Home / Lingkungan Hidup

Rabu, 17 Juni 2020 - 01:09 WIT

Kondisi Lingkungan Maluku Utara Butuh Perhatian

Kondisi mangrove yang terancam industri tambang nikel di Tanjung Obolie Pulau Gebe

Kondisi mangrove yang terancam industri tambang nikel di Tanjung Obolie Pulau Gebe

Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni 2020 ini mengambil  tema  “Time For Nature” yang mengajak  penduduk dunia menyadari bahwa makanan yang dimakan, air yang diminum, dan ruang hidup di planet yang ditinggali adalah sebaik-baiknya manfaat dari alam (nature) sehingga harus dijaga kelestariannya. Sayangnya apa yang didengungkan ini  berbanding terbalik dengan kondisi  saat ini.  Di Provinsi Maluku Utara khususnya, misalnya belum beranjak baik. Persoalan deforestasi  dan industri ekstraktif,  masih massive terjadi.

Beberapa lembaga di Maluku Utara yang selama ini concern  menyuarakan isyu lingkungan ini angkat bicara  terkait persoalan ini.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara misalnya, melihat problem lingkungan hidup di Maluku Utara tidak menjadi isu strategis yang dapat dijadikan pertimbangan mendasar dalam pengambilan kebijakan. Pertimbangannya lebih dominan berkaitan dengan ekonomi dan politik. Karena itu jangan heran probelem kerusakan lingkungan, termasuk hilangnya hak masyarakat adat atas ruang hidupnya,  dari dulu sampai sekarang tidak terselesaikan.

Data BPS 2018 misalnya ada 216 Desa di Malut tercemar air limbah pertambangan, belum lagi air tanah, udara dan baku mutu air laut dalam kondisi kritis. Juga ada sebagian besar Daerah Aliran Sungai (DAS) Kepulauan  yang dilaporkan dalam keadaan kritis akibat kegiatan eksploitasi tambang di bagian hulu. Belum lagi  makin terbatasnya akses  dan ruang hidup masyarakat. “Ini masalah dari dulu, cuma dibiarkan pemerintah. Pemerintah tidak serius menyentuh soal ini. Industri pertambangan yang masuk juga  makin massive , apalagi dengan pengesahan hasil revisi UU Minerba yang tidak lagi mewajibkan hilirisasi industri tambang, dipastikan akan menjadi pintu masuk bagi pemegang IUP   kembali melakukan kegiatan ekploitasi. Akibatnya deforestasi juga akan makin massif. Dengan demikian keseimbangan alam terganggu, bencana pun akan datang,” kata Ketua AMAN Malut Munadi Kilkoda.

Menurutnya, keseimbangan alam yang terganggu ikut mempengaruhi semua sektor termasuk pangan. Padahal dalam kondisi pandemi dan krisis ekonomi seperti ini, rakyat tidak butuh nikel atau emas untuk bertahan hidup.  “Yang kita butuh adalah sagu  dan pangan local laiannya. Karena itu yang harus diubah pertama mindset kekuasaan. Yang berkuasa hari ini harusnya mereka ikut juga bertanggung jawab menjaga keseimbangan alam Maluku Utara untuk 100 tahun ke depan dalam rangka menjaga kelangsungan hidup generasi baru,” ujarnya. Menurutnya,  dalam konteks kebijakan ada celah di dokumen RTRW, karena itu pemerintah harus memastikan industri yang basisnya pada hutan dan lahan tidak diberikan keleluasaan  menguasai separuh dari luas wilayah Maluku Utara. “ Kami mengusulkan  pemerintah  membuat  road map rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sehingga arah kebijakan berpedoman pada kepentingan lingkungan hidup,”usulnya.

Dia menambahkan, penegakan hukum dalam kasus lingkungan hidup juga sangat lemah. Ini yang mestinya publik ikut  bicara.

Munadi  ikut mengutip kritikan  dan peringatan keras Sultan Tidore Husain Sjah kepada Gubernur Maluku Utara soal  pandemic dan  perhatian gubernur      merevisi  izin izin tambang di Maluku Utara  baru baru ini.

Menurut Munadi,  surat  Sultan   yang menyoroti penanganan  dan pencegahan virus corona atau covid19  dan meminta  Gubernur  melakukan evaluasi kembali atas IUP/Pertambangan dan usaha usaha pertambangan yang merusak lingkungan itu adalah contoh konkrit kenyataan saat ini. Menurutnya, Sultan sudah  menyampaikan bahwa alam dan lingkungan di Maluku Utara adalah milik sah rakyat Maluku Utara, yang diwariskan  leluhur semenjak ribuan tahun  lalu. Bukan  milik  pengusaha pertambangan  itu.

“Ingat, rakyat Maluku Utara adalah saudara kandung dari Gubernur. Tak boleh membiarkan mereka menderita dan terzalimi di Tanah  Tumpah  Darah  sendiri. Jangan biarkan alam  rusak dan binasa oleh pemilik modal yang tak punya nurani. Saya sangat berharap semoga Gubernur tak berkompromi dengan cara-cara mereka,”ujarnya  mengutip surat elektronik sultan  28 April lalu itu.

Sultan juga waktu itu meminta pemerintah daerah melalui Gubernur   mewariskan kepada anak cucu alam yang Indah dan permai, sebagaimana para leluhur wariskan generasi saat ini.   Walaupun mereka hidup dalam kesederhanaan tapi  bangga dengan kehidupannya yang bersahaja dan punya harga diri 

Baca Juga  WALHI Malut Kirim Pesan untuk Sidang COP

Sementara    bagi Walhi Maluku Utara,   adanya Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Coronavirus Disease dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Skala Besar, yang dikeluarkan   Presiden Jokowi tampaknya tak berlaku bagi sektor padat modal  seperti pertambangan dan industri  berbasis lahan skala korporat. Bahkan di saat Pemerintah mengumumkan pemberlakuan  situasi yang disebut “normal baru”, adalah sebuah ekspresi daripada kegamangan penanganan pandemi.

Dalam kegamangan penanganan pandemi saat ini persoalannya adalah orang-orang yang sulit mengakses sarana pangan dan kesehatan terbelit situasi di mana kekhawatiran akan kekurangan pasokan makanan lebih menyiksa daripada terinfeksi virus mutan baru.  Ini sifat alamiah peradaban manusia. Inisiatif untuk mencukupi kebutuhan pokok itu pun mengandung risiko selain karena ancaman sebaran virus juga “polisi pikiran” bertebaran di mana-mana dan terkendali. Senantiasa mengawasi.

Di Indonesia  Pemerintah mendorong percepatan pembangunan industri bahan baku baterai lithium yang akan mendukung pengembangan kendaraan listrik sesuai   peta jalan industri otomotif nasional dan program prioritas Making Indonesia.

Sector pertambangan ini, sejak pemerintah RI di bawah rezim kabinet kerja menggeser struktur ekspor dari sebelumnya berbasis komoditas menjadi manufaktur sebagai reaksi atas perubahan tren pasar  global, diterbitkanlah UU Minerba no 4/2009 yang mengatur soal pembaruan definisi dan status perizinan usaha pertambangan; larangan ekspor bahan mentah; serta mewajibkan semua industri pertambangan mendirikan pabrik pengolahan serupa smelter. Masalah lingkungan pun terus berlanjut dari dampaknya.

Semula kebijakan itu berpengaruh pada berkurangnya jumlah IUP di Maluku Utara. Dari 313 IUP menjadi 96 IUP-3 Kontrak Karya pada 2020 saat ini. Namun tak ada korelasinya dengan penurunan laju eksploitasi mineral atau SDA dan penguasaan ruang darat maupun laut di pulau-pulau kecil. Bahkan saat ini level degradasi lingkungsn dan land grabbing semakin parah karena besaran izin konsesi pertambangan dan smelting yang terintegrasi dengan komponen infrastruktur pertambangannya seperti PLTU batubara pun lokasi penampungan limbah.

Pada 2020 total konsesi pertambangan di Maluku Utara seluas 614.881,17 Ha atau 19,835 persen dari luas daratan 3,1 juta Ha yang tersebar di seluruh pelosok kabpupaten/kota dengan status perizinan sudah pada tahap operasi produksi. Sangat miris, besaran alokasi ruang tersebut tak sinergi dengan RZWP3K No. 2/2018 Maluku Utara karena mengalami tumpang tindih dalam konteks rezim pemanfaatan ruang.

“Ketidakberesan tata ruang di Maluku Utara ini bisa kita lihat dari perilaku birokrasi Pemerintah Daerah sendiri yang terus memberikan izin polusi kepada para pencemar laut kita. Misanya Harita Group melalui 2 anak perusahaanya di Pulau Obi yang izin polusinya tetap didorong oleh pemerintah sekalipun lokasi dumping dan Zona of Initial Dilution/Mixing Zone tidak sesuai dengan RZWP3K Provinsi Maluku Utara (PP No, 32/2019) dan harus ditolak jika akan tetap dipaksakan untuk disesuaikan dengann cara diakomodir dalam Perda No. 2/2018,” kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Maluku Utara Yudi Rasyid.

 Padahal katanya, perairan laut Indonesia telah terbagi habis sebagai Wilayah Pengelola Perikanan (WPP) di mana untuk Pulau Obi sendiri masuk WPNRI 715 (PERMEN KKP No. 18/2014 dan masuk sebagai daerah sensitive perijinan penempatan tailing laut (Permen LHK No. 12 2018). Hal ini mengindikasikan bahwasannya produk kebijakan dari Negara yang dikelola oleh para oligarki cenderung tunduk pada kuasa korporasi di mana segala hal perlu diadaptasi sekalipun berdampak bagi kesehatan lingkungan dan biota, dan manusia

Karena masalah ini Walhi Malut memberikan masukkan bagi Pemerintah Daerah dan DPRD agar melakukan review kembali perizinan sector  usaha yang berdaya rusak massif dan tengah menuai konflik dengan masyarakat di lingkar  konsesi. Pemerintah Kabupaten Kota perlu meninjau kembali jenis-jenis perizinan berbasis lahan yang tumpang tindih di wilayahnya dan tak sesuai dengan RTRW di daerah yang didasarkan pada kajian lingkungan hidup strategis.  Mendesak Pemerintah Provinsi untuk mengevaluasi izin pertambangan dan industry berbasis lahan maupun timber yang menuai konflik dengan masyarakat di sekitar dan di dalam hutan; Merespon krisis energy, krisis pangan, dan krisis iklim, dengan memfasilitasi akuisisi lahan konsesi korporasi pertambangan, perkebunan monokultur, dan timber, yang dihasilkan secara tidak sah dari masyarakat, untuki kemudian diberikan untuk dikelola oleh masyarakat dalam bentuk lahan subsisten untuk meminimalisir tingkat kerentanan.

Baca Juga  Mangrove Makin Terancam, Butuh Pelibatan Masyarakat

Jika hal ini tidak dapat dilakukan maka, Respons strategis untuk itu perlu disodorkan yakni Pengorganisasian skala lingkungan. Awasi balik militer dan polisi keluar dari lingkungan kita dengan membentuk pasukan pertahanan dan patroli (serupa siskamling). Menekankan keselamatan masyarakat dan bantuan timbal balik, berhadapan dan melawan langsung kebijakan rasis. Promosi rasa kedaulatan lingkungan. Menolak  melaporkan tetangga dan saling membantu. Mempertahankan bisnis kecil dan infrastruktur komunitas, mengusir industri yang mengeksploitasi tanah dan tenaga kerja di sekitarnya, dan pembangkangan, boikot, serta pendudukan ambil alih kendali perusahaan.

Melokalisir Demokrasi

Pemogokan bayar sewa, pemogokan utang. Karena kapital  tidak membutuhkan tenaga kerja kita, sebagaimana pemerintah yang membayar orang untuk tidak bekerja dalam Revolusi Industri Keempat ke depan. Kita hanya dibutuhkan sebagai konsumen. Jika kita berhenti membayar sewa dan hutang, dan memboikot ekonomi kapital dengan menyediakan kebutuhan kita sendiri secara langsung berbasis tanah, maka kita memiliki kekuatan kolektif untuk menjatuhkan sistem ekonomi kapital saat ini.

Bagaimana pun katanya tak bisa dipungkiri, bahwa jutaan orang telah kehilangan pekerjaan saat ini. Orang-orang akan melihat bahwa ekonomi uang ternyata tidak melayani mereka, dan terbuka peluang bagi komunitas di manapun  kembali menghidupkan ekonomi lokal yang tidak bergantung pada uang dan ekonomi global. “Pelajari keterampilan praktis yang mendukung kesejahteraan lingkungan. Produksi makanan, pemeliharaan dan perbaikan, kerajinan, demokrasi langsung, budaya dan seni lokal, serta pengobatan alternatif plus penyembuhan ,” imbaunya.

Sorotan yang sama juga disuarakan Konsorsium Advokasi Tambang (Katam) Maluku Utara. Lembaga yang banyak menyoroti  kebijakan pertambangan di Maluku Utara itu melihat ada dua persoalan lingkungan yang perlu diseriusi.  Khusus di sektor pertambangan yang perlu mendapat perhatian adalah dampak  limbah tambang.

Ketua KATAM Malut Muhlis Ibrahim  meyampaikan  bahwa  limbah tambang adalah ancaman masa depan bagi provinsi Maluku Utara. Pembangunan pabrik sebagai suatu konsekwensi dari kegiatan pertambangan akan memberikan konstribusi terbesar bagi kerusakan lingkungan di daerah ini. Puluhan ribu ton slak (limbah nickel) nanti akan diproduksi  pabrik nickel. Hal ini tentu menjadi ancaman tersendiri. Belum lagi muncul kegiatan tambang emas yang dikelola secara tradisional oleh masyarakat di wilayah Halmahera Selatan.  

“Kekuatiran kami, jika sistem pengelolaan dan pemurnian menggunakan merkuri atau raksa (hg) akan sangat membahayakan keberlangsungan lingkungan hidup di sektirnya. Disamping itu, UU nomor 11 tahun 2017 tentang pengesahan “minamata convension on mercury” dengan tegas sudah melarang hal ini,”jelasnya.

Menurut Muhlis, ada tiga proyek rekomendasi pemerintah yang masuk daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) merupakan proyek smelter terbaru. Lokasi ketiga proyek  itu ada di Maluku Utara   dan  investornya  berasal dari China.  

Kedua katanya,   ancaman  polusi udara. Hal ini tidak bisa dianggap remeh. Pengalaman telah menunjukan  bahwa persoalan polusi sangat rumit untuk diselesaikan.  Hal ini terjadi di hampir semua daerah di mana beroperasi industri pertambangan.

Polusi udara dari asap dan debu yang bersumber dari smelter perlu diawasi secara ketat. Apalagi sampai detik ini publik masih sangat latah dengan teknologi yang dipakai industri pertambangan yang beroperasi di Maluku Utara saat ini.  “Dua persolan ini perlu dikaji lebih dalam lagi. Jika publik abai dengan hal ini,  kita tinggal menunggu kehancuran,” katanya.

Share :

Baca Juga

Kabar Kampung

Bokimoruru Aset Kawasan Lindung Geologi di Halmahera

Lingkungan Hidup

Mari Saksikan Konser Hutan Merdeka

Lingkungan Hidup

Selamatkan Hutan Tropis Papua, Maluku dan Malut

Lingkungan Hidup

Jaga Pantai dan Laut Ternate dengan Mangrove

Kabar Kampung

KTH Woda Oba Tidore Kepulauan Kirim Damar ke Surabaya

Kabar Malut

Soal Sungai Sagea, Ini Hasil dari Tim Udara dan Darat

Lingkungan Hidup

 Ini Urgensinya Energi Bersih dan Terbarukan  

Lingkungan Hidup

Penemuan Lebah pluto di Halmahera Jadi Perbincangan Ilmuan Dunia