utara.
“Kami Warga Togoreba Sungi yang ingin membuka lahan hutan baru sudah sangat jauh. Bahkan ada yang berkebun sudah dekat ke daerah Kao Halmahera Utara,” jelas Yosep Ugu warga Togoreba Sungi. Dia cerita, karena lahan yang sudah mulai terbatas, sekira 3 tahun lalu dia mengajak beberapa kepala keluarga membuka lahan yang sudah sangat jauh dari kampungnya. Mereka buka hutan sekira 20 hektar dijadikan kebun baru sekira 17 kilometer dari kampung.
Kebun- kebun itu ketika dibuka diawali dengan menanam padi. Setelah panen dilanjutkan menanam tanaman tahunan terutama pala dan kelapa.
“Tahun 2015 kami buka bersama lahan hutan itu menjadi kebun. Hasil kebun berupa padi juga tidak habis dimakan. Sampai saat ini masih tersimpan di lumbung. Meski begitu padinya sudah tidak bisa dimakan lagi,” katanya.
Di Desa Togoreba Tua juga sama. Untuk lokasi kebun baru juga sudah jauh. Jika membuat kebun padi sampai berpuluh kilometer. Meski begitu karena tanahnya datar tidak bergunung sehingga masih mudah. Berbeda dengan beberapa desa lainnya, sudah jauh bergunung- gunung pula. Di Desa Borona dan Todoke warga juga sudah berkebun mendekati gunung Ibu yang berada cukup jauh.
Ketua Adat Desa Togoreba Tua Tawas Tuluino mengaku warganya ketika membuka kebun baru berjalan sangat jauh. Sekarang ini karena akses jalan dari Halmahera Barat menghubungkan ke Halmahera Utara sudah terbuka dan tinggal menunggu dilakukan pengaspalan. Karena itu warga mulai mengikuti akses jalan tersebut untuk berkebun. Sebagian warga desanya sudah mulai masuk ke kawasan hutan yang berbatasan dengan Kabupaten Halmahera Utara.
Beruntung di daerah ini tidak ada perusahaan atau industry ekstraktif dan perkebunan besar yang masuk sehingga warga bisa membuka lahan tanpa berkonflik dengan korporasi. “Di daerah Tabaru ini belum ada perusahaan tambang atau sawit. Karena itu hamper tidak ada konflik. Paling dibuka untuk usaha pertanian warga saja,”jelas Yosep.
Hutan di Kecamatan Tabaru memang sangat terbatas. Berdasarkan data stastik tahun 2014 luasan hutan di masyarakat adat Tobaru terutama
hutan lindung ada 6.313,26 hektar, suaka alam dan pelestarian alam 4. 835,81 hektar, hutan produksi terbatas 681 hektar, hutan produksi tetap 0, dan hutan produksi yang dapat dikonversi 10. 761,63 hektar.
Sementara untuk luasan hutan secara keseluruhan di Kabupaten Halmahera Barat adalah hutan lindung 67 039.53 hektar, suaka alam dan pelestarian alam 66 170.23 hektar, hutan produksi terbatas 2385.02 hektar, hutan produksi tetap 1 679.50 hektar dan hutan yang dapat dikonversi memiliki luasan 50.502,49 hektar.
Dari luasaan yang ada, semakin hari semakin menyusut. Penyusutan ini disebabkan adanya beragam kegiatan termasuk perkebunan dan aktivitas perambahan.
Di Halmahera Barat sendiri daerah yang masih memiliki hutan cukup luas adalah di kecamatan Loloda.
Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Halmahera Barat Baerudin menjelasakan, dengan kondisi hutan Halmahera Barat yang terbatas maka tak bisa ditampik tekanan cukup luar biasa dilakukan di beberapa status kawasan hutan. Dia menyebutnya tekanan itu dengan perambahan hutan, meski tak bisa menyebut berapa luas pastinya, namun tekanan itu cukup nyata dengan semakin massive-nya pembukaan area perkebunan baru yang terus berlangsung.
Dia bilang ada dua jenis kawasan hutan yang paling rawan perambahan itu yakni Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK).
“Memang untuk memastikan jumlah luasan tekanan paling nyata itu harus melalui survei dan tinjauan ke lapangan. Tetapi dengan semakin hari pembukaan lahan perkebunan itu membuat kawasan lindung begitu rentan,”katanya.
Untuk melarang warga berkebun memasuki kawasan-kawasan itu memang agak sulit. Karena itu untuk desa desa dengan wilayah perkebunan warganya yang sudah memasuki Kawasan hutan dibuat kolaborasi dengan kegiatan penanaman. Mereka juga diikutkan program perhutanan social. Tujuannya agar bisa terkontrol dalam memasuki kawasan hutan.
“Jadi pada dasarnya masyarakat yang sudah berkebun di dalam kawasan hutan dalam program Perhutanan Sosial KPH juga memberikan bantuan alat ekonomi produktif (AEP) sesuai pontensi desa masing-masing.
Untuk daerah Tabaru ada beberapa desa sudah memperoleh izin PS yaitu Desa Borona, Laba Besar, Laba Kecil, Togoreba Tua dan Tolisaur,” jelasnya.
Tidak itu saja ada upaya lain dilakukan KPH dengan menggerakan masyarakat melakukan kegiatan penanaman kembali untuk rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Ibu dengan penananaman tanaman jenis-jenis kayu atau Multi Purposes Tree Species (MPTS) sesuai permintaan masyarakat.
Orang Tobaru Percaya Hutan Punya Kekuatan
Hingga kini di sebagian masyarakat Tobaru masih percaya jika hutan punya kekuatan magis yang bisa mencelakakan orang jika diganggu. Karena itu mereka sangat hati-hati ketika membuka hutan baru untuk berkebun.
“Orang tua- tua dulu masih percaya ada hutan atau pohon punya kekuatan. Tetapi kepercayaan itu kini perlahan mulai luntur dengan masuknya agama,” kata Yosep Ugu tokoh masyarakat Desa Togoreba Sungi Kecamatan Tabaru. Dulu warga adat Tobaru ketika membuka hutan untuk kebun, masih percaya ada pohon- pohon yang diyakini memiliki kekuatan tertentu karena itu tidak ditebang. Tidak itu saja,ketika membuka kebun baru, ada ritual atau meminta doa kepada yang kuasa atas usaha yang mereka lakukan. Praktek seperti ini masih ada meskipun seiring waktu karena masuknya berbagai budaya atau kebiasaan terkikis.
Dia mengaku masuknya agama membuat berbagai kepercayaan lama itu ditinggalkan. Keyakinan itu sudah ada pada agama yang mereka anut saat ini.
“Dulu Ketika belum masuk agama ritual seperti ini dilakukan. Tetapi setelah masuknya agama ke masyarakat Tobaru, perlahan sudah ditinggalkan. Prakteknya dalam bentuk meminta izin kepada sang pencipta dengan cara berdoa menurut agama. Agama kami Nasrani meminta kepada Tuhan dengan doa sebelum membuka hutan. Ini praktek yang dijalankan,” jelas Yosep.
Dia bilang, ketika seseorang membuka hutan menjadi kebun yang pertama dilakukan adalah dengan menandai sebagai milik yang dikenal dengan Tolagumi. Tolagumi menjadi penanda orang tersebut yang pertama memotong semak atau rotan di hutan tersebut. Dialah yang kemudian akan membongkar hutan itu menjadi kebun dan menjadi miliknya.
“Orang akan datang ke hutan tersebut memotong semak yang ada menjadi penanda memiliki secara sah. Meskipun hutan itu belum dibuka menjadi menjadi lahan kebun. Setelah tolagumi bertahun tahun kemudian tidak lagi diambil atau dicaplok orang lain. Warga sudah tahu lahan hutan itu milik orang yang lakukan tolagumi,” jelas Yosep.
Setelah proses Tolagumi, oleh masyarakat Tobaru dikenal dengan Pairi. Pairi adalah sebutan untuk pembersihan lahan hutan yang akan dibuat kebun sebelum dilakukan penebangan kayu atau pohon. Pairi ini dilakukan para petani agar lahannya bersih sebelum dilakukan penebangan. Seluruh semak yang telah dipotong potong kemudian di kumpulkan agar lahan mereka setelah selesai penebangan sudah bisa langsung dilakukan penanaman. Usai proses pairi selanjutnya dilakukan Todanga atau penebangan.
Dalam proses Todanga itu ada ritual meminta izin kepada pemilik alam dalam bentuk ritual. “Yang sekarang ini biasanya hanya dengan doa sesuai agama saja,” katanya. Setelah hutan dibuka lalu dibakar. Kebiasaan sebagan orang Tobaru tidak biasa membakar lahan yang dibuka. Mereka mengumpulkan sisa kayu dan tumbuhan yang ditebang. Setelah penebangan mereka kumpulkan cabang kayu dan belukar yang telah dipotong. Begitu juga ranting kayu serta daun dikumpul dan dibiarkan mengering dan hancur. “ Tradisi ini masih dijalankan sebagian petani di masyarakat Tobaru. Hanya saja sebagian besar sudah mempraktekan membakar lahan agar lahan mereka cepat bersih.
“Di kalangan orang tua-tua kami lebih memilih tidak membakar. Dalam membuat kebun bertahap dan perlahan dari pembersihan penebangan hingga bersih dan siap ditanami. Cara ini yang mereka praktekkan,” jelasnya.
Praktek tidak membakar lahan ini akan disesuaikan dengan teknik menebang pohonnya, agarketika dilakukan pembersihan tidak menyulitkan. Biasanya mereka mengusahakan agar pohon-pohon yang ditebang bisa mengumpul ke tengah kebun. Tujuannya kayu atau semak belukar yang telah dipotong bisa dikumpul di suatu tempat.
“Praktek orang tua-tua orang Tobaru ini membuat mereka bisa survive meskipun hujan hamper sepanjang tahun masih bisa menanam karena tidak mengharapkan membakar lahan agar kebun mereka bisa bersih. Beda dengan sekarang semua orang mau serba cepat dengan membakar karena itu ketika ada hujan sepanjang tahun tidak bisa buka lahan baru menanam padi,” jelas Yosep lagi. (*)
CEO Kabar Pulau