Indonesia memiliki 17.504 pulau dengan panjang pantai 108.000 km. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, menjadi rumah bagi 15,8% (27.255 km2) terumbu karang dunia. Hal ini menyebabkan ekonomi dan ketahanan pangan Indonesia terkait sangat erat dengan laut dan sumberdaya pesisir.
Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), saat ini sekitar 70% sumber protein bagi konsumsi masyarakat Indonesia berasal dari ikan, sementara hampir 20% Pendapatan Domestik Bruto (PDB) berasal dari sektor perikanan dan industri kelautan.
Wilayah yang paling kaya dan paling beragam kehidupan lautnya ada di wilayah Indonesia Timur, yang juga merupakan pusat dari segitiga terumbu karang dunia yaitu wilayah laut tropis yang terletak di negara Indonesia, Malaysia, Philippines, Papua New Guinea, Timor Leste dan Solomon Islands. Wilayah pusat keanekaragaman laut ini ditentukan berdasarkan jumlah adanya spesies karang keras (hampir 600) dan lebih dari 2.000 spesies ikan karang.
Menyadari bahwa Indonesia merupakan tempat terkonsentrasinya keanekaragaman hayati laut tropis dunia sertajumlah penduduk yang hampir 270 juga – dan bergantung pada sumber daya laut, menjadi sangat penting bagi Indonesia untuk melindungi dan mengelola sumber daya kelautan tersebut demi kelestariannya.
Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Kelautan dan Perikanan menempatkan upaya pelestarian dan pengelolaan sumberdaya laut ini sebagai hal yang utama. Namun demikian dalam praktiknya tidaklah sederhana untuk dilaksanakan. Hal ini memerlukan pemahaman yang mendalam oleh para pengelolanya agar tujuan pelestarian dan pengelolaannya dapat tercapai.
Sudah banyak cerita sukses tetapi masih banyak hal lain harus dikerjakan mengingat ancaman kepada sumber daya laut dan perikanan saat ini. Habitat pesisir di Indonesia telah dieksploitasi melampaui kapasitas karena adanya penangkapan ikan yang berlebih dan pemanfaatan sumber daya yang merusak terumbu karang, mangrove, dan padang lamun. Hilangnya habitat pesisir ini disebabkan oleh kurangnya perlindungan dan pengelolaan kawasan konservasi yang memerlukan perencanaan dan implementasi, serta langkah-langkah lainnya.
Sebagai jawaban atas makin hilangnya ekosistem laut yang penting ini, Indonesia menetapkan Sistem Kawasan Konservasi di enam negara segitiga terumbu karang dunia dan menetapkan target untuk mempunyai 30 juta hektar habitat laut yang berada dan dikelola dalam kawasan konservasi pada tahun 2030. Kawasan konservasi merupakan cara yang paling efisien untuk melestarikan sumberdaya laut Indonesia yang sangat berharga.
Saat ini United States Agency for International Development (USAID)mendukung KKP dalam bentuk kerjasama melalui Proyek USAID SEA (Sustainable Ecosystem Advanced), menindaklanjuti komitmen yang dicanangkan dalam Inisiatif Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle Initiative – CTI). Ini dalam rangka menjawab kebutuhan yang mendesak meningkatkan kapasitas para pengelolanya. Fokus utama USAID SEA adalah untuk membangun kawasan konservasi di Indonesia Timur dan untuk mengambil pembelajaran bagi penguatan pelindungan habitat laut serta perikanan yang sangat berharga di Indonesia.
Indonesia memiliki program nasional 201 kawasan konservasi yang melindungi 237.684 km2wilayah laut (luasan ini kira-kira sama dengan dua kali luas Pulau Jawa)untuk mengendalikan pemanfaatan kawasan di dalam zona penangkapan ikan serta melarang penangkapan ikan di “wilayah larang tangkap” (no-take zones – NTZ) untuk sekitar kurang dari 15 persen luasan kawasan konservasi (35.652 km2). Akan tetapi tidak banyak dari kita yang memahami nilai dari kawasan konservasi dan NTZs bagi Indonesia dan apa-apa yang diperlukan agar pelaksanaannya menjadi lebih efektif. Kebanyakan dari kita juga tidak menyadari bahwa “dilindungi secara hukum” tidak sama dengan dikelola secara aktif dan dilindungi secara nyata di lapangan. Tanpa pengelolaan yang baik tidak ada yang akan berubah.
Jika dikelola secara aktif dan efektif, kawasan konservasi terutama NTZs di dalam kawasan konservasi, merupakan alat yang sangat efektif meningkatkan produktivitas perikanan, melindungi keanekaragaman hayati, meningkatkan daya tahan terhadap perubahan iklim, meningkatkan ketahanan pangan serta kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi.
Kawasan konservasi, terutama NTZs, menguntungkan sektor perikanan karena secara nyata dapat meningkatkan kelimpahan ikan dibandingkan sebelum dilindungi, potensi menambah ukuran ikan,serta meningkatkan jumlah telur ikan. Hal tersebut pada akhirnya akan meningkatkan hasil tangkapan di luar NTZs. Sebagai contoh, 1 km2 ekosistem terumbu karang yang sehat dapat memberikan hasil secara lestari lebih dari 20 ton ikan per tahun untuk nelayan lokal.
Kebanyakan kawasan konservasi laut di Indonesia terletak di bawah kewenangan Kemen KP dengan delegasi pengelolaan kepada Pemerintah Provinsi. Hasil pemantauan di beberapa kawasan konservasi yang dilakukan oleh lembaga pemerintah dan non-pemerintah (LSM) menunjukan bahwa kawasan konservasi yang dikelola secara baik menunjukan hasil yang positif untuk stok ikan dan kondisi terumbu karang. Akan tetapi, data dari Kemen KP dan beberapa studi internasional menunjukan bahwa kurang dari 15% kawasan konservasi di Indonesia yang dapat mencapai tujuan utamanya. Sebagai jawaban atas hal tersebut, KKP lalu mengembangkan perangkat untuk mengukur efektivitas pengelolaan kawasan konservasi (EKKP3K).
Walaupun mengalami kemajuan dengan program pengelolaan sumberdaya kelautan melalui penetapan kawasan konservasi dengan zona-zonanya, tetapi dalam hal perencanaan lokasi, Indonesia harus lebih strategis dan enekankan pada efektivitas ekologi, pengelolaan, dan perspektif social. Tujuannya untuk membuat kawasan konservasi lebih bermanfaat bagi konservasi dan pembangunan Indonesia.
Melihat jumlah pulau dan beragamnya hidupan laut, Kemen KP telah memulai perencanaan jejaring kawasan konservasi di tingkat wilayah daerah mencakup kawasan yang penting yang menghubungkan kawasan konservasi dalam sebuah jejaring – demi meningkatkan manfaat ekologi, perikanan dan sosial-ekonomi.
Proyek USAID SEA bekerja bersama-sama dengan Kemen KP dan Pemerintah Provinsi di WIlayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 715 untuk melindungi habitat terumbu karang dan gunung-gunung bawah laut, yang merupakan tempat tinggal hewan dilindungi dan terancam punah. Misalnya penyu, dugong, paus dan hiu.
Hingga saat ini, USAID SEA telah mendukung pembentukan dan pengesahan 14 (empat belas) Kawasan Konservasi Perairan (KKP) seluas hampir 1,6 juta hektar di Provinsi Maluku Utara, Maluku, dan Papua Barat. Proyek itu juga mendukung 13 asosiasi perikanan tuna skala kecil untuk menerapkan sertifikasi Fair Trade USA. Sertifikasi ini sudah berhasil mendapatkan pembayaran premium dengan total sekitar Rp 1,17 miliar. Dana ini telah disalurkan langsung ke masyarakat untuk mendukung program sosial dan aktivitas perikanan.
Proyek lima tahun (2016-2021) dengan total dana lebih dari USD 31 juta ini merupakan dukungan Pemerintah Amerika melalui USAID kepada Pemerintah Indonesia dalam upaya penguatan tata kelola sumber daya perikanan dan konservasi laut di tiga provinsi dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan 715 yang meliputi provinsi Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat.
Penetapan 14 kawasan konservasi dengan luas 1,6 juta hektar dilakukan dengan mengedepankan pendekatan yang komprehensif untuk menjawab tantangan di wilayah tersebut. Selain menyelesaikan rencana pengelolaan 14 kawasan konservasi, telah pula dirancang jejaring kawasan konservasi untuk WPP 715 yang mencakup 49% dari luas perairan laut Indonesia untukmelindungi habitat dan spesies terancam punah serta meningkatkan status karang dan stok ikan demersal dan pelagis kecil.
Indonesia bermaksud untuk melindungi dan mengelola kawasan konservasi secara efektif dan menjadikannya sebagai sumber pendapatan yang lestari. Untuk mencapai visi tersebut pada tahun 2030, Indonesia harus mengidentifikasi peluang-peluang dan mekanisme bagi pendanaan bagi pengelolaan kawasan konservasi. Hal tersebut meliputi sumber-sumber pendanaan dari nasional pemerintah daerah (misalnya, sumber dana provinsi dan kabupaten yang berkaitan dengan ekologi, dan sumber dana regional di bawah kerangka kerja pembangunan rendah karbon). Selain itu ada juga dana non pemerintah.
Walaupun kebanyakan pendanaan kawasan konservasi berasal dari dana pusat dan daerah, harus ada lebih banyak upaya untuk mendapatkan dana dari sumber-sumber non-pemerintah melalui pembentukan Badan Layanan Umum, blue bonds, kemitraan dengan pihak swasta (KPS), the environmental estate fund, corporate social responsibility (CSR), dan pendanaan campuran (blended finance). Panduan untuk melakukan hal tersebut sangat diperlukan untuk membangun dan menjaga mekanisme pendanaan kawasan konservasi.
Walaupun telah banyak kemajuan dalam penetapan kawasan konservasi, melihat dari luasnya laut yang belum terlindungi, dan melihat tingkat efektivitas yang masih rendah pada kawasan konservasi yang telah ditetapkan (<15%) masih banyak hal yang harus dilakukan.
Ke depan, hal terpenting yang harus dilakukan adalah, membangun kapasitas dan penyadartahuan pada pemerintah daerah yang memiliki peran dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi.
Mendukung pemerintah provinsi untuk membangun kapasitas dalam pengumpulan data untuk merancang dan mengelola kawasan konservasi dan jejaring kawasan konservasi berkoordinasi denga pemerintah pusat, pemerintah kabupaten dan desa.
Mengalokasikan anggaran untuk mendukung implementasi kawasan konservasi dan jejaring kawasan konservasi sambal mengkoordinasikan hal ini dengan lembaga pemerintah terkait.
Menyiapkan dan memberikan petunjuk yang melibatkan mitra non-pemerintah dan pihak swasta untuk mengembangkan mekanisme pendanaan berkelanjutan dan pendirian institusinya untuk mendukung operasi kawasan konservasi secara berkelanjutan dan efektif.
*Penulis: Ir. Agus Dermawan, M.Si, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Ahli Utama Pengelolaan Ekosistem Laut dan Pesisir,dan Alan White, Ph.D., Direktur Proyek USAID SEA