Ini Poin- poinnya
Ini kabar baik bagi warga Maluku Utara yang saat ini sedang berjuang membebaskan daerahnya dari industry perkebunan sawit. Pasalnya, saat ini sedang digodok inpres yang mengatur tentang moratorium perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Seperti dilansir )Mongabay.co.id http://www.mongabay.co.id/2018/01/25/moratorium-sawit-segera-terbit-berikut-poin-poin-draf-inpresnya/)
Setelah hampir dua tahun—sejak April 2016– rencana pemerintah keluarkan aturan tunda sementara (moratorium) izin sawit digodok, bakal keluar dalam waktu dekat ini. Dalam rancangan kebijakan itu dikatakan, Instruksi Presiden soal penundaan perizinan kebun sawit paling lama tiga tahun. Berbagai kalangan berikan tanggapan.
Dari draf dokumen yang diperoleh Mongabay, aturan berjudul Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit ini sudah disetujui dan ditandatangani Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian per 22 Desember 2017. Sebelumnya, draf ini sudah melalui Pramono Anung, Sekretaris Kabinet pada 6 November 2017. (Draf Inpres Moratorium Sawit Desember 2017)
Inpres ini dengan tujuan kepada kementerian (lembaga), hingga kepala daerah (gubernur, bupati/walikota). Adapun kementerian dan lembaga itu antara lain Menko Perekonomian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan Menteri Dalam Negeri.
Penundaan dan evaluasi perkebunan sawit serta peningkatan produktivitas kebun sawit ada di bawah koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian. Untuk pelaksanaan, akan ada tim kerja bentukan Menko Perekonomian.
”Inti arah dari Bapak Presiden adalah perizinan lahan sawit, hilirisasi dan peremajaan tanaman sawit,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di sela Rapat Koordinasi Nasional Hutan Adat di Jakarta, Selasa (23/1/18).
Inpres ini, katanya, menitikberatkan kesejahteraan rakyat dan pembenahan perizinan yang ada. Siti mengatakan, sekitar 4 juta hektar perkebunan sawit milik rakyat memiliki produktivitas rendah.
”Sehabis inpres keluar, tak ada izin baru. Izin-izin yang sudah keluar atau sedang proses dari KLHK untuk pelepasan dilakukan dalam kaitan sudah jadi HGU (hak guna usaha-red) atau belum. Setelah jadi HGU, seperti apa, juga akan dievaluasi,” katanya.
Soal evaluasi izin, katanya, antara lain terhadap usaha-usaha sawit yang sudah berizin tetapi belum ada kegiatan, perubahan penggunaan tanah dan perubahan komoditas dari pengajuan awal.
Kelengkapan perizinan yang sedang berproses pun akan ditelaah, baik terkait tata ruang, sampai budidaya. “Apakah hutan yang diajukan bisa dikonversi? Termasuk perizinan yang sama sekali belum ada usulan izin pelepasan kawasan hutan. ”Itu dipertimbangkan, diperketat dan hati-hati.”
Begitu juga terhadap izin sedang proses apabila masih mempunyai hutan produktif, maka hutan tidak akan dilepaskan.
Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menyambut baik substansi draf inpres ini, meski ada beberapa catatan.
Menurut dia, aturan ini memberikan bentuk baru pengelolaan dan perbaikan demi kelestarian ekologi dengan mengembalikan kawasan hutan yang terlanjur jadi perkebunan sawit llegal.
Teguh berharap, temuan dari evaluasi dan pengawasan terhadap perkebunan sawit ini dapat ditindaklanjuti melalui penegakan hukum.
Selain itu, katanya, dalam proses verifikasi perlu memperhatikan indikator sosial, misal, soal free, prior and informed consent (FPIC), konflik masyarakat dan konsultasi publik atau penolakan warga.
Namun, organisasi masyarakat sipil menggarisbawahi soal periode masa moratorium. ”Kami mendesak inpres ini seharusnya berbasis kriteria dan indikator capaian, bukan berbatas waktu,” kata Mardi Minangsari, pegiat Kaoem Telapak.
Indikator capaian yang dimaksud Mardi, seperti terkait tata kelola berkelanjutan, kepastian hukum, penurunan emisi dan lain-lain.
Siti beranggapan, kalau evaluasi berjalan lancar, waktu tiga tahun sudah cukup untuk moratorium. ”Saya malah bilang dua tahun cukup, moratorium tidak ada izin baru, jika evaluasi menyebutkan sawit bagus, peremajaan oke dan lain-lain,” katanya.
Greenpeace Indonesia juga menyambut baik Inpres moratorium izin perkebunan sawit ini. Meskipun begitu, dalam siaran pers, Greenpeace menekankan dua hal penting perlu ada dalam kebijakan ini.
Pertama, harus ada evaluasi izin yang sudah keluar. Ratri Kusumohartono, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, seharusnya pemerintah evaluasi bukan hanya perizinan yang berproses, juga yang sudah diberikan.
“Izin yang bermasalah harus dicabut, dan kawasan hutan harus dilindungi,” katanya.
Evaluasi izin, katanya, seharusnya bisa membantu pemerintah dalam merealisasikan kebijakan Satu Peta. Satu Peta, kata Ratri, sangat penting sebagai efek gentar mencegah pembukaan hutan dan lahan gambut ilegal.
Dengan Satu Peta, titik api yang kerap di wilayah perkebunan sawit, bisa mudah diketahui. Pemerintahpun, katanya, bisa segera menegur dan memberikan sanksi bagi pelanggar aturan.
Kedua, inpres seharusnya mengatur tak hanya perizinan perkebunan di kawasan hutan, juga areal penggunaan lain (APL), termasuk kawasan pangan. “Ini penting karena makin marak kawasan pangan dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit.”
Berbagai penelitian, katanya, menyebutkan, beberapa tahun belakangan makin banyak lahan sawah jadi perkebunan sawit terutama di Sumatera dan Kalimantan
Dia contohkan, di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Dalam periode 2006-2014, konversi lahan sawah jadi perkebunan sawit mencapai 15.616 hektar. Awalnya, perubahan itu terjadi seiring program satu juta hektar lahan sawit tahun 2000.