Sabtu (17/12/2023) siang sekira pukul 12.30 WIT itu terasa menyengat. Suasana Suaka Paruh Bengkok (SPB) di kawasan Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata (TNAL) Desa Koli Oba Kota Tidore Kepulauan Maluku Utara itu juga, terlihat hanya ada 3 pengunjung. Mereka adalah karyawan sebuah perusahaan tambang yang datang selain berwisata juga menyerahkan seekor kakatua jambul kuning (cacatua alba) ke suaka ini.
Sekadar diketahui, SPB ini adalah satu-satunya di Indonesia Timur dan setiap saat menerima burung hasil sitaan maupun yang diserahkan warga secara sadar untuk dirawat dan dikembalikan sifat liarnya. Jika sudah layak, lepas ke alam.
Di kantor SPB ini terlihat sepi, selain karena dokter hewan yang bertugas sedang cuti, beberapa petugasnya juga sedang libur. Saya bersama 20 rombongan trip jurnalistik pelatihan Pengarustamaan Isyu Keanekaragaman Hayati oleh The Society Indonesian Enviromental Journalist (SIEJ) Indonesia simpul Maluku Utara yang datang ke SPB ini hanya bertemu Jamal Adam. Dia adalah animal keeper atau penjaga satwa di SPB ini.
Dia bilang ada 5 petugas di sini. Kordinator SPB, dokter hewan, animal keeper dan petugas keberasihan serta keamanan. Mereka bekerja menjaga serta merawat burung yang ada agar tetap hidup dan bisa dikembalikan habitat aslinya.
Sebagai animal keeper dia ikut membantu dokter merawat dan memberi makan burung- burung pagi, siang sore hingga malam jelang tidur.
Jamal sempat menjelaskan tugasnya di SPB dan penanganan burung-burung tersebut. Dia juga jelaskan satu persatu kandang yang disiapkan untuk burung yang masuk.
Dari kandang karantina/observasi, kandang rehabilitasi, kandang edukasi juga kandang ekosistem. Total ada 10 unit dan ukurannya bervariasi. Paling kecil adalah kandang ICU, dan paling besar kandang ekosistem. Memiliki fungsi masing-masing ketika ditempatkan burung.
Dia bilang, ketika burung masuk ke SPB langsung ke kandang karantina. Selanjutnya kandang rehabilitasi. Dari situ dibuat perbandingan. Jika selama 6 bulan sudah layak akan dilepas. Tergantung karakter burung tersebut.
Untuk yang sudah tidak bisa lepasliar lagi karena alami kecacatan tubuhnya dimasukan ke kandang edukasi, berfungsi menampung burung yang sudah tidak bisa dikembalikan lagi ke alam liar. Terutama yang patah kaki maupun sayap. Sementara kandang ekosistem ditempatan burung yang sifat liarnya hilang karena bisa berbicara. “Burung burung ini sudah tidak bisa mencari makan sendiri, alami cacat tetap jadi satwa untuk pendidikan,”katanya.
Saat rombongan mengunjungi SPB itu ada 25 ekor paruh bengkok ikut dirawat dan dilatih untuk dilepasliarkan. Ada 4 ekor kakatua jambul kuning, 4 ekor kakatua putih, 2 ekor kakatua Maluku 2 ekor nuri bayan, 5 ekor kalung ungu, 2 ekor nuri Maluku 1 ekor nuri kepala hitam, dan 5 ekor kasturi Ternate.
Lalu sejak kapan Jamal yang tidak punya latarbelakang pengetahuan konservasi bergabung dan ikut merawat burung- burung ini?
Awalnya tidak memiliki pengetahuan khusus tentang burung atau kehidupan liar lainnya. Namun karena kecintaannya dia jalankan tugas dengan penuh dedikasi.
Dari 2019 hingga saat ini sudah ada 100 ekor paruh bengkok berhasil dirawat dan dilepliarkan ke alam. Jamal yang hanya seorang petani di Desa Koli sambil jalan belajar dengan memahami langsung kondisi burung yang ada.
Kecintaanya dalam dunia konservasi burung diawali saat bergabung sebagai Masyarakat Mitra Polhut (MMP). Selain sebagai petani juga melakukan kegiatan MMP. Salah satu tugasnya mengkampanyekan masalah lingkungan hidup terutama isyu konservasi kepada masyarakat desa dan siswa sekolah.
“Ini menjadi modal termasuk menjadi guide tamu atau pengunjung taman nasional,” katanya. Setelah itu ketika dibangun SPB ini dia ikut direkrut menjadi animal keeper.
Karena setiap hari merawat burung-burung ini, dia mengaku merasa sangat dekat. Ketika burung berbeda dari biasanya dan butuh apa perlakuan sudah sangat dipahami. “Misalnya burung mendapatkan ancaman dari satwa lain atau sakit, dari suara teriakan kita sudah paham dan segera memberi pertolongan,” katanya. Begitu juga ketika burung sakit, gerak geriknya sudah bisa diberi pertolongan seperti apa. Keberadaan burung- burung dan proses perawatan untuk dikembalikan sifatnya liarnya butuh waktu berbeda beda. Tergantung kondisi burung itu berapa lama dipelihara. “Bisa cepat bisa juga lama. Ada yang bisa setahun ada juga bisa beberapa bulan. Jika burung itu jinak atau sudah sangat dekat dengan manusia untuk direhabilitasi butuh waktu yang lama.
Merawat dan memelihara burung itu juga butuh biaya. Untuk merawat 24 ekor burung butuh anggaran setiap pekannya Rp550 ribu untuk penyediaan pakan dan lainnya. Artinya sebulan butuh Rp2,2 juta. Makanan yang diberikan juga bervariasi jangan sampai burung- burung itu jenuh dan tidak mau makan. Kadang dikasih buah papaya, jagung hingga semangka dan pisang. “Jika hanya satu jenis makanan, burung itu juga alami sakit. Kalau dikasih pisang terus burung mengalami diare. Itu hasil amatan dan kajian kita,” katanya. Beda dengan karakter aslinya di hutan, burung jadi dokter bagi dirinya sendiri. Dia akan makan sesuai kesukaanya di hutan. Berbeda burung yang dikurung dalam kandang pilihan makanannya terbatas. Karena itu harus ada varasi makanan.
Dia bilang lagi burung- burung itu ketika datang atau masuk ke suaka semua tidak bisa disatukan dalam satu kandang tetapi dipisah. Mana yang sakit, mana yang sehat, yang bisa terbang dan tidak bisa terbang.
Perawatan burung ini kata dia bisa medis dan non medis. Jadi tidak semuanya perawatan secara medis, saling mengisi. Umpamanya dokter lakukan perlakuan berdasarkan penelitian di Jawa, di sini beda lagi karena beda iklim. Untuk medis ketika burung baru datang disuntik dan diberi pengobatan tetapi non medis dikasih gula merah atau air kelapa muda. Ini semua adalah proses belajar.
Lalu apa suka dukanya bekerja merawat burung-burung ini? Dia bilang yang agak sulit itu mau mengembalikan sifat liar dari burung burung tersebut. Sebab rata-rata burung peliharaan yang masuk sudah berbicara bahkan ada seperti manusia.
Salah satu cara yang dilakukan mengurangi interaksi dengan burung tersebut. Atau juga menyiramnya dengan air jika burung berusaha mendekat ke manusia. Tujuannya mengagetkan dan mengembalikan sifat liarnya.
Masa-masa sulit mereka hadapi kala Covid- 19 2021 2022 dua tahun lalu. Kala itu akses ke luar juga sulit. Akhirnya mereka memberikan pengobatan berdasarkan pengetahuan lokal yang dimiliki. Yakni menggunakan air kelapa muda dan gula aren.
Dengan pemberian air kelapa muda akhirnya puluhan ekor burung bisa pulih. “Waktu itu ada burung yang masuk ke SPB dapat serangan virus sehingga dokter ikut menyuntikkan anti virus tetapi ternyata ikut mengancam keselamatan burung. Saat itu ada 10 ekor burung mati. Karena akses keluar susah akhirnya harus melakukan upaya lain,” katanya.
Jamal yang dulu sebagai petani dan kerja serabutan, akhirnya menyadari mengabdikan hidup untuk konservasi itu tidak mudah. Harus penuh kesabaran dari hati.
Dari kerjaya sudah ratusan ekor paruh bengkok dirawat dan dikembalikan ke alam liar. “Yang endemic Halmahera dikembalikan ke hutan dia biasa hidup. Dari luar Maluku Utara dikembalikan ke daerah asal selanjutnya dilepasliarkan,” katanya.
Pekerjaan Jamal bagi sebagian orang mungkin dianggap sepele. Tetapi dari ketekunannya burung-burung yang nyaris mati maupun sudah hilang sifat liarnya mampu terselamatkan. Dikembalikan ke habitat aslinya sehingga bisa tetap disaksikan hidup bebas di alam liar.
CEO Kabar Pulau