Catatan dari Sekolah Transformasi Sosial (STS) di Desa Samo Halmahera Selatan
Desa harus benar– benar mandiri. Mampu menghidupi warganya. Baik pangan maupun energi. Desa juga harus menjadi basis berbagai program pembangunan yang dijalankan pemerintah. Bahwa kemandirian desa bukan sebuah nyanyian atau slogan. Bukan nyanyi kepiluan untuk orang kampong. Dia adalah pengejawantahan kerja kerja riil yang dilakukan dan dirasakan warga kampong.
Hal ini menjadi tema besar yang diusung dalam Sekolah Transformasi Sosial (STS) yang di gelar di Desa Samo Kecamatan Gane Barat Utara, Halmahera Selatan 7 hingga 22 November lalu. Kegiatan ini diikuti kepala desa dan perangkatnya serta petani dari enam desa di Halmahera Selatan.
Kegiatan penting ini digelar oleh Yayasan EcoNusa yang merupakan rangkaian kegiatan School of Eco Involvment (SEI) yang dibuat di lima region di tanah Papua dan Kepulauan Maluku.
Diawali dengan pelatihan bagi kepala desa dan aparatur pemerintah desa selama dua hari. Kegiatan ini bertujuan berbagi informasi tentang bagaimana mengenal masalah dan potensi di desa. Kemudian bagaimana merancang dan merencanakan pembangunan di desa. Tidak itu saja melalui pelatihan ini pemerintah desa mengetahui dan mampu membangun system informasi desa. Hal ini sangat urgen dan menetukan dalam sebuah perencanaan desa.
Untuk pelatihan petani, mereka dilatih dari menyiapkan benih, menyemai, mengolah tanah, menanam, mengenal hama dan penyakitnya. Tidak itu saja, peserta STS juga dilatih membuat, menggunakan pupuk dan pestisida organik. Selain itu melakukan praktek membangun alat pengering kelapa dan cengkih serta fasilitas biogas. Fasilitas biogas ini dibangun untuk menghasilkan energi alterntif melalui kotoran sapi. Semua fasilitas contoh ini potensinya berasal dari desa. Sapi yang saat ini menjadi masalah di desa Samo sebagai hama tanaman petani diharapkan mampu teratasi jika program biogas ini berjalan.
Ada empat pelatih didatangkan yayasan EcoNusa dari Insist Jogjakarta untuk belajar bersama. Yakni Ahmad Mahmudi, R Efendy Syarif, Zamzaini dan Tarmo. Sementara peserta pelatihan berjumlah 30 orang dari Desa Gane Dalam Gane Barat Selatan, Gane Luar Gane Timur Selatan, Samo, Posi-posi, Gumira di Gane Barat Utara, serta Desa Pasir Putih Kecamatan Kayoa.
Ahmad Mahmudi dari Insist Jogjakarta dalam pemaparan STS hari pertama menyampaikan banyak hal tentang strategi membangun desa mandiri.
Mahmudi yang sudah berulang kali riset di Maluku dan Papua sejak 90 an itu, memaparkan beberapa fakta tentang kondisi desa yang menurutnya tidak satupun mandiri pangan dan energy.
Dia juga bilang, di sisi lain eksploitasi sumberdaya alam desa oleh berbagai industri terutama tambang dan perkebunan besar terus dilakukan yang menghabiskan hutan dan lahan. Ini banyak terjadi di Timur Indonesia. “Kedaulatan itu tidak sekadar ucapan. Perlu membangun kedaulatan atas sumber daya yang dimiliki desa terutama hutannya. Tidak berdaulatnya warga atas sumberdaya alam itu banyak contoh riil telah diperlihatkan. Misalnya bebeberapa titik hutan di Papua dan Maluku sudah masuk lampu merah dan kuning. Ini sangat penting dijaga,” katanya.
Dia bilang, memang banyak cara menjaga sumberdaya tetapi apa yang akan diberikan Insist ini berbeda dari biasanya. Insist punya cara sendiri mengajak warga menjaga kedaulatan sumberdaya yang dimilikinya. Ini setelah banyak belajar dan riset dari berbagai pengalaman selama ini. “Saya terjun dan belajar di kegitan desa untuk penelitian dan pengembangan sudah hamper 25 tahun. Sejak 90 an belajar dan meneliti bersama Pak Roem Topatimasang, Adi Sasono sampai Profesor Dawam Raharjo,”kisahnya.
Mahmudi bercerita, 1990 belajar tentang desa dan dengan melihat apa yang dilakukan dunia luar. Karena itu dia ke luar negeri belajar pada petani di luar negeri. “1992 di Indonesia terlalu banyak larangan untuk belajar. Karena itu saya ke Jerman termasuk belajar bagaimana metodenya. Lebih dari 40 negara saya kunjungi tetapi tidak temukan kekayaanya seperti di Indonesia. Indonesia cukup kaya tetapi pemimpinnya tidak punya kredibilitas dan kemampuan mengelola negerinya yang kaya ini secara benar. Mestinya kekayaan yang dimiliki semua rakyatnya sejahtera. Kenyataannya tidak,” imbuhnya.
Dia bilang lagi, hasil kunjungan dan belajar ke berbagai Negara seperti Jerman Belanda Korea dan Jepang itu, menemukan ada ancaman serius dihadapi Indonesia dalam keberlanjutan kehidupan. Hal ini karena sumber daya alam mulai menurun jumlah dan kualitasnya. Tidak itu saja akses sumberdaya juga terbatas. Kondisi seperti ini sangat berbahaya. Misalnya ada sumber air tetapi tercemar seiring masuknya investasi. Yang paling serius adalah ancaman terhadap pangan. Dulu ada lebih dari 100 varietas padi local sekarang tinggal 3 saja. Kondisi yang sama juga terjadi pada komoditas pangan lain. Misalnya sagu sudah mulai berkurang. Dulu sagu jadi pagan utama, sekarang hanya jadi pelengkap. Populasi atau kuantitasnya juga menurun.
Di Indonesia tak ada desa tangguh semua dalam ancaman. Ancamannya beragam sementara kehidupan terus berlangsung. Karena itu tema sntralnya adalah bagaimana membangun desa tangguh. Tentu dengan membangun pemahaman sampai ke Undang undang desa.
Untuk jadi desa tangguh, harus memiliki tiga kuasa desa. Yakni pertama adalah kuasa atas kepemilikan. Meski desa sudah memiliki asset belum tentu memiliki asset itu. Karena itu desa harus punya kuasa kelola atas sumberdaya desa. Yakni kuasa mengelola atas asset desa yang dimiliki. Banyak desa di Indonesia terutama di wilayah tengah dan timur sistim adatnya kuat, tetapi tak memiliki kuasa kelola atas asetnya.Desa-desanya memiliki sumberdaya yang luar biasa. Hanya tidak memiliki kuasa atas pengelolaan sumberdaya itu. Tidak ada pengetahuan sementara teknologi yang menopang. Akhirnya kuasa kelolanya menjadi sangat lemah. Ketiga kuasa kemanfaatan.
“Saya pernah ke NTT dan menemukan hal yang sama. Desa punya tanah ulayat sejauh mata memandang tapi tidak ada kuasa kelola. Karena itu maka ketika salah satu perusahaan otomotif Jepang sedang mengembangkan mesin diesel generasi ketiga karena ada peraturan internasional yang melarang penggunaan bahan bakar yang mencemari atau tidak bisa menggunakan enegeri fosil. Maka dibuatkan energi nabati. Di Jepang tidak ada tanah yang luas. Mitsubishi sedang bersaing dengan perusahaan mobil di dunia. Karena Jepang tak punya tanah luas maka melihat lahan di Timor NTT melalui pemerintah pusat, maka menanam jarak pagar untuk memproduksi bio solar yang bahannya dari jarak atau jatropa kukas. Masyarakat di sana jadi buruh untuk tanam. Jepang mengambil ribuan hektar tanah ulayat kemudian masyarakat di NTT menjadi buruh untuk menanam. Artinya jika petani sudah jadi buruh untuk menghasilkan minyak akan menjadi milik Mitsubishi.
Cara membacanya adalah masyarakat punya kuasa milik atas tanah tetapi tak punya kuasa kelola. Karena orang Jepang tak mengganti kepemilikan. Yang diambil adalah kuasa kelolanya. Akhirnya kuasa manfaatnya juga oleh perusahaan. Akhirnya desa-desa yang ada di NTT itu kehilangan dua kuasa itu. “Masyarakat kehilangan kuasa meski secara adat tanah itu tidak diambil. Ini bukan masyarakat tangguh. Jika Tri kuasa ini tidak ada,” katanya. Miliki, kelola dan manfaat.
Memiliki saja tidak cukup apalagi mengolah dan memanfaatkan. Indonesia begitu kaya, maka negara global melirik Indonesia. Banyak perusahaan multi nasional datang. Karena itu sangat perlu menata ruang kelola sumber kehidupan masyarakat desa. Jika dibiarkan masyarakat menjadi rentan. Sekecil apa pun perlu harus ada tri kuasa. Jangan sampai tak punya hak kelola dan hak kuasa. “Ancaman ada di sekitar kita. Ini prinsip pertama. Bagaimana melaksnakan pembangunan agar desa menjadi tangguh.
Lalu apa yang harus kita selamatkan dari desa kita masing-masing. Yang perlu dilakukan adalah menyelamatkan ruang kehidupan dan menata sumber-sumber penghidupan. Yang kemudian menghasilkan masyarakat yang tangguh. Kalau diam saja maka lama lama –lama akan menjadi masyarakat yang rentan.Gejalanya sudah banyak dan itu ada di Indonesia Timur termasuk Maluku Utara.
Sekecil apapun harus memikirkan Tri Kuasa ini. Jangan sampai hanya bangga desa punya tanah yang luas tetapi tidak punya kuasa kelola dan kuasa manfaat. Ancaman ada di sekitar kita. Ini prinsip pertama. Lalu pendekatanya seperti apa membangun desa tangguh itu. Yang pertama yang harus dibangun adalah yang material yang kedua membangun yang non material atau fisik.Fisik dan material itu untuk kebutuhan hidup dan meningkatkan martabat masyarakat desa. Memenuhi kebutuhan hidup itu tentu dengan pangan.
Mohammad Hatta tokoh proklamator pernah mengingatkan sejak dini kalau suatu masyarakat isi perutnya tergantung pada asing maka Negara itu tidak bermartabat. Isi perut berhubungan dengan martabat. Siapa yang mengisi perutmu adalah tuanmu. Jika disuapin orang lain harga diri akan jatuh. Kita akan menjadi hamba dari mereka yang mengisk perut kita. “Jepang tidak punya tanah. Tetapi tidak mau import pangan dari luar. Di seluruh Jepang tidak import bahkan kebijakan pangan anti import pangan. Air papan sandang pendidikan kesehtan pekerjaan dan lingkungan,” cecarnya. (bersambung)
CEO Kabar Pulau