Rabu (16/8/2023) pemerintah mengumumkan rencana investasi transisi energi yang dibiayai oleh skema Just Energy Transition Partnership (JETP). Skema ini adalah bentuk Kemitraan Transisi Energi Indonesia yang Adil melalui kesepakatan senilai 20 miliar dolar untuk mendekarbonisasi ekonomi bertenaga batu bara Indonesia, yang diluncurkan 15 November 2022 di KTT G20.
Seperti diketahui bersama, Indonesia menerima komitmen pendanaan sebesar Rp 310 triliun (USD 20 milyar) melalui JETP ini untuk mempercepat transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan
Karena rencana ini, 350.org Indonesia, sebagai organisasi lingkungan hidup di Indonesia yang telah melakukan serangkaian perjalanan melihat solusi energi terbarukan berbasis komunitas, menggelar diskusi online pada Selasa (15/8/2023) dengan menghadirkan beberapa pembicara, bersama para jurnalis membahas soal ini. Terutama berkaitan dengan pemanfaatan pendanaan ini untuk kelompok komunitas yang telah mengelola menyediakan energy terbarukan.
Pasalnya saat ini di tengah gegap gempita pemberitaan transisi energi, sebagian komunitas sudah mengelola dan menggunakan energi terbarukannya sendiri.
Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah akan diarahkan kemana investasi JETP ini ? Apakah akan diarahkan kepada pemodal besar dan mengabaikan kelompok komunitas yang sebenarnya telah mampu dan mengelola energy mereka?
Rencana investasi JETP ini akan menjadi cerminan keseriusan Pemerintah Indonesia dalam melakukan transisi energi. “Energi terbarukan berbasis komunitas adalah salah satu yang harus diperhatikan pemerintah untuk dikembangkan,” ujar Lathifah Hana Gusti, mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Indonesia, salah satu peserta ekspedisi 350.org untuk mendokumentasikan energi terbarukan di beberapa pelosok nusantara dalam diskusi online tersebut.
Menurut Hana, energi terbarukan berbasis komunitas bukan hanya ramah lingkungan namun juga murah sehingga dapat membangkitkan ekonomi masyarakat. Hal ini menjadi salah satu upaya dalam pemerataan listrik di Indonesia.
“Komunitas masyarakat di Gunung Sawur, Lumajang dan Kedungrong, Yogyakarta misalnya, telah merasakan manfaat energi terbarukan berbasis mikro hidro (PLTMH: Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro). Biaya listrik mereka maksimal hanya Rp.50 ribu/bulan dengan menggunakan PLTMH,” katanya.
Selain sebagai pemenuhan kebutuhan listrik sehari-hari, listrik tersebut juga dapat digunakan oleh para pelaku usaha untuk mengembangkan ekonomi masyarakat.
Masih dalam diskusi tersebut, Bhima Yudhistira, Ekonom dan Direktur Eksekutif CELIOS menyorot pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas ini dari perspektif ekonomi-politik.
Menurutnya, perlu ada perubahan paradigma dalam setiap desain transisi energi dimana komunitas menjadi episentrum dari pengembangan energi terbarukan.
Studi yang dilakukan CELIOS justru menunjukkan bahwa 56% masyarakat di sektor pertanian dan komunitas pedesaan lebih tertarik dengan penutupan PLTU batubara yang paralel dengan peningkatan energi terbarukan.
“Selama ini masalah transisi energi sering menjadi pembahasan yang tersentralisasi di perusahaan skala besar, dan keterkaitan dengan komunitas yang justru terdampak dari krisis iklim sering diabaikan. Padahal banyak tersedia opsi pendanaan yang bisa dikelola langsung oleh komunitas yang memiliki potensi energi bersih. Model pendanaan internasional seperti JETP setidaknya lebih diarahkan untuk mendanai transisi di level komunitas.” kata Bhima.
Sementara itu, Suriadi Darmoko Campaigner 350.org Indonesia mengaitkan pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas ini dengan JETP. Berdasarkan temuan awal dari ekspedisi 350 Indonesia, pendanaan JETP penting digunakan untuk mendanai pengembangan kapasitas baik teknis maupun manajemen pada komunitas yang sudah memiliki pembangkit energi terbarukan, reaktivasi pembangkit listrik energi terbarukan, peningkatan daya dan pengembangan jaringan ketenagalistrikan. Selain itu juga digunakan untuk membangun pembangkit baru untuk melistriki desa dan komunitas yang selama ini belum terlari listrik juga pembangkit baru di desa dan komunitas yang memiliki potensi energi terbarukan.
“Pendanaan hibah dari JETP kepada komunitas selain memperkuat kemandirian energi untuk memenuhi kebutuhan listriknya juga memungkinkan komunitas untuk melakukan transisi sumber listriknya yang berbasis energi fosil. Atau setidaknya mengurangi ketergantungan pada pembangkit listrik berbasis energi fosil. Pendanaan hibah JETP yang disalurkan ke komunitas akan berkontribusi langsung pada peningkatan bauran energi terbarukan dan pengurangan emisi di sektor ketenagalistrikan. Pada saat yang sama akan meningkatkan adaptasi komunitas terhadap krisis iklim,”katanya.
CEO Kabar Pulau