Penyiapan Pangan Warga Sangatlah Penting
Bencana baik alam maupun non alam berdampak cukup serius bagi warga. Pandemi Covid-19 misalnya, membuat hampir semua orang menjadi kurang produktif. Pemenuhan kebutuhan hidup di masa pandemi pun jadi tantangan. Warga menjadi sangat rentan terutama dalam memenuhi kebutuhan pangan. Karena itu perlu membangun ketangguhan. Menata kembali kehidupan sosial dan lingkungan, yang tahan goncangan bencana baik alam maupun non alam.
Setidaknya hal ini mengemuka dalam seri diskusi webinar online oleh Yayasan EcoNusa bersama lembaga mitra di Maluku Utara dan Papua, Mei lalu. Mengusung tema “Membangun Resiliensi Warga, menghadirkan Ahmad Mahmudi peneliti dari Lembaga Pengembangan Teknologi Perdesaan (LPTP), Dony Cahyono dosen UGM dan Insist Jogjakarta. Sementara lembaga di tingkat tapak, adalah Direktur Perkumpulan Paka Tiva Maluku Utara Faisal Ratuela dan Yanuairus Anouw Wakil Direktur Bentara Papua. Dua lembaga ini melalui aktivitas local, telah mendampingi warga menanam, riset hingga ragam pendidikan bagi warga di lapangan.
Ahmad Mahmudi mengawali penjelasan tentang reseliensi. Menurutnya, konsep ini tidak statis tapi dinamis. Dikenal sejak 1620-an. Asal katanya dari bahasa Latin resilire berarti recoil (mundur atau bangkit kembali). Pada 1640-an, terjadi perluasan arti springing back (melompat kembali). 1824, pengertiannya mencakup elasticity (kenyal, pegas, lentur). Awalnya resilience tidak digunakan sebagai konsep terkait individu/orang atau masyarakat. 1850-an, resilience berkembang menjadi istilah lebih luas, digunakan untuk menggambarkan sifat tahan atau tidak rentan terhadap sesuatu. Pertengahan abad ke-19, resilience muncul sebagai istilah teknis industri pembuatan jam mengacu pada kualitas komponen internal yang elastis dan fleksibel, dapat menahan getaran ekstrim.
Lalu kapan menjadi konsep sosial? 1930 disiplin ilmu yang mengambil pertama kali reseliensi sebagai ilmu, adalah psikologi anak dan psikologi perkembangan. Dalam ilmu ini, ada satu keyakinan jika seorang anak mendapatkan sesuatu yang ekstrim akan terbawa sampai dewasa yang menyebabkan psykopatologi. Asumsi dasarnya terkait aspek negatif kesengsaraan. Bahwa pengalaman negatif masa kanak-kanak akan menimbulkan psikopatologi saat dewasa. Konsepnya menjaga kesehatan mental anak dan mengobati mental disorder.
Terus berkembang hingga 1980 masuk konsep kebencanaan. Hal ini berhubungan dengan perubahan tingkat makro dan mikro. Terkait klimatologi, hidrologi yang tak terduga dan terjadi bencana di mana mana. Konsep disaster mengalami dinamika. Tahap awal diwarnai pendekatan carity, bahwa mereka yang terkena bencana lemah tak punya kapasitas. Karena itu harus ditolong pihak luar. Pendekatan ini berjalan dalam waktu lama. Meski begitu katanya, muncul kritik bahwa pandangan ini tidak benar karena akan menimbulkan bencana baru yang lebih besar. “Statemen sentimental sering dilontarkan bahwa ini cara memecahkan masalah yang mendatangkan masalah baru. Resiliensi dibawa masuk ke dalam konsep besar disaster management dan menjadi trend riset akademisi, kebijakan bagi policy maker, dan social respon bagi social workers.
Tahun 2000-an resilience diberi pengertian semakin luas dan kompleks yakni ketahanan/ketangguhan masyarakat memecahkan situasi krisis yang ditandai kemampuan mengurangi resiko bencana alam, konflik sosial politik, kebijakan, kemampuan adaptasi perubahan iklim dan kemampuan mengelola ekosistem berkelanjutan. Dengan demikian membangun resiliensi komunitas adalah menata kembali kehidupan sosial dan lingkungan yang tahan atau tangguh terhadap berbagai goncangan.
Menurut peneliti LPTP itu, masyarakat mampu itu adalah bisa menurunkan resiko akibat bencana, konflik sosial, konflik politik, maupun dampak kebijakan yang negative. Yakni beradaptasi dengan perubahan iklm dan mampu mengelola ekosistem secara berkelanjutan. “Konsep resiliensi itu bila goncangan terjadi masyarakat mampu menolong diri sendiri, tidak masuk jebakan pemiskinan. Setelah goncangan lewat akan cepat kembali pulih,” jelasnya.
Dia bilang, konsep resiliensi tidak bisa berjalan sendiri. Perlu diintegrasikan dengan kerangka kerja pemberdayaan dan keberlangsungan penghidupan masyarakat. “Kalau masyarakat atau komunitas mampu menolong dirinya, dipastikan bisa menolong orang lain. Selanjutnya terhindar dari jebakan pemiskinan berkelanjutan,” jelasnya.
Resiliensi juga harus berintegrasi dengan konsep konsep lain. Sesuai pengalaman selama ini, baik teori maupun praktek, adalah konsep community empowerment. Selain itu konsep sustainability livelihood atau upaya memastikan atau menjamin sumber sumber kehidupan berkelanjutan.
“Banyak orang keliru karena konsep pemberdayaan masyarakat itu sudah sangat ‘polutif’. Padahal teorinya jelas, keberdayaan itu power atau kuasa. Dalam hal kuasa, ada tiga indikator utama sering dilupakan. Pertama power of ownership system, yakni sistim kepimilikan. Kedua power of management system atau sistem pengelolaan dan ketiga, power of utilty system atau sisitim pemanfaatanya. Jadi tata milik, tata kelola dan tata manfaat itu kunci pemberdayaan masyarakat. Tetapi karena kekurangan pengetahuan, apa saja disebut pemberdayaan masyarakat.
Dalam pemberdayaan, mutlak dilakukan tiga analisis di atas. Semakin tinggi tingkat kepemilikan, pengelolaan dan manfaat oleh masyarakat, maka semakin berdaya. Demikian sebaliknya. Dari sini bisa dianalisis apakah proses- proses yang terjadi itu masuk pemberdayaan atau melemahkan masyarakat.
Teori kedua, perlu diintegrasikan dalam reselinesi adalah, commite reseliensi atau commuinty livelihood. Ada lima kapasitas di dalam upaya menjamin sumber sumber kehidupan berkelanjutan. Yakni kapasitas manusia, sosial, alam, infrasrtruktur dan ekonomi.
Lalu bagaimana melihatnya? Apakah masyarakat memiliki ketangguhan dalam menjamin ketersediaan sumber kehidupan secara berkelanjutan?. Ini harus dilihat dengan indikator penilaian. Pertama kuantitas. Semakin sedikit sumber kehidupan dimiliki masyarakat maka semakin rentan atau terancam keberlanjutan hidupnya. Kedua quality- nya bagus atau tidak. Misalnya lahan bagus atau tidak, punya sumber air atau tidak dalam menanam pangan. Ketiga keragaman atau diversitas. “Misalnya warga punya lahan 10 hektar, tetapi lahan hutan maka jauh lebih buruk dibanding punya 7 hektar, 5 hektar hutan 2 hektar kebun di mana satu hektar sawah dan satu lagi tanaman pangan lain.
Teori ketiga bauran. Ini berhubungan dengan interaksi antar kapasitas. “Kalau punya lahan 10 hektar, tetapi tidak punya knowledge atau skill tentang pertanian, maka baurannya rendah dari sisi manusia. Selanjutnya soal akses. Sekarang ada trend orang memiliki lahan tetapi tidak memiliki akses untuk mengelola. Paling nyata di Indonesia bagian Timur. Banyak lahan diambil dan dikelola pihak lain, tetapi tetap disebut hak ulayat warga. Ini namanya ancaman reseliensi. Sebagus apa pun lima kapasitas dimiliki komunitas, tetapi warga tetap akan menghadapi kerentanan,” jelasnya.
Kerentanan pertama karena bencana alam karena bisa mengubah kapasitas yang awalnya baik menjadi buruk. Seperti sekarang ini. Kedua, konflk sosial dan politik. Hal ini juga akan mengubah keadaan sedemikian rupa bisa terjadi. Ketiga karena kebijakan, baik daerah, nasional maupun internasional. Hal ini juga akan berdampak buruk terhadap kapasitas komunitas.
Tekanan penduduk yang tak terkendali juga bisa merusak reseliensi. Hal ini banyak sekali muncul di Jawa. Karena tekanan penduduk, terjadi perubahan fungsi- fungsi lahan sumber produksi pangan. Bahkan menjadi ancaman reseliensi komunitas.
Miskin juga memiliki bebrapa indicator. Dari miskin material tidak berdaya. Ada juga miskin spiritual. Miskin material misalnya kekurangan pangan, air bersih, energi dan lainnya. Kekurangan lahan atau tak memiliki alat. “Banyak sekali jika kita ikuti perkembangan dampak Covid-19 ini. Bisa dicek di penjualan online banyak orang menjual peralatan mereka, meskipun masih sangat dibutuhkan. Ini untuk mendapatkan uang menyambung hidup. Dari situ sebenarnya penyebab jatuh miskin karena sebelumnya punya alat kerja tetapi kemudian kehilangan alat kerja.
Aspek spiritual atau miskin spiritual, bisanya mengikuti dampak bencana. Misalnya, hilang trust dan saling curiga dalam masyarakat. Akhirnya dalam hidup, muncul pilihan pilihan buruk dan menjadi asing terhadap diri. Di kampung-kampung sekarang lebih diperketat keamanan. Dipasang portal dan dibuka hanya satu jalan. Alasan yang mengemuka tentu soal keamanan. Ini dampak krisis yang berimbas pada krisis spiritual. Reseliensi tidak bisa berjalan sendiri. Yang nyata dihadapi masyarakat saat ini adalah pandemic Covid yang telah mengisolasi semua orang. Tidak hanya yang terkena virus. Semua orang terisolasi dari hubungan sosial dan pekerjaannya, Kejadian ini membuat hampir semua orang menjadi tidak produktif. Akhirnya diandalkan adalah uang.
“Dilema reseliensi adalah dominasi uang. Bukan anti uang tetapi lebih berkonsentrasi pada material. Misalnya bagaimana memproduksi pangan, benih, air bersih, energi dan seterusnya. Bukan dijual tetapi digunakan sendiri. Jika masyarakat lain kekurangan karena syok maka bisa dibantu. Ini sangat rasional dan berkembang di mana mana. Jika tidak ada bencana orang hanya berfikir uang dalam hidupnya,”katanya.
Saat ini kata dia, semua orang mulai berpikir menanam. Nanti dilihat apakah masyarakat telah meningkat ketahanan atau ketangguhannya. Apakah semakin berdaya atau tidak. Apakah semakin terjamin sumber-sumber kehidupanya secara berkelanjutan atau tidak.
Soal ketangguhan pangan, Mahmudi bilang sesuai penelitian di 212 desa di Indonesia secara comprehensive, baik dalam dan luar Jawa, ditemukan, belum satu pun desa mampu menyangga kebutuhan pangan warganya. Beberapa desa, bahkan ada akumulasi persoalan. Tak hanya pangan tetapi air bersih dan energi.
Soal pangan, menurut Mahmudi sejak zaman kemerdekaan sudah diingatkan mantan Wakil Presiden Muhammad Hatta. Yakni jika suatu masyarakat atau bangsa pangannya tergantung pihak lain maka bangsa itu tidak bermartabat. “Siapa mengisi perutmu dia akan mengontrol atau mengendalikan mu,” katanya mengutip Hatta.
Soal pangan ini disebutnya masalah fundamental. Demikian juga air bersih dan energi. Soal konsep resiliensi juga di tiap kawasan prinsipnya sama. Baik warga di kawasan hutan, lahan pertanian basah, atau pesisir. Dibutuhkan kemampuan mengelola ekosistem dan melindunginya. Konsep reseliensi, community empowerment dan konsep sustainability livelihood perlu dikawinkan. Tiga konsep itu saling menopang. Contoh kasus di Samo Maluku Utara di mana dulunya masyarakat tangguh mEmproduksi pangan. Hanya saja kemudian menjadi pembeli.
Ada wilayah di Jawa juga sangat ekstrim. ‘Kabupaten Klaten sejak zaman Belanda ditetapkan sebagai kawasan penyangga pangan nasional. Di Klaten ada beberapa wilayah dikenal paling subur. Salah satu salah satu kawasan tanah paling subur bahkan di Asia. Hasil penelitiannya ada di Belanda, Vietnam dan Laos. Di Klaten Kecamatan Polanharjo dulu sangat terkenal berasnya. Pada 2012 dilakukan penelitian comprehensive dengan melibatkan seluruh warga. Kini daerah itu lahan sawahnya tinggal 80 hektar saja. Dari 80 hektar, 50 persennya sudah milik orang luar desa. Ini masalah ownership system. kalau lahan dimiliki orang luar desa, terjadi capital fly . Tahun ke tahun lahan terus mengalami penyempitan karena tidak ada proteksi. Akhirnya petani tidak mampu lagi menyangga pangannya. Bahkan terjadi perubahan orientasi luar biasa.
“Hampir semua wilayah gejalanya seperti ini. Tinggal sedikit saja yang menanam memenuhi pangannya. Ada bahkan saat panen, hasil tidak sampai ke rumah lagi karena dari lahan sudah diborong pengusaha. Uangnya dipakai mensubsidi energi listrik, pendidikan, komunikasi, uang jajan, biaya transportasi dan lain-lain. Ini masalah cukup serius di mana pangan mensubsidi berbagai kebutuhan,” katanya.
Dia bilang, sesuai hasil penelitian di Jawa untuk belanja sayur saja rata rata per desa/tahun menghabiskan dana mencapai Rp4 miliar lebih. Untuk jajan anak-anak TK, SD di atas Rp2 miliar. Jadi pangan ini sangat serius ancamannya.
Saat ini belanja pangan setiap desa sudah melawati 50 persen dari pendapatan. “Aneh juga dulu pangan tersedia, sekarang membeli. Artinya uang menjadi orientasi. Ancaman krisis pangan bukan karena tidak mampu menyediakan tetapi karena ada kebijakan atau factor- factor lain, menyebabkan desa tidak mampu menyediakan.
Dony Cahyono Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) dan juga Sekjen Insist Jogjakarta menjelaskan, kondisi yang dihadapi sistem dan struktur dasar saat ini, berwatak kapitalis dan feodalis. Sementara peningkatan kesejahteraan dan pendidikan sesuai agenda prioritas untuk peningkatan kualitas hidup manusia melalui jaminan sosial, pendidikan, kesehatan serta reformasi agraria adalah sesuatu yang mutlak diperlukan.
Dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan,merupakan isu baru difokuskan pada pertumbuhan ekonomi inklusif, serta industrialisasi yang berkelanjutan dan pembangunan hunian dan pemukiman disertai penerapan pola produksi dan konsumsi berkelanjutan. Dalam hal akses energi juga terjangkau, dengan pembangunan infrastruktur seperti pembangunan pembangkit listrik, penggunaan biofuel, bendungan, serta jalur transportasi, pengalihan kepada sumber energy terbarukan serta transparansi pengelolaan sector energy. Ini bagian dari upaya lebih luas menerapkan tata kelola sumberdaya berkelanjutan.
Di sisi lain perubahan iklim, dan komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca serta kemampuan membangun adaptasi atas perubahan iklim bagi masyarakat juga saat ini mutlak diperlukan. Dalam kondisi ini dibutuhkan cara melahirkan kader masyarakatyang mampu memahami kondisi di atas dengan mampu membangun system perencanaan, pengorganisasian dan adaptasi atas perubahan keadaan.
Baginya, system dan struktur yang melahirkan perubahan social menimbulkan tekanan luar biasa di seluruh sector kehidupan. Maka itu perlu diamalkan kembali konsepsi lama yang masih relevan sampai saat ini. Yakni Berdaulat Secara politik. Berdikari Secara Ekonomi, dan Berkepribadian Secara Social Budaya yang Khas., menurut kebudayaan setempat yang komunal dan bersinergi satu sama lain. Kemampuan menumbuhkan sikap pribadi akan mendorong lahirnya budaya organisasi, baik organisasi masyarakat maupun sebagai bangsa. Dalam konsepsi berdaulat, berdikari, dan berkepribadian itu, perlu diamalkan sebagai strategi dalam bekerja dan, mengorganisir.
Lalu bagaimana pelaksanannya? Menurut Dony, memerlukan 3 taktik. Yaitu proteksi dan kelola (protect and manage), mundur dan atur (retreat and re-organize), dan akomodasi dan memanfaatkan (accommodate and use). Berdaulat secara politik bagi bangsa Indonesia sebagai Negara merdeka memiliki idelogi sendiri, yaitu Pancasila. Sebagai Negara berdaulat, politik bebas aktif, justru harus bisa ikut mewarnai kehidupan bangsa-bangsa di dunia, dan ikut menciptakan perdamaian dunia. (bersambung)

CEO Kabar Pulau