WALHI: Regulasi Abaikan Wilayah Tangkap Nelayan Tradisional
Putaran empat debat Calon Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029 telah berakhir Minggu (21/1/2024) lalu. Banyak persoalan lingkungan diungkap ketiga Cawapres dalam debat.
Sayang, tidak ada satu pun menyinggung langsung masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Padahal tempat tinggalnya rentan tenggelam karena kenaikan muka air laut. Perspektif para kandidat dalam isu lingkungan hidup dan sumber daya alam masih bias darat.
Ketua Kelompok Kerja Politik Greenpeace Indonesia Khalisah Khalid, Senin (22/01/2024) lalu seperti dilansir mongabay.co.id(https://www.mongabay.co.id/2024/01/26/sektor-kelautan-dan-perikanan-tak-penting-untuk-calon-presiden-indonesia/) mengatakan bahwa penyebutan konteks tersebut seharusnya dilakukan, karena masih berkaitan dengan isu krisis iklim yang terjadi saat ini.
Memang, ada yang menyinggung masyarakat pesisir dan nelayan, tapi tidak ada penjabaran lebih lanjut bagaimana agenda mitigasi dan adaptasi iklim bersama warga di pesisir dan pulau-pulau kecil, di mana saat ini semakin terjepit karena dampak krisis iklim.
Fakta lainnya, pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi penting, karena saat ini sedang terancam akibat praktik ekonomi ekstraktif sekaligus tekanan pembangunan berbasis darat. Ancaman terutama kini mengintai keanekaragaman hayati laut Indonesia.
“Padahal Indonesia telah berkomitmen untuk melindungi 30 persen kawasan dan keanekaragaman hayati laut kita pada 2030,” jelasnya.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI Nasional Parid Ridwanuddin menyatakan, Indonesia saat ini mengalami ketidakadilan pada sektor kelautan dan perikanan. Hal ini terjadi karena ambisi ekonomi pertumbuhan melalui pengaturan tata ruang laut.
Studi yang dilakukan WALHI terhadap 28 Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia tidak adil karena hanya mengalokasikan ruang permukiman nelayan dan ekosistem mangrove seluas 53,712,81 hektar (ha). Berbanding terbalik dengan alokasi untuk proyek reklamasi dan pertambangan pasir laut seluas 3,590,883,22. Bukti tersebut hanya satu dari sekian banyak bukti lain yang sudah bermunculan sepanjang Joko Widodo berkuasa sebagai Presiden RI sejak 2014. WALHI juga sudah mengumpulkan catatan selama sepuluh tahun Joko Widodo menjadi Presiden.
Catatan pertama, tidak ada peraturan perundangan yang mengakui wilayah tangkap nelayan tradisional sebagai wilayah kelola rakyat. Akibatnya, perikanan skala kecil dan tradisional harus bersaing dengan pelaku usaha skala besar.
Kedua, ruang hidup masyarakat dan perempuan pesisir harus berhadapan dengan berbagai proyek pembangunan yang mengancam akan menggusur kampung-kampung nelayan dan perempuan nelayan yang berada di wilayah darat.
Ketiga, Pemerintah terus menerbitkan regulasi yang justru semakin melemahkan keberadaan masyarakat pesisir dan perempuan nelayan. Sebut saja, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), dan UU 3/2020 tentang Perubahan atas UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Kemudian, ada juga UU 3/2022 tentang Ibu Kota Negara, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur, serta PP 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Semua itu, bermuara pada upaya pemusnahan masyarakat pesisir dan perempuan nelayan.
Catatan keempat, persoalan tambahan yang harus dihadapi adalah krisis iklim yang berdampak buruk, mengingat semakin banyak nelayan di Indonesia harus meregang nyawa karena cuaca ekstrem saat sedang mencari ikan di laut.
Krisis iklim juga memicu tenggelamnya desa-desa di pesisir, seperti sudah terjadi di pantai barat Sumatera dan pantai utara Jawa, khususnya DKI Jakarta dan Jawa Tengah. Sayangnya, hingga kini Pemerintah tidak mengambil langkah apa pun untuk menangani persoalan ini.
Nasib nelayan juga semakin tak menentu, bahkan menjadi miskin karena iklim yang terus memburuk. Lebih dari 70 persen pendapatan nelayan menurun drastis karena laut semakin tidak bersahabat.
Lebih ironis, saat kemiskinan semakin meluas dan krisis iklim semakin menguat, perempuan nelayan justru harus semakin kuat. Mereka harus bisa menopang ekonomi keluarga, karena para lelaki yang berjuang menjadi nelayan semakin sulit mendapatkan penghasilan memadai.
Jika tidak ada penanganan oleh Pemerintah, pada 2030 nanti diperkirakan sejuta nelayan di Indonesia akan menghilang. Angka tersebut sifatnya hanya prediksi, karena bisa saja jumlahnya lebih banyak dari perkiraan.
Beragam penjelasan ini membuktikan bahwa ekonomi pertumbuhan yang menjadi dasar dari pembangunan berkelanjutan, terbukti menjadikan lautan dan masyarakat pesisir yang hidup di dekatnya semakin sekarat akibat akumulasi krisis yang dilanggengkan.
WALHI Nasional memiliki catatan seputar laut sebagai pusat ekonomi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tak hanya bagi Indonesia, laut sudah menjadi sumber pangan bagi lebih dari tujuh miliar manusia yang ada di bumi.
WALHI memaparkan bahwa laut sudah menjadi entitas yang penting, karena keberadaannya mencakup sepertiga dari planet bumi. Namun, akibat ambisi ekonomi pertumbuhan, lautan dunia terus mengalami eksploitasi dalam skala yang sangat besar.
Pembangunan yang tidak adil pada sektor kelautan dan perikanan, salah satunya dipicu oleh kuatnya hegemoni kapitalisme global yang sudah menguasai bisnis komoditas perikanan dan ekonomi kelautan.
Dalam buku “Ekonomi Pancasila Antitesis Ekonomi Biru: Sebuah Kajian Ekonomi Politik” yang ditulis Muhammad Karim dan Parid Ridwanuddin dan terbit 2024 ini mengungkap bahwa perikanan skala kecil dan atau tradisional terus mengalami penyusutan karena terpinggirkan, membuat mereka harus mengalami pengasingan yang kemudian mengakibatkan kehilangan hak akses dan kelola atas sumber daya kelautan.
Bukti bahwa perikanan skala kecil dan tradisional sudah semakin ke pinggir, adalah karena industri inti ekonomi kelautan saat ini dipegang oleh kegiatan minyak dan gas lepas pantai, peralatan dan konstruksi kelautan, boga bahari (seafood), pengiriman kontainer, pembuatan dan perbaikan kapal, serta wisata kapal pesiar
“Aktivitas kepelabuhanan dan energi angin lepas yang dikendalikan 10 perusahaan multinasional dengan total pendapatan rata-rata per tahun USD1,1 triliun,” demikian bunyi analisis fakta pertama.
Kedua, fakta bahwa perikanan skala kecil dan tradisional semakin susah, adalah karena saat ini ada 13 perusahaan transnasional mengendalikan bisnis seafood dunia dari Norwegia, Jepang, Thailand, Hong Kong, Spanyol, dan Amerika Serikat.
Semua perusahaan tersebut mengendalikan 11-16 persen hasil tangkapan laut yang setara dengan jumlah 9-13 juta ton. Jika dihitung nilai mata uang, jumlah tersebut bisa meraup pendapatan setara 18 persen dari total nilai produksi seafood global pada 2012 senilai USD252 miliar dan melonjak naik menjadi USD276 miliar pada 2018.
Fakta ketiga, ada 10 korporasi besar dari Cina, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Taiwan yang sudah menguasai penangkapan ikan di laut lepas, termasuk di perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) secara global. Para korporasi besar itu diketahui mengoperasikan alat penangkapan ikan (API) mayoritas pukat hela (trawl) dan sebagian rawai.
“Semua fakta ini sama sekali tak mengakomodasi kepentingan perikanan skala kecil bahkan mematikannya,” beber WALHI Nasional.
Kapitalisme yang terus mencengkeram kuat sektor kelautan dan perikanan di seluruh dunia tersebut, akan memicu munculnya ketidakadilan di laut dan bisa berujung pada tragedi komoditas (tragedy of commodities) perikanan.
Jika terus dibiarkan, maka deplesi sumber daya ikan (SDI) semakin parah dan tidak terbendung, kemiskinan juga akan meningkat, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) juga terus bertambah, dan nasib perempuan nelayan semakin tidak menentu, juga terpinggirkan.
Lebih ironis, atas nama pertumbuhan ekonomi, laut juga sudah diperlakukan sebagai tempat kompetitif bagi pelaku usaha skala besar dan perikanan skala kecil. Saat situasi seperti itu terjadi, berikutnya akan muncul aktivitas bernama perampasan laut atau ocean grabbing.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menanggapi pembahasan isu lingkungan hidup, khususnya sektor kelautan dan perikanan sebagai hal yang penting. Faktanya, karena sudah terjadi perubahan kebijakan di bidang pengelolaan sumber daya perikanan dan agraria di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Itu kian menjauhkan cita-cita kemakmuran rakyat mesti dikoreksi oleh calon presiden dan calon wakil presiden Republik Indonesia yang akan bertarung pada Pemilu 2024,” ungkap dia.
Perlunya dilakukan koreksi, karena ada sejumlah kebijakan yang sudah terlanjur diubah dan diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia. Misalnya, pelegalan kembali API cantrang oleh kapal ikan berukuran di atas 30 gros ton (GT).
Kapal berukuran tersebut beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan III Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI (WPPNRI) 712 yang meliputi perairan Laut Jawa, dan ZEE Indonesia (ZEEI) di WPPNRI 711 yang meliputi perairan Laut Natuna Utara.
Pengaturan tersebut dilakukan melalui Pasal 23 Ayat 4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI dan Laut Lepas.
Menurut Abdul Halim, diberlakukannya kebijakan ini berimplikasi terhadap maraknya praktik eksploitasi sumber daya ikan (SDI), kerusakan ekosistem laut (terumbu karang dan padang lamun), dan merebaknya konflik horisontal antar nelayan di laut.
Koreksi Regulasi
Selanjutnya, koreksi juga harus dilakukan siapa pun yang terpilih nanti menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI pada kebijakan ekspor pasir laut yang dibuka resmi oleh Pemerintah melalui PP 26/2023 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang yang Dilarang Ekspor dan Dilarang Impor.
“Kebijakan ekspor pasir laut ini memicu hilangnya wilayah tangkapan ikan (fishing ground) nelayan kecil dan nelayan tradisional, rusaknya ekosistem laut, dan abrasi di wilayah pesisir,” terangnya.
Koreksi berikutnya, kebijakan ekspor bening benih lobster (BBL) yang sudah disahkan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia.
Jika perubahan kebijakan ini dilakukan, maka stok benih lobster di dalam negeri yang sudah berstatus over-exploited akan mengalami kelangkaan, dikarenakan maraknya praktik eksploitasi penangkapan benih lobster secara besar-besaran di wilayah pengelolaan perikanan nasional.
Kebijakan ini juga berdampak pada menurunnya potensi pendapatan pembudi daya lobster yang berfokus pada usaha pembenihan dan pembesaran di dalam negeri. Hal ini dipicu oleh adanya kelangkaan benih lobster.
Terakhir, dibukanya kembali akses penangkapan ikan bagi kapal asing di WPPNRI melalui PP 11/2023, dan diperparah, dengan Pasal 19 ayat (3) PP 26/2023, di mana kapal pengangkut ikan asing dibolehkan untuk bongkar muat hasil tangkapan ikan di pelabuhan negara tujuan. Diyakini jika 2025 kebijakan PIT dilaksanakan, dipastikan praktik eksploitasi SDI Indonesia akan dilakukan secara besar-besaran oleh investor asing. Dikhawatirkan akan mengulang pelanggaran HAM kepada awak kapal perikanan (AKP).
Selain itu, dengan adanya izin kapal pengangkut ikan asing melakukan bongkar muat hasil tangkapan ikan di pelabuhan negara tujuan, dapat dipastikan hilirisasi sektor perikanan tidak akan pernah terjadi.
“Hilirisasi perikanan diatur di dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan,” tegasnya.
Selain sejumlah catatan tersebut Abdul Halim juga mengingatkan Pemerintah memberikan perlindungan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bersama masyarakatnya. Pasalnya, banyak terjadi praktik perampasan tanah untuk kepentingan pembangunan yang diskriminatif. Selain ruang hidup dan penghidupan akan tergusur, ekosistem di pesisir juga terancam semakin menyusut. “Ekosistem pesisir adalah sabuk hijau yang menjadi pelindung utama saat bencana laut terjadi,”tutupnya. (*)