Belajar Pemetaan dan Perencanaan Wilayah Kelola Rakyat
Puluhan anak muda dari beberapa lembaga dan pemuda kampung berkumpul di Training Centre Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Maluku Utara Selasa hingga Sabtu (9-13/8/2022). Mereka mengikuti Pelatihan, Pemetaan serta Perencanaan Wilayah Kelola Rakyat (WKR) dan Perlindungan Hutan Kampung. Pelatihan ini digelar oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) PAKATVA Maluku Utara. Direktur PakaTiva Maluku Utara Norsyahid Musa, Selasa (9/8/2022) menjelaskan, kegiatan ini melibatkan belasan anak muda yang tergabung dalam komunitas pencinta alam, Estuaria, dan beberapa perwakilan dari kampung dampingan Perkumpulan Pakativa. Kegiatan ini bertujuan meningkatkan sumber daya
pemetaan partisipatif berbasis komunitas dan membangun komitmen penuh untuk menunjang inisiatif kampung dalam konteks mitigasi adaptasi krisis iklim, berupa upaya resiliensi, perlindungan, dan pemulihan, serta pemanfaatan secara berkelanjutan. “Dengan pelatihan ini kita harapkan ada eningkatan mutu dan sumber daya pemetaan, pengelolan data desa, dan perencanaan pembangunan kampung (Wilayah Kelola Rakyat),”jelasnya. Dia bilang peningkatan pemahaman anak muda ini terkait penguatan basis data kampung terutama tata kuasa dan tata kelola hutan dan lahan. Selain itu dengan pelatihan ini wacana pusat layanan pemetaan pesisir dan pulau kecil di Ternate yang diinsiatif oleh anak muda di Maluku Utara bisa direalisasikan. “Paling penting terbangunnya kesadaran di level kampung, akan pentingnya pengelolaan potensi alam untuk penguatan ekonomi yang sangat bergantung pada pelestarian dan perlindungan kawasan terutama kegiatan pemanfaatan yang padat karbon.
Mereka juga bisa memahami dalam menyusun dan merencanakan pengelolaan wilayah di desa. Melalui pelatihan ini hadir kampiun-kampiun pemetaan di kalangan anak muda Maluku Utara dan dapat menunjang upaya-upaya mitigasi krisis iklim. Menurutnya, Maluku Utara memiliki luas kawasan hutan 2.515.220 Ha (SK.302/MENHUT/II/2013), terbagi atas Hutan Konservasi ± 218.499 Ha, Hutan Lindung ± 584.058 Ha, dan Hutan Produksi ± 1.712.663 Ha. Sementara, pada kawasan tersebut telah terdapat izin pemanfaatan lahan yang terdiri dari 11 Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK – HA) 609.119 Ha. 4 ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK – HT) seluas 59.138 Ha; 4 Izin Usaha. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK – HTR) 19.438 Ha; dan Pinjam Pakai Kawasan Hutan Untuk Kegiatan Pertambangan 76.800,51 Ha.
Data WALHI Maluku Utara (2022), terdapat 112 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan total luasan konsesi 662.403,08 Ha. Selain itu ada sawit. Karena itu memunculkan degradasi hutan yang masif terutama di wilayah Gane – Halmahera Selatan dengan luasan konsesi 11.003,09 Ha. Alih fungsi kawasan ini berdampak signifikan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil.
“Lemahnya inisiatif kampung dalam perencanaan serta pendokumentasian secara tertulis pengelolaan wilayah merupakan tantangan dalam upaya mendorong rekognisi wilayah kelola untuk perlindungan, pemulihan , dan pemanfaatan di level tapak. Dalam kondisi ini posisi desa makin rentan tergerus keputusan-keputusan politik penguasaan ruang,” jelasnya.
Di Desa Samo dan sekitarnya, Gane Barat Utara pernah dilanda banjir namun pemberian izin lokasi bagi IUPHHK HA atas nama PT. Nusa Pala Nirwana dengan total luasan ±28.892 ha akan turut meningkatkan risiko. Dengan tiadanya strategi perencanaan pengelolaan wilayah secara berkelanjutan itulah, inisiatif kampung yang telah terbangun sebelumnya tergerus kemudian dengan masuknya investasi yang sama di atas lahan bekas konsesi PT.NPN tersebut.
Hal ini mengindikasikan bahwa pada aras makro, kebijakan pembangunan berkelanjutan belum sepenuhnya dimplementasikan sebagaimana mestinya. Minimnya pemahaman akan isu di level pengambil kebijakan daerah juga turut mempengaruhi tidak terpenuhinya kaidah dalam skema pembangunan berkelanjutan yang telah dicanangkan berupa perlindungan dan pemulihan kawasan kritis dan berisiko dalam situasi krisis iklim.
Perkumpulan Pakativa menilai cara pandang pembangunan ‘bias daratan’ semacam itu harus ditanggalkan. Sebagai wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil maka paradigma pembangunan mesti selaras dengan lokus isu di daerah seturut dengan perlu memasukkan analisis risiko kebencanaan dan kerentanan sebuah wilayah dalam melakukan rancangan, perencanaan, dan strategi implementasi.
“Daerah tersebut sebelumnya memiliki vegetasi hutan sangat lebat dan luas yang telah dieksploitasi HPH di masa Orde Baru (mulai pada 1989), PT Barito Pasifik Timber Group dengan konsesi mencapai 38 ribu hektar lebih selama 10 tahun beroperasi hingga berhenti pada 2000. Tentunya—usaha pemanfaatan kayu skala besar pada hutan primer oleh anak perusahaannya atas nama PT. Taiwi II Camp Samo—berkonsekuensi pada perubahan bentang alam yang dapat berakibat banjir yang melanda perkampungan di sekitar,” katanya. Secara akumulatif, bila kegiatan restorasi tidak dijalankan dan izin polusi terus diterbitkan di wilayah tersebut, maka dapat dipastikan sebagian besar petani dan nelayan subsisten dari sekira 6.503 jiwa di 12 perkampungan pada wilayah seluas 501,70 Km2 di sana berisiko terdampak bencana iklim yang dapat berakibat pada terjadinya kelangkaan pangan.
Atas dasar itu, pemahaman akan isu dan lokus di daerah serta bagaimana strategi mitigasi adaptasi perlu dirumuskan secara integratif. Semua stakeholder mesti terlibat bersama termasuk masyarakat di tingkat tapak agar dapat terbangun sinergisitas. Paling tidak inisiatif-inisiatif publik dalam konteks mendorong pembangunan berkelanjutan terbuka peluang untuk kemudian terakomodir dalam rumusan kebijakan di daerah.
Melalui kegiatan pelatihan (ToT) diharapkan beberapa keterampilan dasar dapat meningkatkan mutu dan meringankan kerja-kerja strategis ke depan.
Sementara pelatihan ini difasilitasi dua fasilitator masing masing Zulhan A. Harahap Akademisi FPIK Universitas Khairun Ternate dan Fahrudin Buamona (Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif Maluku Utara).
Saat memfasilitasi kegiatan di hari pertama Zulhan mengantar pemahaman peserta dengan sejarah pemetaan di mulai dari sejarah pencarian daerah rempah oleh penjajah dengan pelayaran antar dunia yang tidak terlepas juga dengan peta. Dengan peta, mereka berlayar dari Eropa ke Indonesia. Peta peta yang ada digambar secara manual. Saat bahkan pembuatan peta sudah mengunakan drone.
“Saat ini karena sudah menggunakan satelit orang bisa melakukan pemetaan setiap minggu,” katanya.
Dia menjelaskan, peta yang dibuat biasanya tergantung kepentingan si pembuat peta. Karena warga harus memiliki peta kampung sebagai peta tandingan dari yang dibuat berbagai pihak berdasarkan kepentingan mereka.Dia contohkan, Peta HPH jika ditampilkan tidak ada kampung, karena itu jangan langsung dipercaya, harus ditelusuri dulu. Setiap kampung wajib membuat peta masing masing. Saat ini masih banyak desa yang belum membuat peta. Sejarah dan profil desa menjadi hal penting wajib di miliki dalam peta. “Siapa yang terlibat dalam pembuatan peta juga harus bisa menguasai perkembangan teknologi agar bisa dipakai saat pembuatan peta. Saat ini semua orang sudah bisa membuat peta,”jelasnya.
Jika di kampung wilayahnya sudah membuat peta yang sesuai kepentingan kampung maka bisa bermanfaat bagi warga kampung. Jika kampung tidak punya peta maka tidak bisa dijadikan bahan perlawanan. Misalnya batas wilayah ketika ada investasi atau korporasi yang masuk mencaplok wilayah kita. Peta tidak hanya peta saja, tapi menjadi catatan penting kampung. Karena itu harus tertera sejarah kampung dan kepemilikan tanah leluhur.
Dalam pelatihan ini turut diperkenalkan peta digital dengan menggunakan android Alat GPS–Kamera Komputer + Program QGIS. “Kita harus memulai dengan yang kita punya dan memanfaatkan teknologi yang ada sehingga bisa menghasilkan peta yang bermutu dan standar sesuai yang diinginkan. Terutama skala, sumber, legenda dan system kordinat.
Saat ini walaupun pemerintah sudah membantu membuat peta, namun kadang posisinya salah atau tidak tepat. Jadi penting memiliki peta sendiri untuk dijadikan bahan perbandingan dengan peta pemerintah. “Peta yang kita buat harus sesuai standar nasional yang ada. Semakin bagus peta yang kita gunakan, maka akan semakin akurat,” jelasnya. (*)
CEO Kabar Pulau