Kritisi Kesadaran Sampah, Laut Kotor hingga Masalah Sosial
Sabtu (29/5) sekira pukul 16.30 WIT, 14 komikus muda Ternate duduk bersila di sebuah ruangan di situs sejarah Benteng Oranye. Mereka yang rata-rata mahasiswa dan beberapa yang sudah lulus kuliah itu, mendengar masukan dari salah curator komik yang juga pelukis di Ternate Fadriah Suaib. Fadriah menjelaskan bagaimana memvisualisasikan sebuah isyu dari narasi menjadi gambar yang menarik dalam bentuk kritik. Terutama berhubungan dengan isyu-isyu lingkungan.
Diskusi sore itu adalah rangkaian dari kegiatan pameran sepekan yang digelar Komunitas Komikus Ternate (KOKONATE). Komunitas yang beranggotakan 24 anak muda itu menggelar pameran pada 22 hingga 29 Mei lalu. Pameran Komik yang digelar pertama kalinya di Ternate dan Maluku Utara ini, diramaikan 14 komikus dengan 30 karya komik yang rata- rata berisi kritik dan sentilan pedas beragam persoalan.
Mengangkat tema besar Kalesang atau peduli dalam Bahasa Ternate, mereka mengkritisi beberapa persoalan kota terutama lingkungan dan masalah social yang mendera. Karya-karya yang ditampilkan sebagian besar menyoal kritisnya persoalan lingkungan yang dihadapi Ternate dan Maluku Utara umumnya. Dari pengelolaan sampah yang bermasalah, laut yang kotor, reklamasi, hingga soal anak muda dan infrastruktur yang disalahgunakan. Khusus masalah lingkungan di Kota Ternate, ada beberapa persoalan besar yang menjadi kritik melalui visual itu. Misalnya sampah plastik, dan laut yang kotor serta dampaknya bagi biota laut.Hal ini banyak dikritisi karena sangat dekat dan bisa disaksikan terjadi setiap saat di berbagai tempat di kota ini.
Soal sampah misalnya, kritik visual itu banyak ditunjukan pada kesadaran masyarakat yang masih minim. Terutama yang terjadi di dalam lingkungan para komikus masing masing.Di sekolah, di rumah bahkan di tempat umum kesadaran warga membuang sampah dengan benar sulit diterapkan. Karya kritis mereka juga menyasar persoalan laut saat ini yang sudah mulai tercemar oleh sampah plastic. Nadya Salsabila salah satu komikus muda siswi SMA kelas III di Kota Ternate misalnya mengangkat tema tentang sampah, membuat kritik visual di sebuah sekolah berdasarkan pengalaman pribadinya. Di mana di sekolah sebagai pusat pendidikan. Bagi dia kesadaran para siswa terkait sampah juga begitu minim.
“Di karya ini menampilkan seorang siswa yang membuang sampah sembarangan di halaman sekolah. Ketika ditegur petugas kebersihan di sekolah itu, dengan santai siswa itu mengatakan bahwa kebersihan sekolah itu adalah tugas cleaning service. Kasus seperti ini banyak terjadi di sekolah,” kata Nadya. Kritik ini juga sebenarnya berhubungan dengan kesadaran masyarakat dalam menangani sampah.
Dalam karya laut telah tercemar sampah plastik, sebuah visual memperlihatkan bagaimana sampah plastic telah menjadi ancaman serius bagi kehidupan biota laut dan manusia. Karena itu dibutuhkan kesadaran penuh untuk menangani masalah sampah laut saat ini.Berjudul Sea Plastic Karya Syam salah satu komikus adalah contoh dari perilaku manusia mengotori laut dengan sampah plastik. Akhirnya hewan laut ikut menjadi korban. Penyu dan ikan mati karena plastic.
Kritik menarik dari karya visual dalam pemeran ini juga digambarkan oleh Botania M Ways berjudul Return. Karya Botania ini mengingatkan kepada publik bahwa sampah plastic yang dibuang secara serampangan bisa saja kembali kepada kita. Pasalnya ketika sampah plastic dibawa ke laut akan dimakan oleh biota laut dan kemudian biota terutama ikan kecil dan plankton dimakan oleh ikan besar. Ketika ikan besar dipancing nelayan dan dijual di pasar, bisa saja dibeli oleh orang yang membuang sampah plastic tersebut dan mengkonsumsinya. Ikan yang sebenarnya telah mengkonsumsi mikroplastik itu sangat berbahaya bagi kesehatan. “Judul komik return sebenarnya ingin mengingatkan bahwa ternyata sampah plastic yang dibuang sembarangan itu suatu saat bisa kembali mengancam diri sendiri atau juga keluarga. Pasalnya, sampah plastic yang kita buang sembarangan jika dibawa banjir ke laut lama kelamaan dimakan ikan. Jika ikan dipancing nelayan kemudian kita beli dan konsumsi menjadi sumber panyakit bagi tubuh,” jelas Botania.
Ketua Kokonate Aswin AIyas mengaku pameran ini pertama kalinya digelar di Ternate dengan tema besar Kalesang atau peduli. Lebih mengangkat keresehan yang dialami oleh komikus itu sendiri. Kebetulan katanya para komikus kali ini mengangkat isyu yang lebih menyentuh persoalan persoalan lingkungan terutama di Ternate. “Kebanyakan anak- anak KOKONATE lebih menyuarakan isyu-isyu lingkungan, penyampaiannya juga lebih soft. Jadi ketika orang masuk melihat pameran kami, masih bisa senyum walaupun sebenarnya persoalan yang kami kritisi itu tajam dan menohok,” jelas Aswin.
Komunitas yang terbentuk 4 tahun lalu itu mengangkat tema Kalesang, sebenarnya sebagai bagian dari kepedulian pada kota ini, baik masalah lingkungan atau social yang dihadapi. Harapanya kritik yang dilontarkan ini semoga bisa mendapat perhatian semua pihak termasuk pemerintah sebagai pengambil kebijakan. “Intinya kami membaca persoalan kota melalui komik. Mungkin ini cara baru membaca kota. Selama ini orang mengkritisi lewat tulisan dan aksi jalanan. Kami mencoba dengan cara yang lain yakni lewat komik,”ujarnya. (*)
CEO Kabar Pulau