Penulis : Hamdan Volunter/ Kabarpulau.
Konflik tenurial di Maluku Utara masih sering terjadi. Misalnya antara warga dengan korporasi atau juga dengan pemerintah. Contoh konflik tenurial antara warga dengan pemerintah, sekarang ini yakni dengan kawasan Taman Nasional. Konflik ini perlu diselesaikan sehingga tidak merugikan masyarakat termasuk upaya konservasi hutan juga tetap berjalan. Sekadar diketahui, penetapan Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) pada 2004 lalu, sempat memunculkan polemic, terutama warga di wilayah adat Kobe. Persoalan ini membuat masyarakat adat setempat mengambil langkah melakukan pemetaan wilayah adat mereka.
Difasilitasi Organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Provinsi Maluku Utara, serta didukung dua lembaga masing-masing Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) dan Burung Indonesia, mereka ikut menggelar Workshop Pengusulan Rencana Pengelolaan dan Rencana Kerja Hutan Adat dan Kemitraan Konservasi Masyarakat Adat (KKMA). Kegiatan ini melibatkan masyarakat adat Kobe dengan pihak Taman Nasional. Ini sekaligus sebagai upaya menyelesaikan polemic yang terjadi. Workshop selain melibatkan pihak Taman Nasional Aketajawe Lolobata Wilayah I Weda, juga pemerintah desa, masyarakat adat Kobe dan AMAN Maluku Utara. Kegiatan ini dipusatkan di Kantor Desa Kobe (28/10) lalu.
“Workshop ini adalah tindak lanjut pertemuan beberapa waktu lalu antara AMAN dengan pihak Taman Nasional di Sofifi,” kata Ketua AMAN Malut Munadi Kilkoda. Dalam pertemuan sebelumnya, telah diagendakan ada pertemuan lanjutan bersama masyarakat adat Kobe membahas kelanjutan rencana kelola dan kerja wilayah adat Kobe dalam kawasan Taman Nasional.
Dia bilang, setelah pemetaan partisipatif dari 23 ribu hektar wilayah adat, ada 14 ribu hektar wilayah adat terjadi overlay dengan kawasan Taman Nasional blok Aketajawe.
“Pemetaan ini perintah konstitusi untuk melindungi dan memajukan hak-hak masyarakat adat Kobe. Sama halnya yang dilakukan pihak TNAL sesuai amanat Undang- undang Kehutanan untuk kepentingan konservasi,” jelasnya.
Adanya tumpang tindih hutan adat dengan Taman Nasional itu dibuktikan dengan aktifitas sosial ekonomi masyarakat adat di dalamnya, dari berkebun, berburu dan meramu. Karena itu ketika ditetapkan menjadi Taman Nasional, memunculkan complain dari masyarakat adat. Bibit konflik masyarakat adat dan Taman Nasional ini katanya perlu diselesaikan. “Perlu dicari jalan ke luarnya secara serius. Tujuannya warga kembali memiliki hak kelola yang kini telah ditetapkan negara masuk kawasan TNAL,” katanya.
Workshop ini juga diharapkan menjadi resolusi konflik masyarakat adat Kobe dengan Taman Nasional. “Sudah ditawarkan jalan tengah penyelesaian konflik melalui skema kemitraan konservasi sambil menunggu proses penetapan hutan adat Kobe,” jelasnya.
Di tempat yang sama Kepala Wilayah I Taman Nasional Aketajawe Lolobata Weda, Ir Raduan menjelaskan, peta wilayah adat yang dibuat masyarakat adat Kobe akan diproses lagi karena masih bersifat usulan. Nanti akan ada pengelolaan kawasan hutan yang ikut melibatkan masyarakat adat Kobe. “Prinsipnya kami mendukung apa yang dilakukan masyarakat adat Kobe,” katanya. Dia bilang, ada dua program pengelolaan kawasan hutan terdiri dari wisata berbasis hutan dengan keunikan spesies endemic, dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang mengharuskan pelibatan masyarakat adat. “Ini selaras dengan perubahan paradigma pengelolahan hutan yang menjadikan masyarakat sebagai subyek dalam memerangi kesenjangan sosial dan ekonomi di kawasan hutan, terutama masyarakat adat,” imbuhnya.
Terpisah, tokoh masyarakat adat Kobe, Maklun, berharap proses ini bisa memberi jalan keluar yang melibatkan masyarakat adat Kobe dengan TNAL. Sebagai petani yang menggantungkan hidupnya dari hutan, meminta pertimbangan dari pemerintah. “Kami butuh hutan yang telah diwariskan leluhur kami secara turun- temurun. Ini juga demi hidup anak cucu kami ke depan,” harapnya. (hamdan)