Salah satu metode peleburan nikel laterit adalah dengan proses hidrometalurgi, high pressure acid leaching (HPAL). HPAL dipilih banyak produsen nikel baterai di Indonesia saat ini karena menghasilkan limbah olahan berbentuk lumpur (tailing). Di Indonesia, ada tiga proyek HPAL dibangun di Morowali, Sulawesi Tengah dan Obi, Maluku Utara.
Rencana ini mendapat sorotan lembaga yang concern mengawal isu pertambangan dan ekologi bernama Perkumpukan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER). Melalui rilis yang dikeluarkan Kamis (4/1/2020) dan diterima kabarpulaua.co.id, menyatakan bahwa, pengolahan nikel dengan metode ini menjadi salah satu model pembuangan tailing terbesar di dunia.
“Proyek HPAL di Morowali dan Obi ini hendak membuang tailing ke laut dalam dengan alasan aktivitas seismik dan curah hujan tinggi. Sebanyak 25,6 juta ton tailing direncanakan buang ke laut Morowali oleh empat lini HPAL di kedalaman 250 meter. Keadaan ini akan jadi salah satu praktik pembuangan tailing terbesar di dunia,” ujar Pius Ginting, Koordinator Perkumpulan AEER.
Dia bilang di Obi, tailing yang akan dibuang ke laut mencapai 6 juta ton per tahun pada kedalaman 230 meter. Sementara kandungan logam dan sisa pengolahan dalam tailing berpotensi masuk ke rantai makanan, terakumulasi dan mengancam kesehatan manusia.
Bagi Pius, Morowali dan Obi berada di wilayah coral triangle yang memiliki biodiversitas laut tertinggi di dunia, termasuk terumbu karang, lamun, dan mangrove. Hal ini akan menjadi ancaman serius. Sekira 710 hektar terumbu karang diperkirakan hidup di perairan Bahodopi. Sementara di Obi, berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah Perairan dan Pulau- Pulau Kecil (RZWP3K) Maluku Utara, rute migrasi lumba-lumba dan penyu terletak tidak jauh dari lokasi rencana pembuangan tailing. Fenomena upwelling yang memungkinkan tailing terangkat ke permukaan laut juga terindikasi di perairan barat Obi. Berdasarkan RZWP3K Sulawesi Tengah dan Maluku Utara, perairan Morowali dan Obi juga tergolong zona perikanan tangkap.
Standar Lingkungan Global Terbaik Perlu Diterapkan
Menurut Pius, dalam produksi nikel baterai kendaraan listrik produk komponen baterai berbasis nikel Indonesia akan berperan penting dalam rantai suplai global kendaraan listrik. Setidaknya, ada 9 pabrik dengan 40% penjualan kendaraan listrik gobal berpeluang memperoleh pasokan baterai di Indonesia. Meski kendaraan listrik dinilai ramah lingkungan, pertambagan nikel yang menjadi salah satu komponen baterai berpotensi akan merusak lingkungan jika dilakukan eksploitasi secara besar-besaran. “Kendaraan listrik sebenarnya akan lebih rendah emisi, namun perlu kebijakan dalam penggunaannya. Perlu pembatasan dalam eksploitasnya sehingga limbahnya seperti tailing dapat dikelola dengan baik tanpa membuat ke laut. Juga penghindaran energi non fosil khususnya batubara perlu dikedepankan agar produk nikel bateri Indonesia berkontribusi dalam pencapaian netral karbon global dan nasional,” ujar Pius Ginting
Pasalnya, jika kebutuhan nikel ini untuk pemenuhan transportasi pribadi, maka kebutuhannya akan sangat tinggi. Pius mengatakan pihakya mendukung untuk pengembangan kendaraan listrik tapi tidak merusak lingkungan. Perlu adanya pengembangan untuk kendaraan publik, sehingga terjadi perubahan budaya konsumsinya. International Energy Agency memprediksi permintaan tahunan komoditas nikel kelas 1 tahun 2030 mencapai 925 kilo ton per tahun berdasarkan stated policies scenario dan 1.900 kilo ton per tahun berdasarkan sustainable scenario. Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar dunia, yakni 23,7% dari total cadangan dunia. Tiga daerah dengan kandungan nikel terbesar, yakni Sulawesi Tenggara (32%), Maluku Utara (27%), dan Sulawesi Tengah (26%).
Indonesia, kata Pius, memiliki deposit nikel di Indonesia berjenis laterit dengan kadar nikel yang lebih rendah dibanding nikel sulfida. Cadangan nikel dunia saat ini terdiri dari 60% nikel laterit dan 40% nikel sulfida. Sementara itu, baterai berbasis nikel membutuhkan kemurnian tinggi sehingga pengolahan nikel laterit lebih sulit daripada sulfida. Proses peleburan (smelting) dan pemurnian (refining) membutuhkan energi yang lebih banyak serta teknologi yang lebih mahal. Salah satu metode peleburan nikel laterit adalah proses hidrometalurgi, high pressure acid leaching (HPAL), yang dipilih banyak produsen nikel baterai di Indonesia saat ini.
Praktek pembuangan tailing ke laut tidak diperkenankan di banyak negara, termasuk Tiongkok negeri asal investasi nikel batere menyetujui pelarangan praktik pembuangan tailing ke laut pada Kongres International Union for Conservation of Nature 2016. Stated policies scenario mempertimbangkan efek kebijakan terkait dari pemerintah serta target yang dicanangkan pemerintah/industri, yang telah ada/diumumkan sekarang. Sementara sustainable development scenario dibangun berdasarkan Kampanye EV30@30 yang diikuti 11 negara untuk mencapai 30% market share semua moda kendaraan listrik di tahun 2030, guna memenuhi tujuan Paris Agreement.
Praktik pembuangan tailing ke laut juga akan berdampak buruk pada masyarakat lokal yang bekerja sebagai nelayan. “Peralihan penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik tak terhindarkan. Namun, produksi kendaraan listrik dari hulu ke hilir tetap harus bersih, memenuhi standar lingkungan global yang terbaik, dan menyejahterakan masyarakat sekitar, tanpa terkecuali. Tanpa itu, ketidakadilan kian mendalam bagi ekologi rakyat lokal yang berkontribusi kecil bagi emisi gas rumah kaca,” ujarnya.
Kegiatan pertambangan nikel yang telah berlangsung sampai saat ini di Morowali dan Weda pun terindikasi melampaui daya dukung lingkungan. Hal ini terlihat dari banjir yang melanda kedua daerah tersebut dengan bahaya dan frekuensi yang bertambah. Pasalnya nikel Indonesia banyak terdapat di lapisan permukaan Bumi, sehingga pertambangan terbuka pasti memangkas tutupan hutan. Produksi yang kotor juga mempersulit serapan nikel baterai Indonesia di pasar global. Produsen baterai dan kendaraan listrik lebih sensitif pada isu lingkungan, terlihat dari pembentukan aliansi perusahaan untuk memastikan kebersihan rantai suplai dari hulu ke hilir kendaraan listrik.
“Tanpa produksi nikel yang bersih, kita hanya akan mengulang pola serupa yang memicu krisis iklim hari ini, yaitu eksploitasi berlebih sumber daya alam di negara berkembang untuk memenuhi pola konsumsi di negara lebih maju,” katanya.
AEER berharap penelitian ini menjadi pertimbangan bagi pengampu kebijakan dan investor dalam merumuskan hilirisasi industri baterai berbasis nikel untuk kendaraan listrik di Indonesia sembari tetap memperhatikan standar keberlanjutan lingkungan dan hak-hak masyarakat lokal. (*)