add_action('wp_head', function(){echo '';}, 1); Ini Cara Menyiapkan Warga Adaptif Ketika Bencana (1) - Kabar Pulau

Home / Kabar Kampung

Jumat, 14 Agustus 2020 - 08:52 WIT

Ini Cara Menyiapkan Warga Adaptif Ketika Bencana (1)

Di tengah bencana warga Gane masih bisa memanfaatkan pangan lokal untuk makanan mereka

Di tengah bencana warga Gane masih bisa memanfaatkan pangan lokal untuk makanan mereka

Penyiapan Pangan Warga Sangatlah Penting

Bencana baik alam maupun non alam berdampak cukup serius bagi warga.  Pandemi Covid-19 misalnya, membuat hampir semua orang menjadi kurang produktif.  Pemenuhan kebutuhan hidup di masa pandemi pun  jadi tantangan.   Warga menjadi sangat rentan terutama  dalam memenuhi kebutuhan pangan. Karena itu perlu membangun  ketangguhan. Menata kembali kehidupan sosial dan lingkungan, yang tahan   goncangan  bencana baik alam maupun non alam.    

Setidaknya hal ini mengemuka dalam seri diskusi webinar online oleh Yayasan EcoNusa bersama lembaga mitra  di Maluku Utara dan Papua,   Mei lalu. Mengusung tema “Membangun Resiliensi Warga,  menghadirkan  Ahmad Mahmudi peneliti  dari  Lembaga Pengembangan Teknologi Perdesaan (LPTP), Dony Cahyono dosen UGM dan Insist Jogjakarta.  Sementara  lembaga  di tingkat tapak, adalah Direktur Perkumpulan Paka Tiva Maluku Utara Faisal Ratuela dan  Yanuairus Anouw  Wakil Direktur   Bentara Papua.   Dua lembaga ini  melalui aktivitas local, telah mendampingi  warga   menanam, riset hingga ragam  pendidikan bagi warga  di lapangan.

Ahmad  Mahmudi mengawali  penjelasan  tentang reseliensi. Menurutnya, konsep  ini tidak statis tapi  dinamis. Dikenal sejak 1620-an. Asal katanya dari bahasa Latin resilire berarti recoil (mundur atau bangkit kembali). Pada 1640-an, terjadi perluasan arti springing back (melompat kembali). 1824, pengertiannya mencakup  elasticity (kenyal, pegas, lentur). Awalnya resilience tidak digunakan sebagai konsep terkait individu/orang atau masyarakat. 1850-an, resilience berkembang menjadi istilah lebih luasdigunakan untuk menggambarkan sifat tahan atau tidak rentan terhadap sesuatu. Pertengahan abad ke-19, resilience muncul sebagai istilah teknis  industri pembuatan jam  mengacu pada kualitas komponen  internal  yang elastis dan fleksibel, dapat menahan getaran ekstrim.  

Lalu kapan menjadi konsep sosial? 1930 disiplin ilmu yang mengambil pertama kali reseliensi sebagai ilmu, adalah psikologi anak dan psikologi perkembangan. Dalam ilmu ini, ada satu keyakinan jika seorang anak mendapatkan sesuatu yang ekstrim akan terbawa sampai dewasa yang menyebabkan psykopatologi. Asumsi dasarnya terkait aspek negatif kesengsaraan. Bahwa pengalaman negatif masa kanak-kanak akan menimbulkan psikopatologi saat dewasa. Konsepnya  menjaga kesehatan mental anak dan mengobati mental disorder.

Terus berkembang hingga 1980 masuk konsep kebencanaan. Hal ini berhubungan dengan perubahan tingkat makro dan mikro. Terkait klimatologi, hidrologi yang tak terduga dan terjadi bencana di mana mana. Konsep disaster mengalami dinamika. Tahap awal diwarnai pendekatan carity, bahwa mereka yang terkena bencana lemah tak punya kapasitas. Karena itu harus ditolong  pihak luar.  Pendekatan ini  berjalan dalam waktu  lama. Meski begitu katanya, muncul kritik  bahwa pandangan ini tidak benar karena akan menimbulkan bencana baru yang lebih besar. “Statemen sentimental sering dilontarkan bahwa ini cara memecahkan masalah yang mendatangkan masalah baru. Resiliensi dibawa masuk ke dalam konsep besar disaster management  dan menjadi trend  riset  akademisi, kebijakan bagi policy maker, dan social respon bagi social workers.

Tahun 2000-an resilience diberi pengertian semakin luas dan kompleks yakni ketahanan/ketangguhan masyarakat memecahkan situasi krisis yang ditandai kemampuan mengurangi resiko bencana alam, konflik sosial politik, kebijakan, kemampuan adaptasi perubahan iklim dan kemampuan mengelola ekosistem berkelanjutan. Dengan demikian membangun resiliensi komunitas adalah menata kembali kehidupan sosial dan lingkungan yang tahan atau tangguh terhadap berbagai goncangan.

Menurut peneliti LPTP itu, masyarakat mampu itu adalah bisa menurunkan resiko akibat bencana, konflik sosial, konflik politik, maupun dampak kebijakan yang negative. Yakni beradaptasi dengan perubahan iklm dan mampu mengelola ekosistem secara berkelanjutan. “Konsep resiliensi itu bila goncangan terjadi masyarakat mampu menolong diri sendiri, tidak masuk jebakan pemiskinan. Setelah goncangan lewat  akan cepat  kembali pulih,” jelasnya.

Dia bilang, konsep resiliensi tidak bisa berjalan sendiri. Perlu diintegrasikan dengan kerangka kerja pemberdayaan dan keberlangsungan penghidupan masyarakat.  “Kalau masyarakat atau komunitas mampu menolong dirinya, dipastikan bisa menolong orang lain. Selanjutnya terhindar dari jebakan pemiskinan  berkelanjutan,” jelasnya.  

Resiliensi juga harus berintegrasi dengan konsep konsep lain. Sesuai pengalaman selama ini, baik teori maupun praktek, adalah konsep  community empowerment. Selain itu konsep sustainability livelihood atau upaya memastikan atau menjamin sumber sumber kehidupan  berkelanjutan.

“Banyak orang keliru karena konsep pemberdayaan masyarakat itu sudah sangat ‘polutif’.   Padahal teorinya jelas, keberdayaan itu power atau kuasa. Dalam hal kuasa, ada tiga indikator utama sering dilupakan. Pertama power of ownership  system,  yakni sistim kepimilikan.  Kedua  power of management  system atau  sistem  pengelolaan dan  ketiga,  power of utilty system atau sisitim pemanfaatanya. Jadi tata milik, tata kelola dan tata manfaat itu kunci  pemberdayaan masyarakat. Tetapi karena kekurangan pengetahuan, apa saja disebut pemberdayaan masyarakat.

Baca Juga  Ini Masalah Pembangunan di Pulau Makeang dan Kayoa

Dalam pemberdayaan, mutlak dilakukan tiga analisis di atas. Semakin tinggi tingkat kepemilikan, pengelolaan dan manfaat oleh masyarakat, maka  semakin berdaya.  Demikian  sebaliknya. Dari sini bisa dianalisis apakah proses- proses yang terjadi itu masuk pemberdayaan  atau  melemahkan masyarakat.

Teori kedua, perlu diintegrasikan dalam reselinesi adalah, commite reseliensi atau      commuinty livelihood.  Ada lima kapasitas di dalam upaya menjamin sumber sumber kehidupan  berkelanjutan. Yakni kapasitas manusia, sosial, alam, infrasrtruktur dan ekonomi.

Lalu bagaimana melihatnya? Apakah masyarakat memiliki ketangguhan dalam menjamin ketersediaan sumber kehidupan secara berkelanjutan?. Ini  harus dilihat dengan indikator penilaian. Pertama kuantitas.  Semakin sedikit sumber kehidupan dimiliki masyarakat maka semakin rentan atau terancam keberlanjutan hidupnya.  Kedua quality- nya bagus atau tidak.  Misalnya  lahan bagus atau tidak, punya sumber air atau tidak  dalam menanam pangan.  Ketiga  keragaman atau diversitas. “Misalnya  warga punya lahan 10 hektar, tetapi  lahan hutan  maka jauh lebih buruk dibanding  punya 7 hektar,  5 hektar hutan 2 hektar kebun  di mana satu hektar sawah  dan satu lagi  tanaman pangan lain.  

Teori ketiga bauran.  Ini berhubungan  dengan interaksi  antar kapasitas.  “Kalau  punya lahan 10 hektar, tetapi  tidak punya knowledge atau skill  tentang pertanian, maka baurannya  rendah dari sisi manusia. Selanjutnya soal akses. Sekarang ada trend orang memiliki lahan tetapi tidak memiliki akses untuk mengelola. Paling nyata di Indonesia bagian Timur. Banyak lahan diambil dan dikelola pihak lain, tetapi tetap disebut hak ulayat warga. Ini namanya  ancaman  reseliensi. Sebagus apa pun lima kapasitas  dimiliki  komunitas,  tetapi  warga tetap  akan  menghadapi  kerentanan,” jelasnya.   

Kerentanan  pertama karena bencana alam karena  bisa mengubah kapasitas   yang awalnya baik menjadi buruk. Seperti  sekarang ini. Kedua, konflk sosial dan politik. Hal ini juga akan  mengubah keadaan sedemikian rupa bisa terjadi. Ketiga karena kebijakan, baik daerah, nasional maupun internasional. Hal ini juga akan berdampak buruk terhadap kapasitas komunitas.

Tekanan penduduk yang tak terkendali  juga bisa merusak reseliensi. Hal ini banyak sekali muncul di Jawa.  Karena tekanan penduduk, terjadi perubahan fungsi- fungsi  lahan sumber produksi pangan. Bahkan menjadi ancaman reseliensi komunitas.   

Miskin  juga memiliki  bebrapa indicator.  Dari miskin material  tidak  berdaya. Ada juga miskin spiritual. Miskin material misalnya kekurangan pangan, air bersih, energi dan lainnya. Kekurangan lahan atau tak memiliki alat. “Banyak sekali jika kita  ikuti perkembangan dampak Covid-19 ini. Bisa dicek di penjualan online banyak orang menjual peralatan mereka, meskipun  masih sangat dibutuhkan. Ini untuk mendapatkan uang menyambung hidup. Dari situ sebenarnya penyebab jatuh miskin karena sebelumnya punya alat kerja tetapi kemudian kehilangan alat kerja.  

Aspek spiritual atau miskin spiritual, bisanya mengikuti dampak  bencana. Misalnya, hilang trust dan saling curiga dalam masyarakat. Akhirnya dalam hidup, muncul pilihan pilihan buruk dan menjadi asing terhadap diri. Di kampung-kampung sekarang lebih diperketat keamanan. Dipasang portal dan dibuka hanya satu jalan. Alasan yang mengemuka tentu soal keamanan. Ini dampak krisis yang berimbas  pada krisis spiritual.  Reseliensi tidak bisa berjalan sendiri. Yang nyata dihadapi masyarakat saat ini adalah pandemic Covid yang telah mengisolasi semua orang. Tidak hanya yang terkena virus. Semua orang terisolasi dari hubungan sosial  dan pekerjaannya, Kejadian ini  membuat hampir semua orang menjadi tidak produktif. Akhirnya diandalkan  adalah uang.  

“Dilema reseliensi adalah dominasi uang. Bukan anti uang tetapi lebih berkonsentrasi pada material. Misalnya bagaimana memproduksi pangan, benih, air bersih, energi dan  seterusnya. Bukan dijual tetapi digunakan sendiri. Jika masyarakat lain kekurangan  karena syok  maka bisa dibantu. Ini sangat rasional dan berkembang di mana mana. Jika tidak ada bencana orang hanya berfikir uang dalam hidupnya,”katanya. 

Saat ini kata dia, semua orang mulai berpikir menanam. Nanti dilihat apakah masyarakat telah meningkat ketahanan atau ketangguhannya. Apakah semakin berdaya atau tidak. Apakah semakin terjamin  sumber-sumber kehidupanya secara berkelanjutan atau tidak.  

Soal ketangguhan pangan, Mahmudi bilang sesuai penelitian di 212 desa di Indonesia  secara comprehensive,  baik dalam  dan luar Jawa, ditemukan, belum satu pun desa mampu  menyangga  kebutuhan pangan warganya. Beberapa desa, bahkan ada akumulasi persoalan. Tak hanya pangan tetapi  air bersih dan energi.   

Soal pangan, menurut Mahmudi sejak zaman kemerdekaan  sudah diingatkan mantan Wakil Presiden  Muhammad  Hatta.  Yakni jika suatu masyarakat atau bangsa pangannya  tergantung pihak lain maka bangsa itu tidak bermartabat.  “Siapa mengisi perutmu dia akan mengontrol atau mengendalikan mu,” katanya mengutip Hatta.

Baca Juga  Orang Tobaru dan Tradisi Menanam

Soal pangan ini disebutnya  masalah  fundamental. Demikian  juga  air bersih  dan  energi.  Soal  konsep resiliensi juga  di tiap kawasan  prinsipnya  sama.  Baik warga  di kawasan hutan,  lahan pertanian basah, atau pesisir. Dibutuhkan kemampuan mengelola ekosistem dan melindunginya. Konsep reseliensi, community empowerment dan konsep  sustainability livelihood perlu dikawinkan. Tiga konsep itu saling menopang. Contoh kasus di Samo Maluku Utara di mana dulunya masyarakat tangguh  mEmproduksi pangan. Hanya saja  kemudian menjadi pembeli. 

Ada  wilayah di Jawa  juga sangat  ekstrim. ‘Kabupaten Klaten  sejak zaman Belanda ditetapkan sebagai kawasan penyangga pangan nasional. Di Klaten ada beberapa wilayah  dikenal paling subur. Salah satu salah satu kawasan tanah paling subur bahkan di Asia. Hasil penelitiannya  ada di Belanda, Vietnam  dan Laos. Di Klaten Kecamatan Polanharjo dulu sangat terkenal   berasnya.  Pada 2012  dilakukan penelitian comprehensive  dengan  melibatkan seluruh warga. Kini daerah itu  lahan sawahnya tinggal 80 hektar saja. Dari 80 hektar,  50 persennya sudah  milik orang  luar desa.  Ini masalah ownership  system.   kalau lahan dimiliki  orang luar desa,   terjadi  capital fly . Tahun ke tahun lahan  terus mengalami penyempitan karena tidak ada proteksi. Akhirnya petani tidak mampu lagi menyangga pangannya. Bahkan terjadi perubahan orientasi  luar biasa.

“Hampir semua wilayah gejalanya seperti ini. Tinggal sedikit saja yang menanam  memenuhi pangannya.  Ada bahkan saat panen, hasil tidak sampai ke rumah lagi karena dari lahan   sudah diborong pengusaha. Uangnya  dipakai mensubsidi energi listrik, pendidikan, komunikasi, uang jajan, biaya transportasi dan lain-lain. Ini masalah cukup serius di mana pangan mensubsidi  berbagai kebutuhan,” katanya.

Dia bilang, sesuai hasil penelitian di Jawa untuk belanja sayur saja rata rata per desa/tahun menghabiskan dana mencapai Rp4 miliar lebih. Untuk jajan anak-anak TK, SD di atas Rp2 miliar.  Jadi  pangan ini  sangat serius ancamannya.  

Saat ini belanja pangan setiap desa sudah melawati 50 persen dari pendapatan. “Aneh juga dulu pangan tersedia,  sekarang membeli. Artinya uang menjadi orientasi. Ancaman krisis pangan bukan karena tidak mampu menyediakan tetapi karena ada kebijakan atau factor- factor  lain,  menyebabkan desa tidak mampu menyediakan.  

Dony Cahyono Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) dan  juga  Sekjen Insist Jogjakarta menjelaskan, kondisi yang dihadapi  sistem dan struktur dasar saat ini, berwatak kapitalis dan feodalis.  Sementara  peningkatan kesejahteraan dan pendidikan sesuai agenda prioritas untuk peningkatan kualitas hidup manusia melalui jaminan sosial, pendidikan, kesehatan serta reformasi agraria adalah sesuatu yang mutlak diperlukan.

Dalam  pembangunan ekonomi berkelanjutan,merupakan isu baru  difokuskan pada pertumbuhan ekonomi inklusif, serta industrialisasi yang berkelanjutan dan pembangunan hunian dan pemukiman disertai penerapan pola produksi dan konsumsi berkelanjutan.  Dalam hal akses energi juga terjangkau, dengan pembangunan infrastruktur seperti pembangunan pembangkit listrik, penggunaan biofuel, bendungan, serta jalur transportasi, pengalihan kepada sumber energy terbarukan  serta transparansi pengelolaan sector energy. Ini   bagian dari upaya lebih luas  menerapkan tata kelola  sumberdaya berkelanjutan.

Di sisi lain perubahan iklim, dan komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca serta kemampuan membangun adaptasi atas perubahan iklim bagi masyarakat juga saat ini mutlak diperlukan. Dalam kondisi ini dibutuhkan cara melahirkan  kader masyarakatyang mampu memahami kondisi di atas dengan mampu membangun system perencanaan, pengorganisasian  dan adaptasi atas perubahan keadaan.

Baginya,  system dan struktur yang melahirkan perubahan social  menimbulkan tekanan luar biasa di seluruh sector kehidupan. Maka itu perlu  diamalkan kembali konsepsi lama yang masih relevan sampai saat ini.  Yakni Berdaulat Secara politik. Berdikari Secara Ekonomi, dan Berkepribadian Secara Social Budaya yang Khas.,  menurut  kebudayaan setempat yang komunal dan bersinergi satu sama lain. Kemampuan menumbuhkan sikap pribadi akan mendorong lahirnya budaya organisasi, baik  organisasi masyarakat maupun sebagai bangsa. Dalam konsepsi berdaulat, berdikari, dan berkepribadian  itu, perlu diamalkan sebagai strategi dalam  bekerja dan, mengorganisir.   

Lalu bagaimana pelaksanannya?  Menurut Dony, memerlukan 3 taktik.  Yaitu proteksi dan kelola (protect and manage), mundur dan atur (retreat and re-organize), dan akomodasi  dan memanfaatkan (accommodate and use). Berdaulat secara politik bagi bangsa Indonesia  sebagai Negara merdeka  memiliki  idelogi sendiri, yaitu Pancasila.  Sebagai Negara berdaulat, politik bebas aktif, justru harus bisa ikut mewarnai kehidupan bangsa-bangsa di dunia, dan ikut menciptakan perdamaian dunia. (bersambung)

Share :

Baca Juga

Kabar Kampung

“Oji” Si Yakis Bacan akan Dikembalikan ke Alam Liar

Kabar Kampung

Di Mare akan Dikembangkan Jambu Mente

Kabar Kampung

Suara Lirih Petani Kakao Pulau Bacan

Kabar Kampung

Pemerintah Rencana Produksi Bioetanol dari Seho

Kabar Kampung

Safri Bubu, Pahlawan Konservasi Mamua dari Galela Halmahera

Kabar Kampung

Ini Cara Antisipasi Stok Pangan Saat Pandemi

Kabar Kampung

Ini Kondisi Jalan Sayoang -Yaba Pulau Bacan

Kabar Kampung

Orang Tobaru dan Tradisi Menanam