Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni 2020 ini mengambil tema “Time For Nature” yang mengajak penduduk dunia menyadari bahwa makanan yang dimakan, air yang diminum, dan ruang hidup di planet yang ditinggali adalah sebaik-baiknya manfaat dari alam (nature) sehingga harus dijaga kelestariannya. Sayangnya apa yang didengungkan ini berbanding terbalik dengan kondisi saat ini. Di Provinsi Maluku Utara khususnya, misalnya belum beranjak baik. Persoalan deforestasi dan industri ekstraktif, masih massive terjadi.
Beberapa lembaga di Maluku Utara yang selama ini concern menyuarakan isyu lingkungan ini angkat bicara terkait persoalan ini.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara misalnya, melihat problem lingkungan hidup di Maluku Utara tidak menjadi isu strategis yang dapat dijadikan pertimbangan mendasar dalam pengambilan kebijakan. Pertimbangannya lebih dominan berkaitan dengan ekonomi dan politik. Karena itu jangan heran probelem kerusakan lingkungan, termasuk hilangnya hak masyarakat adat atas ruang hidupnya, dari dulu sampai sekarang tidak terselesaikan.
Data BPS 2018 misalnya ada 216 Desa di Malut tercemar air limbah pertambangan, belum lagi air tanah, udara dan baku mutu air laut dalam kondisi kritis. Juga ada sebagian besar Daerah Aliran Sungai (DAS) Kepulauan yang dilaporkan dalam keadaan kritis akibat kegiatan eksploitasi tambang di bagian hulu. Belum lagi makin terbatasnya akses dan ruang hidup masyarakat. “Ini masalah dari dulu, cuma dibiarkan pemerintah. Pemerintah tidak serius menyentuh soal ini. Industri pertambangan yang masuk juga makin massive , apalagi dengan pengesahan hasil revisi UU Minerba yang tidak lagi mewajibkan hilirisasi industri tambang, dipastikan akan menjadi pintu masuk bagi pemegang IUP kembali melakukan kegiatan ekploitasi. Akibatnya deforestasi juga akan makin massif. Dengan demikian keseimbangan alam terganggu, bencana pun akan datang,” kata Ketua AMAN Malut Munadi Kilkoda.
Menurutnya, keseimbangan alam yang terganggu ikut mempengaruhi semua sektor termasuk pangan. Padahal dalam kondisi pandemi dan krisis ekonomi seperti ini, rakyat tidak butuh nikel atau emas untuk bertahan hidup. “Yang kita butuh adalah sagu dan pangan local laiannya. Karena itu yang harus diubah pertama mindset kekuasaan. Yang berkuasa hari ini harusnya mereka ikut juga bertanggung jawab menjaga keseimbangan alam Maluku Utara untuk 100 tahun ke depan dalam rangka menjaga kelangsungan hidup generasi baru,” ujarnya. Menurutnya, dalam konteks kebijakan ada celah di dokumen RTRW, karena itu pemerintah harus memastikan industri yang basisnya pada hutan dan lahan tidak diberikan keleluasaan menguasai separuh dari luas wilayah Maluku Utara. “ Kami mengusulkan pemerintah membuat road map rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sehingga arah kebijakan berpedoman pada kepentingan lingkungan hidup,”usulnya.
Dia menambahkan, penegakan hukum dalam kasus lingkungan hidup juga sangat lemah. Ini yang mestinya publik ikut bicara.
Munadi ikut mengutip kritikan dan peringatan keras Sultan Tidore Husain Sjah kepada Gubernur Maluku Utara soal pandemic dan perhatian gubernur merevisi izin izin tambang di Maluku Utara baru baru ini.
Menurut Munadi, surat Sultan yang menyoroti penanganan dan pencegahan virus corona atau covid19 dan meminta Gubernur melakukan evaluasi kembali atas IUP/Pertambangan dan usaha usaha pertambangan yang merusak lingkungan itu adalah contoh konkrit kenyataan saat ini. Menurutnya, Sultan sudah menyampaikan bahwa alam dan lingkungan di Maluku Utara adalah milik sah rakyat Maluku Utara, yang diwariskan leluhur semenjak ribuan tahun lalu. Bukan milik pengusaha pertambangan itu.
“Ingat, rakyat Maluku Utara adalah saudara kandung dari Gubernur. Tak boleh membiarkan mereka menderita dan terzalimi di Tanah Tumpah Darah sendiri. Jangan biarkan alam rusak dan binasa oleh pemilik modal yang tak punya nurani. Saya sangat berharap semoga Gubernur tak berkompromi dengan cara-cara mereka,”ujarnya mengutip surat elektronik sultan 28 April lalu itu.
Sultan juga waktu itu meminta pemerintah daerah melalui Gubernur mewariskan kepada anak cucu alam yang Indah dan permai, sebagaimana para leluhur wariskan generasi saat ini. Walaupun mereka hidup dalam kesederhanaan tapi bangga dengan kehidupannya yang bersahaja dan punya harga diri
Sementara bagi Walhi Maluku Utara, adanya Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Coronavirus Disease dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Skala Besar, yang dikeluarkan Presiden Jokowi tampaknya tak berlaku bagi sektor padat modal seperti pertambangan dan industri berbasis lahan skala korporat. Bahkan di saat Pemerintah mengumumkan pemberlakuan situasi yang disebut “normal baru”, adalah sebuah ekspresi daripada kegamangan penanganan pandemi.
Dalam kegamangan penanganan pandemi saat ini persoalannya adalah orang-orang yang sulit mengakses sarana pangan dan kesehatan terbelit situasi di mana kekhawatiran akan kekurangan pasokan makanan lebih menyiksa daripada terinfeksi virus mutan baru. Ini sifat alamiah peradaban manusia. Inisiatif untuk mencukupi kebutuhan pokok itu pun mengandung risiko selain karena ancaman sebaran virus juga “polisi pikiran” bertebaran di mana-mana dan terkendali. Senantiasa mengawasi.
Di Indonesia Pemerintah mendorong percepatan pembangunan industri bahan baku baterai lithium yang akan mendukung pengembangan kendaraan listrik sesuai peta jalan industri otomotif nasional dan program prioritas Making Indonesia.
Sector pertambangan ini, sejak pemerintah RI di bawah rezim kabinet kerja menggeser struktur ekspor dari sebelumnya berbasis komoditas menjadi manufaktur sebagai reaksi atas perubahan tren pasar global, diterbitkanlah UU Minerba no 4/2009 yang mengatur soal pembaruan definisi dan status perizinan usaha pertambangan; larangan ekspor bahan mentah; serta mewajibkan semua industri pertambangan mendirikan pabrik pengolahan serupa smelter. Masalah lingkungan pun terus berlanjut dari dampaknya.
Semula kebijakan itu berpengaruh pada berkurangnya jumlah IUP di Maluku Utara. Dari 313 IUP menjadi 96 IUP-3 Kontrak Karya pada 2020 saat ini. Namun tak ada korelasinya dengan penurunan laju eksploitasi mineral atau SDA dan penguasaan ruang darat maupun laut di pulau-pulau kecil. Bahkan saat ini level degradasi lingkungsn dan land grabbing semakin parah karena besaran izin konsesi pertambangan dan smelting yang terintegrasi dengan komponen infrastruktur pertambangannya seperti PLTU batubara pun lokasi penampungan limbah.
Pada 2020 total konsesi pertambangan di Maluku Utara seluas 614.881,17 Ha atau 19,835 persen dari luas daratan 3,1 juta Ha yang tersebar di seluruh pelosok kabpupaten/kota dengan status perizinan sudah pada tahap operasi produksi. Sangat miris, besaran alokasi ruang tersebut tak sinergi dengan RZWP3K No. 2/2018 Maluku Utara karena mengalami tumpang tindih dalam konteks rezim pemanfaatan ruang.
“Ketidakberesan tata ruang di Maluku Utara ini bisa kita lihat dari perilaku birokrasi Pemerintah Daerah sendiri yang terus memberikan izin polusi kepada para pencemar laut kita. Misanya Harita Group melalui 2 anak perusahaanya di Pulau Obi yang izin polusinya tetap didorong oleh pemerintah sekalipun lokasi dumping dan Zona of Initial Dilution/Mixing Zone tidak sesuai dengan RZWP3K Provinsi Maluku Utara (PP No, 32/2019) dan harus ditolak jika akan tetap dipaksakan untuk disesuaikan dengann cara diakomodir dalam Perda No. 2/2018,” kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Maluku Utara Yudi Rasyid.
Padahal katanya, perairan laut Indonesia telah terbagi habis sebagai Wilayah Pengelola Perikanan (WPP) di mana untuk Pulau Obi sendiri masuk WPNRI 715 (PERMEN KKP No. 18/2014 dan masuk sebagai daerah sensitive perijinan penempatan tailing laut (Permen LHK No. 12 2018). Hal ini mengindikasikan bahwasannya produk kebijakan dari Negara yang dikelola oleh para oligarki cenderung tunduk pada kuasa korporasi di mana segala hal perlu diadaptasi sekalipun berdampak bagi kesehatan lingkungan dan biota, dan manusia
Karena masalah ini Walhi Malut memberikan masukkan bagi Pemerintah Daerah dan DPRD agar melakukan review kembali perizinan sector usaha yang berdaya rusak massif dan tengah menuai konflik dengan masyarakat di lingkar konsesi. Pemerintah Kabupaten Kota perlu meninjau kembali jenis-jenis perizinan berbasis lahan yang tumpang tindih di wilayahnya dan tak sesuai dengan RTRW di daerah yang didasarkan pada kajian lingkungan hidup strategis. Mendesak Pemerintah Provinsi untuk mengevaluasi izin pertambangan dan industry berbasis lahan maupun timber yang menuai konflik dengan masyarakat di sekitar dan di dalam hutan; Merespon krisis energy, krisis pangan, dan krisis iklim, dengan memfasilitasi akuisisi lahan konsesi korporasi pertambangan, perkebunan monokultur, dan timber, yang dihasilkan secara tidak sah dari masyarakat, untuki kemudian diberikan untuk dikelola oleh masyarakat dalam bentuk lahan subsisten untuk meminimalisir tingkat kerentanan.
Jika hal ini tidak dapat dilakukan maka, Respons strategis untuk itu perlu disodorkan yakni Pengorganisasian skala lingkungan. Awasi balik militer dan polisi keluar dari lingkungan kita dengan membentuk pasukan pertahanan dan patroli (serupa siskamling). Menekankan keselamatan masyarakat dan bantuan timbal balik, berhadapan dan melawan langsung kebijakan rasis. Promosi rasa kedaulatan lingkungan. Menolak melaporkan tetangga dan saling membantu. Mempertahankan bisnis kecil dan infrastruktur komunitas, mengusir industri yang mengeksploitasi tanah dan tenaga kerja di sekitarnya, dan pembangkangan, boikot, serta pendudukan ambil alih kendali perusahaan.
Melokalisir Demokrasi
Pemogokan bayar sewa, pemogokan utang. Karena kapital tidak membutuhkan tenaga kerja kita, sebagaimana pemerintah yang membayar orang untuk tidak bekerja dalam Revolusi Industri Keempat ke depan. Kita hanya dibutuhkan sebagai konsumen. Jika kita berhenti membayar sewa dan hutang, dan memboikot ekonomi kapital dengan menyediakan kebutuhan kita sendiri secara langsung berbasis tanah, maka kita memiliki kekuatan kolektif untuk menjatuhkan sistem ekonomi kapital saat ini.
Bagaimana pun katanya tak bisa dipungkiri, bahwa jutaan orang telah kehilangan pekerjaan saat ini. Orang-orang akan melihat bahwa ekonomi uang ternyata tidak melayani mereka, dan terbuka peluang bagi komunitas di manapun kembali menghidupkan ekonomi lokal yang tidak bergantung pada uang dan ekonomi global. “Pelajari keterampilan praktis yang mendukung kesejahteraan lingkungan. Produksi makanan, pemeliharaan dan perbaikan, kerajinan, demokrasi langsung, budaya dan seni lokal, serta pengobatan alternatif plus penyembuhan ,” imbaunya.
Sorotan yang sama juga disuarakan Konsorsium Advokasi Tambang (Katam) Maluku Utara. Lembaga yang banyak menyoroti kebijakan pertambangan di Maluku Utara itu melihat ada dua persoalan lingkungan yang perlu diseriusi. Khusus di sektor pertambangan yang perlu mendapat perhatian adalah dampak limbah tambang.
Ketua KATAM Malut Muhlis Ibrahim meyampaikan bahwa limbah tambang adalah ancaman masa depan bagi provinsi Maluku Utara. Pembangunan pabrik sebagai suatu konsekwensi dari kegiatan pertambangan akan memberikan konstribusi terbesar bagi kerusakan lingkungan di daerah ini. Puluhan ribu ton slak (limbah nickel) nanti akan diproduksi pabrik nickel. Hal ini tentu menjadi ancaman tersendiri. Belum lagi muncul kegiatan tambang emas yang dikelola secara tradisional oleh masyarakat di wilayah Halmahera Selatan.
“Kekuatiran kami, jika sistem pengelolaan dan pemurnian menggunakan merkuri atau raksa (hg) akan sangat membahayakan keberlangsungan lingkungan hidup di sektirnya. Disamping itu, UU nomor 11 tahun 2017 tentang pengesahan “minamata convension on mercury” dengan tegas sudah melarang hal ini,”jelasnya.
Menurut Muhlis, ada tiga proyek rekomendasi pemerintah yang masuk daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) merupakan proyek smelter terbaru. Lokasi ketiga proyek itu ada di Maluku Utara dan investornya berasal dari China.
Kedua katanya, ancaman polusi udara. Hal ini tidak bisa dianggap remeh. Pengalaman telah menunjukan bahwa persoalan polusi sangat rumit untuk diselesaikan. Hal ini terjadi di hampir semua daerah di mana beroperasi industri pertambangan.
Polusi udara dari asap dan debu yang bersumber dari smelter perlu diawasi secara ketat. Apalagi sampai detik ini publik masih sangat latah dengan teknologi yang dipakai industri pertambangan yang beroperasi di Maluku Utara saat ini. “Dua persolan ini perlu dikaji lebih dalam lagi. Jika publik abai dengan hal ini, kita tinggal menunggu kehancuran,” katanya.
CEO Kabar Pulau