Butuh Perlindungan Serius Berbagai Pihak
Di seluruh dunia, keragaman hayati semakin cepat musnah. Meski demikian, persebaran keragaman hayati maupun ancamannya tidak merata. Karena itu organisasi konservasi perlu memusatkan kegiatan mereka pada tempat- tempat yang paling penting dan paling terancam punah. Salah satu caranya dengan melakukan identifikasi hotspot. Ini menjadi salah satu cara paling efektif menentukan prioritas pelaksanaan kegiatan konservasi di tempat yang paling membutuhkan perhatian.
Salah satu wilayah di Maluku Utara yang masuk kawasan terancam itu adalah Teluk Buli di Kabupaten Halmahera Timur. Kawasan ini berdasarkan hasil riset yang dilakukan yayasan Studi Etnolgi Masyarakat Nelayan Kecil (SEMANK), menemukan keragaman hayatinya terancam. Kurangnya aksi-aksi konservasi di tingkat lokal serta pertumbuhan populasi penduduk yang makin pesat menyebabkan pemanfaatan sumber daya yang tidak terkontrol.
Helmi Manager Program Yayasan SEMANK menjelaskan, aktivitas itu menyebabkan rusaknya ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Penangkapan ikan menggunakan bom, obat bius, penangkapan ikan dengan menggunakan jaring di areal terumbu karang dan tambatan perahu serta pengambilan batu karang sebagai bahan bangunan.
“Aktivitas-aktivitas ini terus berjalan dan tanpa kendali.Bila dibiarkan akan berakibat pada degradasi ekosistem yang lebih luas dan pada satu saat akan menyebabkan hilangnya spesies utama, termasuk ancaman dari aberasi dan risiko banjir bagi pemukiman sekitar sepadan sungai dan pesisir semakin nyata,” jelasnya. Selain aktifitas masyarakat, investasi ekstraktif di daerah teluk Buli ini juga ternyata menjadi momok tersendiri bagi keanekaragaman hayati di daerah ini. “Realitas ini kemudian mendapat perhatian kami untuk berbuat dalam aksi nyata penyelamatan lingkungan bersama masyarakat di Desa Gotowasi,” jelasnya.
Desa Gotowasi sendiri adalah salah satu desa di Kecamatan Maba Selatan Kabupateb Halmahera Timur. Desa ini adalah desa pesisir yang masyarakatnya dominan berprofesi sebagai petani sebanyak 50%, nelayan sebanyak 40% dan sisa 10% beragam profesi lainnya dengan jumlah KK sebanyak 334.Secara geogerafis desa ini sebagian besar berada dalam kawasan ekosistem mangrove. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Maba Selatan termasuk wilayah Desa Gotowasi ini adalah kawasan yang telah direncanakan Pemerintah Kabupaten Haltim sebagai zona konservasi, perikanan skala kecil dan kegiatan pariwisata. “Desa Gotowasi adalah salah satu desa yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati, seperti terumbu karang, hutan mangrove dan padang lamun. Dalam catatan Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) dan Burung Indonesia, teluk Buli merupakan salah satu daerah penting bagi keragaman hayati (Key Biodiversity Areas/KBA).
Berdasarkan data tersebut satu lokasi ditetapkan sebagai KBA jika diduga memiliki populasi spesies terancam punah secara global, populasi spesies endemic yang signifikan secara global, atau spesies yang sangat tergantung pada konservasi daerah tersebut.
“Sudah 7 bulan kami melaksanakan pendampingan di desa ini, terhitung sejak Juni 2017 Tujuan kita membangun kesadaran bersama semua komponen masyarakat termasuk pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam aksi pelestarian ekosistem pesisir dan laut,” jelas Helmi
Dijelaskan, dalam kurun waktu 7 bulan SEMANK telah melaksanakan base line data, pelatihan Konservasi Ekosistem Pesisir dan Laut, Pelatihan Pembibitan dan Penanaman Mangrove, serta studi ekologi ekosistem. Hasil studinya kita seminarkan dalam bentuk seminar kampung pada 5 Januari 2018 di kantor desa Gotowasi. Seminar kampung ini menghadirkan seluruh warga desa Gotowasi termasuk siswa-siswi Madrasah Aliyah, MTs, dan SD di desa Gotowasi bersama unsur pemerintah
Sementara untuk hasil studi ekologi yang dilakukan mendapatkan fakta bahwa di daerah Gotowasi terdapat 12 genera terumbu karang, sebanyak 9 famili dengan 18 jenis mangrove dan lamun sebanyak 2 famili dengan 12 jenis. Sementara data Kementerian KKP jenis lamun yang terdapat di Indonesia sebanyak 12 jenis dan 12 jenis itu semuanya terdapat di desa Gotowasi. Beberapa spesies ditemukan kritis dan prioritas juga di temukan di kawasan ini seperti penyu hijau (Chelonia mydas), duyong (dugong dugon), Akar Bahar, Ikan Napoleon, Teripang (mentimun laut), Kima (T.gigas) dan beberapa burung yg hidup di kawasan Mangrove seperti burung pantai. Keberadaan ekosistem ini berada di daratan/pesisir dan beberapa pulau disekitarnya. Luas hutan mangrove di Gotowasi dan sekitarnya sebesar 1.830 hektar.
Sepanjang pesisir Desa Gotowasi sampai Waci merupakan habitat bertelur penyu, lokasi bertelur penyu betina di Desa Gotowasi antara lain di Tanjung Tapalo. Musim bertelur adalah bulan April sampai Juni atau Juli. Jumlah betina yang bertelur antara 1-2 ekor/malam sampai 5-6 ekor/malam. Hasil temuan juga masyarakat Desa Tewil (tetangga Desa Gotowasi) tidak hanya mengambil telur penyu, tetapi mereka juga menangkap penyu untuk diambil daging dan telur yang masih ada di dalam perutnya (dikonsumsi), sedangkan kulit dan tempurung untuk aksesoris.
Sementara di Pulau Plun, di sebelah timur Gotowasi yang tidak berpenghuni, telah dijadikan tempat tujuan wisata dengan gazebo-gazebonya. Sebenarnya pulau itu merupakan habitat bagi penyu untuk bertelur. Pada malam hari saat musim bertelur, sekitar 5-7 ekor penyu mendatangi Pulau Plun untuk bertelur. Masyarakat mengambil telur di pulau tersebut untuk dijual atau dikonsumsi sendiri. Pulau Lelewi, yang terletak di sebelah timur Pulau Plun dan berhadapan dengan lautan Pasifik, juga menjadi habitat penyu untuk bertelur. Masyarakat Buli biasanya menangkap penyu untuk diambil daging maupun telurnya.
Dugong merupakan mamalia laut yang biasa merumput di padang lamun. Biota ini pernah terlihat di padang lamun Tanjung Tapalo. Namun masyarakat desa tidak terbiasa mengkonsumsi daging dugong karena bentuk tubuhnya yang besar dan menakutkan menurut mereka.
Pada kesempatan seminar ini, kepala dinas pariwisata Haltim bapak Hardi Musa menyampaikan bahwa pemda melalui dinas pariwisata akan meneyerahkan aset pemda yang ada di pulau Plun kepada pemerintah desa Gotowasi untuk selanjutnya dikelola oleh desa melalui kelompok Bumdes.
Anggota DPRD Haltim Bahri Hayun menyarankan agar desain pariwisata di tanjung Tapalo dan pulau Plun harus ada kerja sama antara Dinas Pariwisata Haltim, Pemerintah Desa Gotowasi dan Yayasan SEMANK. Senada Asisten II Setda Haltim Jai Mandar mendesak agar ada Perdes yang mengatur tentang pengelolaan dan pelestarian ekosistim pesisir dan laut. Sementara Kepala Desa Gotowasi sangat berharap agar perencanaan pengelolaan pelestarian pesisir dan laut harus masuk dalam RPJMDes sehingga ke depan lebih fokus dalam aksi pelestarian lingkungan.
Dalam seminar kampung itu menghasilkan salah satu kesepakatan penting yaitu kesepakatan mendasain Daerah Perlindungan Laut (DPL) sebagai salah satu upaya menjaga kelestarian sumberdaya perairan terutama ekosistem terumbu karang dan lamun yang pengelolaan dan pemanfaatannya diatur dalam PERDES tentang DPL. Pelaksanaanya secara partisipatif masyarakat diharapkan program ini bisa menyentuh masyarakat bawah. Salah satu partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DPL adalah menetapkan kawasan DPL di Desa Gotowasi. “DPL ini perlu diproteksi dan dipantau dalam perkembangannya, sehingga dapat dijadikan indikator keberhasilan program DPL sebagai acuan dalam penetapan kebijakan program itu. Diharapkan kelak DPL ini dapat dipantau dan dimonitoring masyarakat .(ici)
CEO Kabar Pulau