Jumlah pulau di Maluku Utara sesuai data terbaru dari pemerintah provinsi Maluku Utara berjumlah 1008 pulau. Termasuk Halmahera, Morotai, Obi dan Taliabu yang tidak tergolong pulau kecil. Selebihnya masuk kriteria pulau kecil yang terbilang rentan. Saat ini saja, dari pulau yang ada sebagian sudah ditambang bahkan ada yang telah dikeluarkan izin untuk ditambang. Sebut saja pulau Gebe di Halteng, Pula Gee di Halmahera Timur serta pulau Fofau di Halmahera Tengah sudah diberikan izin untuk ditambang. Meski sesuai undang undang ini tidak diperbolehkan ditambang berbagai upaya ingin mengeruk pulau tetap dilakukan.
Pada penghujung April 2023, PT Gema Kreasi Perdana (PT GKP), anak perusahaan HARITA Grup, yang menambang nikel di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, melalui tim kuasa hukumnya menggugat sejumlah pasal di dalam UU No. 27 Tahun 2007 jo UU 1 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil, khususnya pasal 23 ayat 2 dan pasal 35 huruf K. Dalam Pasal 23 ayat 2 berbunyi: Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut: a. konservasi; b. pendidikan dan pelatihan; c. penelitian dan pengembangan; d. budidaya laut; e. pariwisata; f. usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari.
Selanjutnya, Pasal 35 huruf K berbunyi: Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.
Lalu apa ancaman bagi pulau pulau di Maluku Utara jika Judicial Review dikabulkan Mahkamah Konstitusi?
Dr. Abdul Motalib Angkotasan Dosen Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate memberikan pandangannya terkait persoalan ini. Menurutnya, jika sampai dikabulkan gugatan koproasi ini maka praktek eksploitasi tambang dilakukan secara tebuka (open maining). Aktivitas ini akan membabat seluruh vegetasi baik mangrove dan pascaprea di pesisir dibabat habis untuk pembangunan smelter. Vegetasi hutan di darat diratakan dengan tanah karena material tambang harus diambil.
Puncak perbukitan pulau kecil menjadi gundul dan daratan pesisir menjadi gersang. Padahal kawasan hutan ini adalah penyangga pulau kecil. Berperan sebagai penyerap air ketika hujan buat penyediaan air tanah bagi masyarakat pesisir. Hutan mangrove adalah baffer alami yang baik untuk menghindarkan pulau kecil dari abrasi pantai dan sedimentasi. Melindungi pantai dari ancaman gelombang dan masuknya material daratan yang dapat merusakan eksositem lamun dan ekosistem terumbu karang. Ancaman serius juga akan dialami masyarakat pulau kecil adalah, krisis air, krisis sosial, krisis ekologi, krisis pangan yang berujung pada kemiskinan.
“Perlu diingat bahwa pulau kecil punya daya dukung kawasan yang terbatas. Jika dieksploitasi seperti dijadikan kawasan pertambangan baik nikel, emas, dan gas maka pulau kecil terancam rusak berat” katanya.
Terdapat empat dampak utama akan ditimbulkan sebagai akibat dari ekpsloitasi tambang di pulau kecil.
Pertama, kerusakan hutan pesisir dan darat. Kedua, tingginya laju sedimentasi. Ketiga, pencemaran air tanah. Keempat, menurunya kualitas perairan. Kelima, kerusakan ekosistem. Keenam, krisis pangan. Ketujuh, kemiskinan masyarakat pulau kecil.
“Anak pulau adalah pewaris sah sumberdaya pulau yang dihuni harus berjuang agar judicial review di MK ini ditolak. Artinya amanat di dalam UU ini tetap dipertahankan,” harapnya.
Lalu apa yang harus dilakukan masyarakat pulau kecil tempat eksploitasi tambang, seandainya judicial review UU Nomor 7 Tahun 2027 pasal 23 dan 35 dipenuhi Mahkamah Konstusi?.
Menurutnya ada beberapa class action harus dilakuan.Pertama, masyarakat harus menuntut tanggung jawab lebih dari perusahaan yang menambang. Bukan sekadar Corporate Social Responsibility (CSR) yang menguap dalam perjalanan. Tapi konkrit, semua rumah tangga di area pertambangan harus dijamin masa depannya selama 20 tahun ke dapan. Atau paling tidak sampai kehidupannya mapan. Caranya, memastikan setiap rumah tangga tersebut, anknya disekolahkan sampai mendapatkan pekerjaan yang layak. Kedua,menuntut proses restorasi dan rehabilitasi ekosistem. Perusahaan tambang harus memastikan tanggung jawabnya mengembalikan kondisi ekosistem darat dan laut seperti sedia kala.
“Bukti komitemnya bukan sekadar sosialisasi, atau penghijauan yang seadanya. Masyarakat harus dilibatkan untuk memeriksa dan memastikan bahwa penanaman kembali hutan yang sudah gundul, mangrove yang ditebang, dan terumbu karang yang rusak telah dipulihkan,”cecarnya. Ketiga,konsolidasi masyarakat sipil. Masyarakat sipil di Maluku Utara harus terpanggil untuk mengkonsolidasi diri. Permaslahan ini menyisakan luka dan duka bagi warga di pulau keicl. “Mungkin kita tidak memiliki ikatan geneologis dengan mereka, tapi sebagai anak negeri kita harus empati. Turut merasakan penderitaan yang dialami. Bersama membangun gerakan bersama penting dilakukan. Masyarakat sipil perlu duduk bicara, merumuskan tuntutan kepada seluruh Perusahaan tanbang di Pulau kecil yang beroperasi di Maluku Utara,” desaknya.
Langkah taktisnya kata dia mendorong pemerintahan daerah Kabupaten dan Provinsi mengambil langkah tegas. Kepala daerah, dinas terkait dan DPRD harus dimintai komitmennya memastikan berbagai tuntutan masyarakat sipil dapat dieksekusi. (*)
CEO Kabar Pulau