Hasil kajian yang dilakukan pemerintah provinsi Maluku Utara melalui dokumen Food Security and Vurnerability Atlas (FVSA), atau peta keamanan dan kerentanan pangan di Maluku Utara, menunjukan ada sejumlah sangat rawan pangan. Dasarnya daerah daerah itu tidak mampu memproduksi pangan sendiri tetapi mengharapkan pasokan dari luar. Kabupaten Kepulauan Sula dan Taliabu serta Tidore Kepulauan atau 23 kecamatan di Maluku Utara dianggap paling rentan. Lantas bagaimana menghadapi kondisi pandemic saat ini?
Menanggapi soal ini berikut hasil wawancaranya bersama Dr. Erna Rusliana M. Saleh, STP., MSi. Ketua PATPI (Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia) Cabang Ternate
1. Apakah ada yang keliru dengan kebijakan pembangunan bidang pangan di provinsi Maluku Utara, sehingga ada daerah kita bermasalah dalam hal pangan. Meski sebenarnya memiliki lahan yang subur dan luas
Hasil ini belum tentu mewakili fakta sebenarnya, masih perlu pendalaman. Beberapa hal perlu diperhatikan terkait dengan pengambilan datanya adalah sumber datanya, metode pengambilan datanya (cara mengumpulkan data, siapa sumbernya, dan instrument yang digunakan), dll. Hal-hal ini harus dikroschek kembali, untuk bisa menyatakan bahwa rekomendasi yang diberikan berasal dari sumber data yang valid sehingga keputusannya dianggap relevan.Sejauh ini, kita belum pernah mendengar ada masyarakat di Maluku Utara yang kelaparan karena kesulitan mengakses pangan.Hal ini karena alam Maluku Utara yang berlimpah produksinya baik pangan sumber karbohidrat (selain beras) maupun sumber protein.
2. Jika merujuk pada hasil analisis itu, yang menjadi rujukan ketersediaan pangan lebih pada beras dan jagung yang sebenarnya belum banyak dihasilkan Maluku Utara. Karena buktinya kita masih sangat bergantung pada pangan daerah lain. Jawa dan Sulawesi.
Kalau lihat dari dokumen Food Security and Vurnerability Atlas (FVSA), yang dijadikan sumber pangan oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara bukan hanya beras dan jagung, tapi juga ubi-ubian. Kalau beras dan jagung memang kita belum termasuk daerah penghasil beras lokal yang besar dibanding Sulawesi dan Jawa, namun untuk ubi-ubian Maluku Utara cukup mandiri sebagi penghasil ubi-ubian lokal yang besar.Terdapat beraneka ragam ubi-ubian lokal yang dapat menjadi sumber karbohidrat, misalnya : singkong, ubi jalar, talas, gadung, dll. Selain itu terdapat sumber karbohidrat lain yang dihasilkan cukup berlimpah di Maluku Utara yaitu sagu, pisang dan sukun. Pangan-pangan ini dapat menjadi pengganti beras.Selain pangan-pangan ini jika dibandingkan dengan beras, memiliki indeks glikemik yang lebih rendah dari beras, sehingga lebih menyehatkan terutama bagi penderita diabetes.Indeks glikemik nasi termasuk tinggi, antara 88 – 89.Sedangkan Singkong di bawah 55, ubi jalar sekitar 54, talassekitar 54.Jadi disamping dapat menjadi sumber karbohidrat juga menyehatkan bagi yang mengkonsumsinya.
3. Kenapa mengabaikan pangan lokal misalnya sagu, yang sebenarnya menjadi pangan kultural Maluku Utara
Seharusnya sagu tidak diabaikan sebagai sumber pangan pokok utama Maluku Utara, karena Maluku Utara termasuk diantara daerah sumber penghasil sagu yang besar di Indonesia.Berdasarkan data dirjen perkebunan (2019), pada tahun 2019 diperkirakan produksi sagu di Maluku Utara adalah 1.403 ton.Angka ini meningkat dibanding tahun sebelumnya (2018) yaitu 1254 ton.Dari segi kemampuan memberikan asupan karbohidrat, sagu mengandung 84 gram karbohidrat/100 gram.Merupakan sumber energi yang sangat bagus.Memang di masa tahun 80an ada kebijakan pengalihan konsumsi pangan pokok lokal ke beras.Namun saat ini sudah mulai digerakan peralihan kembali ke pangan pokok lokal dari beras. Dan fakta di lapangan pada masyarakat Maluku Utara, sudah menjadi kebiasaan dalam berbagai momen tertentu keluarga atau tempat kerja baik di kota maupun di desa, untuk mengkonsumsi sagu yang diolah menjadi popeda dan teman-temanya yang dinamakan makanan kobong. Bahkan masih ada tradisi di beberapa daerah, pada hari Jum’at disajikan makanan kobong ini yang terdiri dari popeda, rebus-rebusan ubi-ubian serta pisang, lalapan sayur dan kuah ikan.Hal ini untuk mengistimewakan hari tersebut, setelah hari-hari lain mengkonsumsi beras.
4. Apakah ada usulan untuk pemerintah Maluku Utara terkait soal pangan ini
Terkait ke pangan sumber karbohidrat, lebih aman jika jenis pangan yang direkomendasikan sebagai sumber pangan bagi masyarakat di Maluku Utara bukan hanya Beras, Jagung dan Ubi-ubian, namun juga semua pangan yang dapat menjadi sumber asupan karbohidrat bagi masyarakat kita, yaitu sagu, pisang, sukun, dll.
Jika problemnya adalah pada kebiasaan masyarakat yang sudah beralih ke beras, maka dapat dilakukan gerakan kembali ke pangan lokal yang hal tersebut tidak sulit dilakukan oleh masyarakat Maluku Utara, karena sudah menjadi tradisi di masyarakat mengkonsumsi pangan non beras.
Selain itu, telah dilakukan berbagai penelitian yang mengkonversi sagu, ubi-ubian dan sumber karbohidrat lain menjadi beras yang dinamakan beras analog. Beras analog ini memiliki bentuk seperti beras namun bahan bakunya berasal dari sumber karbohidrat selain sagu.Terdapat beberapa peneliti di Prodi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Khairun yang telah melakukan penelitian tentang beras analog ini pada beberapa tahun lalu.Beras ini dapat menjadi alternatif beras saat minim pasokannya. Terdapat juga riset yang memanfaatkan sagu, ikan cakalang dan pisang mulu bebe untuk diolah menjadi pangan darurat dalam bentuk Food Bar, yang dapat dijadikan alternatif pangan ketika bencana seperti pandemik ini terjadi.
5. Di masa pandemic Covid 19, daerah ini juga harus bersiap mengantisipasi berbagai kemungkinan terburuk di bidang pangan. Terutama jika pademi berkepanjangan dan suplai pangan ke daerah ini stagnan.Apa kira-kira yang mesti dilakukan pemerintah daerah. Skema apa yang harus dibuat menjawab kebutuhan pangan mendesak dalam waktu cepat 3 sampai 6 bulan ke depan bahkan satu tahun. Masalah ini perlu diangkat karena daerah pemasok pangan ke Malut (Jawa Sulawesi,red) juga akan memiliki masalah yang sama. Butuh langkah cepat dan strtegis menjawab kebutuhan pangan.
Betul, dari sekarang hal tersebut sudah harus dipersiapkan.Untuk itu sebagai antsipasi berbagai kemungkinan terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah daerah. Hal itu dapat didekati dari dua pendekatan yaitu secara mikro dan makro :
1. Pendekatan mikro
– Masyarakat secara mandiri memproduksi pangan pokok, sayur mayur dan rempah-rempah dengan memanfaatkan lahan yang dimiliki. Jika lahan yang dimiliki minim dapat menggunakan sistem hidropik, ditanam di pot, polybag, plastic yang disusun vertical atau digantung sehingga mengefisienkan lahan.
– Pemerintan daerah dapat mengupayakan lahan produksi milik daerah untuk memproduksi secara intensif pangan baik pangan pokok (beras, jagung, pisang, ubi-ubian, sagu, dll), maupun pangan tambahan (sayur-mayur, buah dan rempah) untuk cadangan pangan.
– Pemerintah lewat dinas terkait, dapat melakukan support dengan berbagai subsidi yang dibutuhkan berupa modal, saprotan, teknologi pendukungatau pendampingan kepada petani untuk melakukan penanaman pangan pokok khususnya untuk menjaga kecukupan stok pangan.Dalam hal ini teknologi RI 4.0 bisa digunakan untuk meminimalisasi dampak wabah bagi petani seperti penggunaan drone, sensor, dsb.
– Menerapkan teknologi pengawetan yang sesuai untuk pangan pokok yang dihasilkan sehingga dapat tersimpan untuk jangka panjang, misal dengan teknologi pengeringan, penambahan garam dan gula tinggi, pengasaman, fermentasi, pemberian bahan tambahan, pengemasan dan penyimpanan yang tepat.
2. Pendekatan makro
– Penguasaan rantai pasokpangan sehingga tidak dikuasai oleh swasta atau korposi tertentu sehingga menghindari penimpunan dan permainan harga. Hal ini akan menjamin pemenuhan pangan tanpa intervensi dalam keadaan apapun. Fakta saat ini, terjadi distorsi pasar yang ditimbulkan oleh spekulan, mafia atau kartel disebabkan penguasaan mereka pada stok pangan melebihi stok negara sehingga leluasa mengendalikan harga.Seperti saat ini ketika terjadinya fluktuasi harga beras, diantaranya disebabkan kendali Bulog hanya kurang dari 10%, sebagian besar lainnya dikuasai swasta.
– Pemerintah daerah dapat membeli produksi pertanian yang diusahakan petani atau swasta sebagai cadangan daerah untuk kebutuhan masyarakat selama wabah.Ini dapat dijadikan stok disaat suplai minim.
– Dalam hal distribusi, pemerintah propinsimenyiapkan sarana dan prasarana logistik yang memadai untuk mendistribusikan pangan ke seluruh daerah yang terkena wabah. Tentu tanpa adanya sekat otonomi daerah bahkan batas wilayah.(*)
CEO Kabar Pulau