Jaring Nusa sebuah konsorsium masyarakat sipil yang dideklarasikan pada 19 Agustus 2021 lalu mendesak pemerintah dalam menetapkan visi Indonesia Emas 2045 yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional RPJPN 2025 2045 memberi kepastian dan perlindungan Hak Masyarakat Pesisir dan Pulau Kecil.
Peryataan Jaring Nusa yang di dalamnya ada 18 lembaga dan 1 komunitas itu, tertuang dalam rilis yang diterima kabarpulau.co.id Minggu (10/9/2023). Dalam rilis itu mereka mendesak pemerintah memastikan hak warga di pesisir dan pulau kecil tidak terabaikan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
Bagi Jaring Nusa, Kawasan Timur Indonesia (KTI) misalnya, kaya akan sumber keanekaragaman hayati sangat tinggi. Sayangnya jika dilihat dari jumlah penduduk miskin berdasarkan rilis dari BPS tahun 2021 10% dari populasi Indonesia atau sekira 27,54 juta jiwa.
Fakta menunjukkan beberapa wilayah di Indonesia mempunyai tingkat kemiskinan tinggi ada di wilayah KTI yaitu provinsi Papua, Papua Barat, NTT dan Maluku.
Di sisi lain pemerintah telah menyelesaikan satu tahapan pembahasan RPJPN 2025-2045 dimana saat ini memasuki tahapan legislasi. “Visi Indonesia Emas 2045 adalah Negara Nusantara Berdaulat, Maju dan Berkelanjutan. Narasi di dalam dokumen draft RPJPN tersebut mengakui jika kontribusi masyarakat pesisir, laut dan pulaukecil telah mempraktikkan tradisi pengelolaan sumberdaya laut secara berkelanjutan. Ini menjadi modal berharga dalam memperkuat narasi Indonesia sebagai negara maritime,” tulis Jaring Nusa dalam rilisnya.
Dijelaskan, dalam RPJPN juga telah ditegaskan pengembangan dan pemanfataan kearifan lokal dan warisan budaya untuk mendorong produktivitas dan kesejahteraan. Selain itu pemberdayaan masyarakat hokum adat termasuk yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Studi Bappenas, diakui terdapat 3 hal potensi laut yang belum optimal. Pertama belum optimalnya pengelolaan Wilayah Pengelolaan Perikanan(WPP) dan perikanan budidaya. Belum berkembangnya diversifikasi industri yang memanfaatkan sumberdaya laut. Belum optimalnya tata kelola dan regulasi pemanfaatan ruang laut.
Namun yang aneh menurut Jaring Nusa semangat RPJPN masih mengutamakan hilirisaasi industry terutama dari sector pertambangan. Tentu ini sangat kontras dengan semangat mengedepankan kesejahteraan dan mempertahankan kearifan lokal yang terbukti telah memberikan manfaat ekonomi sekaligus ekologi di pesisir, laut dan pulau kecil.
“Ada banyak kasus di Kawasan Timur Indonesia merugikan masyarakat dan juga lingkungan akibat pengarusutamaan industry ekstraktif. Di Pulau Wawonii, masyarakat merasakan penderitaan akibat dari pertambangan nikel untuk memenuhi kepentingan industry mobil listrik. Di perairan Spermonde, warga pulau Kodingareng, Makassar dan pesisir Galesong, Takalar telah merasakan dampak industri tambang pasir laut yang menghancurkan wilayah tangkap dan menyebabkan abrasi semakin parah.
Hal serupa di Maluku Utara sebagai salah satu pusat hilirisasi nikel yang memporak porandakan pesisir dan pulau kecil. Ancaman yang sama juga dirasakan masyarakat di Pulau Sangihe yang terdampak ekspansi pertambangan emas,” tegas Jaring Nusa.
Semua itu akan mengancam eksistensi masyarakat, ekosistem laut hingga pulau kecil itu sendiri. Sebagai negara Kepulauan, Indonesia memiliki sumberdaya alam yang besar di sector laut yang perlu dilindungi dengan berbagai aturan dan tata kelola yang baik.
Asmar Exwar, Dinamisator Jaring Nusa menyoroti Visi Nusantara atau dalam penjabarannya di dalam RPJP 2025-2045 disebutkan visi maritime, namun belum secara konkrit menjabarkan pentingnya membangun prasyarat utama implementasi visi maritime yakni untuk memastikan adanya perlindungan dan pengakuan hak atas ruang hidup masyarakat pesisir pulau kecil sebagai subyek dari pada pembangunan.
“Hal lainnya menyangkut strategi pembangunan visi martim nusantara yang tertuang dalam draft RPJPN lebih mengedepankan Kawasan Timur Indonesia sebagai wilayah kepulauan penopang pembangunan dengan basis penyedia sumberdaya alam dimana hal ini akan menambah kerentanan dan rawan tereksploitasi,”sebut Asmar.
Bagi dia ini kontradiktif dengan kebutuhan terkait perlindungan wilayah kepulauan dan laut sebagai suatu ekosistem yang terintegrasi dan merupakan penopang kehidupan masyarakat, baik itu masyarakat lokal, tradisional dan masyarakat adat.
Senada Parid Ridwanuddin, juga dari Jaring Nusa yang merupakan pengkampanye Pesisir dan Laut WALHI memberikan tanggapan terhadap visi maritim 2045. Ia menegaskan RPJPN 2025-2045 akan kehilangan jangkar konstitusionalnya jika tidak memasuk kan pasal 33, UUD 1945 yang memandatkan negara menguasai sumberdaya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat pesisir.
Karena itu dia mendesak pemerintah untuk melakukan sejumlah hal dalam penyusunan RPJPN 2025-2045, yaitu: pertama, memastikan Pembangunan nasional tidak menempatkan laut sebagai ruang pertarungan antara yang kuat dengan yang lemah (mare liberum); kedua, menghindari penyusunan rencana pembangunan yang bias teknokratisme, dimana pengetahuan lokal dan tradisional yang dimiliki masyarakat pesisir tidak ditempatkan sebagai bagian penting dalam RPJPN 2025-2045; Ketiga, memastikan undang-undang keadilan iklim sebagai prioritas utama dalam RPJPN sebagai kerangka regulasi utama sekaligus mencabut beragam aturan yang akan melanggengkan kerusakan, seperti UU Cipta Kerja dan UU Minerba.
Parid menyerukan kepada pemerintah untuk serius dalam menyusun dan mengimplementasikan kebijakan tersebut di tengah situasi pesisir, laut dan pulau kecil yang semakin kritis seperti semakin cepatnya kenaikan temperature air laut. “Aneh pemerintah tidak punya sense of crisis. Di Lapangan terus diperluas berbagain proyek yang merusak pesisir, laut, dan pulau kecil. Dampaknya telah terlihat. Desa-desa pesisir semakin banyak yang tenggelam. Tahun 2045 lebih layak disebut sebagai Indonesia cemas, bukan Indonesia emas,” tegasnya.
Secara keseluruhan, Jaring Nusa menyoroti visi Indonesia Emas yang tertuang dalam RPJPN 2025-2045 khususnya terkait visi maritime kedalam 5 isu pokok yang penting dilakukan pemerintah yakni terkait perubahan iklim, kedaulatan pangan dan ekonomi lokal, konservasi pesisir dan perikanan berkelanjutan, Penataan Ruang Laut dan Rencana Zonasi Pesisir serta Pengelolaan Ruang Laut dan industry ekstraktif.
Terkait Kedaulatan Pangan dan Ekonomi Lokal masyarakat pesisir pulau kecil, Jaring Nusa mendesak pemerintah untuk:
- Memastikan dan mempersiapkan lumbung pangan yang berbasis produsen skala kecil di pesisir dan pulau kecil, saat terjadi ancaman bencana iklim
- Memastikan sumberdaya alam, terutama di pesisir, laut, dan pulau-pulaukecil, dapat diakses dan dimanfaatkan oleh masyarakat di pesisir pulau kecil
- Memastikan ketersediaan pasar dan rantai pasok pangan terjangkau oleh masyarakat pesisir dan pulau kecil.
- Mendesak pemerintah melindungi berbagai sumber ketersediaan bahan pokok di wilayah pesisir berbasis pangan lokal non-beras seperti sagu,dan lain sebagainya.
- Diversifikasi produk pangan dengan mendukung pangan local menjadi produk untuk meningkatkan nilai ekonomi masyarakat lokal.
Terkait dengan Konservasi Pesisir dan Perikanan Berkelanjutan di pesisir pulau kecil, organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaring Nusa mendesak pemerintah untuk:
- Pelibatan masyarakat pesisir dan nelayan kecil dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan perlindungan dan pemanfaatan wilayahnya.
- Mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk tidak hanya mengejar target angka luasan konservasi, tetapi mendorong pengelolaan kawasan konservasi yang efektif untuk melindungi ekosistem serta meningkatkan ekonomi masyarakat
- Penentuan kawasan konservasi harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang telah disepakati.
- Mendesak tata kelola perikanan skala kecil yang berkelanjutan berkeadilan dan berkearifan lokal
Terkait Penataan Ruang Laut dan Rencana Zonasi Pesisir serta Pengelolaan Ruang Laut, organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaring Nusa mendesak pemerintah untuk:
- Mengakui dan melindungi hak serta akses terhadap wilayah kelola laut oleh masyarakat adat, tradisional dan lokal.
- Melibatkan masyarakat adat, tradisional dan nelayan kecil untuk terlibat dalam perumusan, perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang laut.
- Mengakui dan melindungi hak wilayah kelola desa, masyarakat lokal, tradisional dan masyarakat adat di pesisir, laut serta pulau kecil
Terkait dengan konteks Perubahan Iklim, organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaring Nusa mendesak untuk:
- Kebijakan perlindungan terhadap wilayah pesisir laut dan pulau kecil menghormati, mengadopsi, mengakui, kearifan lokal di wilayah masing-masing.
- Memastikan keikutsertaan masyarakat pesisir laut dan pulau kecil dalam pengambilan kebijakan mengatasi dampak perubahan iklim. Seperti RTRW, RPJPN hingga keperencanaan perlindungan desa.
- Mengevaluasi dan menghentikan proyek-proyek yang membebani pesisir, laut dan pulaukecil.
- Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tidak akan terwujud tanpa ada koreksi dan menghentikan industry ekstraktif yang terbukti memperparah pesisir, laut dan pulau kecil.
- Melakukan evaluasi dan membatalkan peraturan perundang-undangan yang memperparah daya dukung lingkungan UU Ciptaker, Minerba, PIT, Sedimentasi Laut
- Menghentikan berbagai upaya dalam bentuk hilirisasi mengganti dengan ekonomi local berkeadilan dan berkelanjutan.
- Mempercepat lahirnya UU Keadilan Iklim
Terkait Industri Ekstraktif, organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaring Nusa mendesak untuk:
Menyerukan kepada Presiden dan Wakil Presiden RI mendatang untuk
Menghentikan penerbitan izin baru, mereview dan mencabut izin-izin pertambangan di pesisir, laut dan pulau kecil, termasuk pulau izin perkebunan skala besar di wilayah kepulauan.
- Menghentikan dan menertibkan penangkapan ikan skala besar
- Memulihkan, memberdayakan, menguatkan livelihood masyarakat, pesisir, laut dan pulau kecil
Anggota Jaring Nusa juga memberikan solidaritas dan dukungan untuk masyarakat pulau-pulau kecil yang sampai saat ini berjuang mempertahankan ruang hidupnya seperti masyarakat pulau Sangihe, pulau Kodingareng dan kepulauan Spermonde, Nelayan pulau Obi dan pulau kecil di Malut serta Maluku, masyarakat pulau Pari serta masyarakat pulau Rempang di Batam.
Atas dasar itu, Jaring Nusa mendesak Presiden Republik Indonesia segera memastikan perlindungan bagi Masyarakat yang hidup di pulau kecil serta menjadikan mereka sebagai tuan di tanah dan airnya sendiri.
Sekadar diketahui Jaring Nusa ersebar di pulau Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, Maluku Utara dan Maluku.
Anggota Jaring Nusa selama ini telah berperan aktif mendorong praktik baik dalam hal membangun dan memperkuat resiliensi komunitas. Beragam aksi konservasi mangrove dan penguatan ekonomi dilakukan, transplantasi terumbu karang serta menggerakkan model perikanan skala kecil pada kelompok nelayan. Penguatan aturan lokal/adat sebagai bagian tata kelola pesisir dan laut yang arif dan berkelanjutan, menggerakkan kelompok anak muda untuk mencintai pesisir dan laut dengan aksi-aksi konservasi dan edukasi. Mendorong pembentukan peraturan daerah terkait perlindungan wilayah pesisir serta ekosistem dan pengakuan masyarakat adat.
Organisasi Jaring Nusa yakni Yayasan EcoNusa, WALHI Nasional, WALHI Sulawesi Selatan, Yayasan Hutan Biru, Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia, Yayasan Bonebula, Yayasan PakaTiva, WALHI Maluku Utara, Moluccas Coastal Care, Tunas Bahari Maluku, Yayasan Tananua Flores, Yayasan Suara Nurani Minaesa, Komnas Desa Sultra, LPSDN NTB dan Japesda Gorontalo, YPR Sulteng, PGM Malaumkarta dan Jala Ina.(*)
CEO Kabar Pulau