Kawasan konservasi dikuatirkan dimasuki kegiatan tambang. Banyaknya izin tambang yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi yang telah ditetapkan menjadi Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata (TNAL) di Kabupaten Halmahera Tengah itu. resisten dimasuki tambang.
Merujuk revisi RTRW Kabupaten Halmahera Tengah 2012 -2032 yang disampaikan Kepala Badan Perencanan Penelitian Pembangunan (Bappelitbang) Kabupaten Halmahera Tengah Salim Kamaluddin di Weda pada 20 Desember 2020 lalu, dijelaskan bahwa, dalam penentuan deliniasi kawasan industry teluk Weda sesuai usulan daerah luasnya mencapai 15.2005 hektar. Usulan daerah tersebut berada pada kelas kemampuan lahan tinggi, sedang dan rendah. Usulan tersebut juga berada di lahan hutan produksi seluas 11.596 hektar. Usulan deliniasi tersebut bersinggungan langsung dengan kawasan Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata. Tidak itu saja, berbatasan langsung juga dengan kawasan perlindungan bawahan atau hutan lindung yang akan memberikan dampak lingkungan dan ekosistem. “Usulan deliniasi itu juga bersinggungan langsung dengan kawasan transmigrasi di Halmahera Tengah,” tulis dokumen pemaparan revisi RTRW tersebut. Sekadar diketahui, kawasan transmigrasi merupakan daerah pertanian dan lumbung pangan di Halmahera Tengah.
Usulan tersebut, masuk dalam kawasan hutan produksi konversi 3167 hektar. Sementara untuk kawasan hutan produksi tetap ada 8431 hektar diusulkan masuk dalam deliniasi kawasan industri Teluk Weda.
Sekadar diketahui, kawasan hutan di Halmahera Tengah saat ini terdiri dari hutan lindung 33.765 hektar, Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata 16.036 hektar dan hutan produksi 158.220 hektar (dokumen revisi RTRW Halmahera Tengah). Halmahera Tengah juga merupakan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Di mana daerah dengan luas hutan di atas, ada 17 Izin Usaha Pertambangan (IUP). Banyaknya izin pertambagan di Halmahera Tengah ikut memantik hadirnya praktek pengkaplingan lahan hutan oleh masyarakat dengan harapan jika eksploitasi tambang masuk ke kawasan tersebut, mereka bisa jual ke perusahaan. Praktek ini ramai terjadi sejak mencuatnya kabar ada rencana penambahan dan perluasan kawasan eksploitasi.
Praktek ini terjadi di daerah yang berdekatan dengan kawasan industri tambang nikel yang beroperasi di daerah tersebut. Hasil penelusuran kabarpulau.co.id beberapa waktu lalu, menemukan ada praktek yang dilakukan secara berkelompok atau perorang naik ke hutan dan melakukan pengkaplingan. Hal ini ternyata sudah merambah mendekati kawasan konservasi.
Kawasan konservasi yang dikuatirkan terancam tambang saat ini adalah Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata (TNAL) di Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan.
Dua kawasan ini memang dikelilingi beberapa izin tambang. Hal ini dikuatirkan menggerus hutan yang kaya keanekaragaman hayati tersebut.
TNAL sendiri ada di Halmahera Tengah, Kota Tidore Kepulauan dan Halmahera Timur dengan luas 163. 300 hektar. Ditetapkan 18 Oktober 2004 lalu yang terdiri dari hutan lindung (91%), hutan produksi terbatas (5%), dan hutan produksi tetap (4%). Kawasan ini terbagi jadi dua blok, yaitu Aketajawe (77.100 hektar) dan Lolobata (90.200 hektar).
Beberapa polisi kehutanan yang melakukan patroli di dalam kawasan baik di Halmahera Tengah maupun di Kota Tidore Kepulauan menemukan adanya kapling lahan di kawasan konservasi. “Yang kami temukan ada yang sudah menandai pohon dalam kawasan taman nasional menggunakan cat. Lahan di mana pohon yang ditandai mungkin jadi penanda nanti dijual ke perusahaan tambang,” kata salah satu polisi kehutanan yang mengaku pernah berpatroli dalam Kawasan TNAL.
Di Kota Tidore kepulauan juga saat ini ada satu izin tambang emas. Kawasan ekspolarasi tambang ini berada tidak jauh dari TNAL.
Di Halmahera Tengah kawasan konservasinya berbatasan langsung dengan beberapa izin tambang. Sesuai temuan polisi kehutanan, juga ada penandaan pohon menggunakan cat dilakukan orang tidak dikenal. Penandaan pohon ini adalah bagian dari pengkaplingan yang dilakukan agar nanti bisa dijual ke pemilik izin perusahaan tambang.
“Saat dilakukan patroli banyak ditemukan penandaan pohon di tengah hutan ada yang mengecat warna merah di batang pohon maupun hijau,” tambah anggota Polhut yang meminta namanya tidak ditulis itu.
Keluhan ancaman terhadap kawasan konservasi ini disuarakan juga oleh Kepala Balai Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata (TNAL) T Heri Wibowo saat menjadi pembicara dalam symposium Peran Anak Muda Menyelamatkan Keanekaragaman Hayati Maluku Utara dalam agenda pameran foto satwa liar oleh beberapa komunitas dan LSM di Sofifi Senin (15/6/2021) lalu.
Heri mengaku persoalan yang sama juga sudah disuarakan saat menjadi pemateri diskusi di Universitas Khairun Ternate beberapa waktu lalu yang juga membahas soal pertambangan di Maluku Utara. Waktu itu, dia turut suarakan hal ini di hadapan Kepala Dinas Pertambangan Provinsi Maluku Utara. Waktu itu dia menyampaikan kepada Kepala Dinas ESDM Malut bahwa ada beberapa izin tambang yang mengelilingi kawasan taman nasional. Saat ini ada pihak yang memanfaatkan dengan masuk dalam kawasan dan menandai pohon di dalam taman nasional. Dia kuatirkan ada pencamplokan orang tidak bertanggung jawab dan dijual ke perusahaan tambang. Dia bilang lagi, masyarakat tidak terlalu memahami dan tahu secara persis kawasan yang masuk ke dalam taman nasional atau bukan. Karena itu pihak taman nasional hanya memberikan imbauan kawasan taman nasional dan bukan. Jika masyarakat paham meskipun pohon dan batas kawasan itu dibuat tanda, tidak bisa dijual karena itu kawasan taman nasional yang tidak bisa dimasuki. “Untuk mengubah fungsi pengelolaan itu tidak mudah,” katanya kepada kabarpulau.co,id di Sofifi Juni lalu. Soal ini juga, bahkan pernah duduk bersama PT IWIP yang saat ini mengeksploitasi tambang nikel di Halmahera Tengah.
Lantas sampai saat ini apakah perusahaan sudah mencaplok sampai dalam kawasan?
Dia bilang perusahaan beli lahan yang dikapling warga memang belum memasuki kawasan TNAL, tetapi hanya di HPK dan HPT. Meski begitu, kekuatiran memasuki kawasan konservasi tetap disuarakan. Pihaknya menyarankan perusahaan memikirkan pemberdayaan warga karena jika lahan lahan warga terus dijual akan habis. Dia meminta perlu memerangi praktek menjual lahan yang nanti menyengsarakan masyarakat. “Jual lahanya hanya pakai kwitansi ini masyarakat tidak sadari,” katanya.
Diakui juga, saat ini perusahaan belum sampai mengeksploitasi masuk kawasan konservasi sesuai hasil patroli yang dilakukan Polhut. Dia bilang lagi pengkaplingan itu sebenarnya karena mereka tidak tahu jika lahan yang dipatok itu kawasan TNAL. Jika mereka tahu Kawasan TNAL itu susah diubah peruntukannya maka akan sadar juga.
Masalah yang sama turut disuarakan Heri di hadapan Sekretaris Daerah Maluku Utara Syamsudin A Kadir, para akademisi dan LSM yang diundang hadir dalam seminar baru baru ini di Sofifi. Heri sempat menyampaikan ancaman tambang terhadap kawasan konservasi terutama taman nasional yang dipimpinnnya. Dia bilang, di sekitar taman nasional banyak izin tambang. Hal ini tidak menutup kemungkinan ikut mengancam kondisi taman nasional, jika eksploitasnya tidak diperhatikan.
Dia menyebutkan, ada eksplorasi dan eksploitasi membuat banyak pihak masuk dan melakukan pengkaplingan wilayah taman nasional. “Hal ini perlu diwaspadai,” katanya. (*)
CEO Kabar Pulau