Salah satu daerah di Maluku Utara yang memiliki sejarah masa lalu di bidang perkebunan kopi ada pulau Bacan Halmahera Selatan. Sisa sisa perkebunan tersebut masih ada hingga sekarang. Produksi perkebunan zaman Belanda itu sudah mulai dibudidayakan kembali, yakni jenis Liberika. Kehadiran kopi ini di Bacan Halmahera Selatan memiliki sejarah panjang. Diambil dari Afrika bisa sampai ke Pulau Bacan dan bertahan sampai sekarang.
Perlu Mari mundur sejenak melihat awal mula kopi hadir di Indonesia hingga Bacan. Dikutip dari https://www.detik.com/jabar/berita/d-6823171/biji-emas-hitam-liberika-warisan-belanda-di-kota-kuda/2)
Semuanya berawal dari upaya perusahaan dagang asal Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) memonopoli pasokan barang ke pasar Eropa. Tak hanya rempah, di tanah jajahannya mereka mulai melirik komoditas lain agar memuluskan tujuan mereka.
Tepatnya pada 1640, kopi pertama kali dijual di Amsterdam. Beberapa catatan sejarah menyebutkan, Belanda menyadari potensi besar kopi. Apalagi permintaan pasar terus meningkat, sampai mereka rela mengimpor komoditas ini dari Yaman serta India. Lambat laun Belanda ikut ambil bagian untuk memproduksi kopi di tanah koloni. Sasaran utamanya adalah bumi Nusantara.
Tahun 1696, Belanda memulai ekspansi kopinya di Indonesia. Berkat Adrian Van Ommen, benih hidup dari India akhirnya didaratkan ke Batavia yang saat itu menjadi pusat urusan administratif VOC. Tiga tahun berikutnya upaya pengembangan bibit ini membuahkan hasil. Banjir pujian terus berdatangan ketika sampel pertama varietas Arabica Java dianggap sebagai biji terbaik dalam sebuah acara lelang di Amsterdam Botanical Garden.
Melihat respons itu, semakin menyulut ambisi pihak kolonial meraup keuntungan dari budi daya kopi. Bahkan VOC memasuki masa kebangkrutannya di akhir 1799, niatan tersebut tetap tak terbendung.
Catatan sejarawan tanam paksa C. Fasseur, hanya kurun waktu sepuluh tahun keuntungan pemerintah kolonial semakin menggelembung karena hasil Cultuurstelsel begitu menguntungkan. Pada 1830, pendapatan penjajah hanya berkisar 12,9 juta gulden, lalu tahun 1840 menjadi 74,2 juta gulden. Omzet sektor perkebunan terus meroket hingga ratusan juta gulden di tahun 1857.
Tahun 1876 menjadi mimpi buruk bagi kaum kolonial karena produksi kopi turun sampai 38%. Biang keladinya serangan wabah jamur Hemileia vastatrix yang mengganggu rantai suplai ke Amsterdam. Varietas kopi terbaru akhirnya dihadirkan yakni liberika dan mulai diperkenalkan.
Dalam laman Plant Resources of South-East Asia, disebutkan kopi liberika adalah varietas yang dikembangkan di kawasan Afrika Barat, khususnya Liberia. Pada akhir abad ke-19, liberika mendapatkan popularitasnya secara signifikan. Dibandingkan arabika, spesies ini lebih tahan dari serangan parasit.
Pada periode yang sama, pemerintah Hindia Belanda menyebarkan benih liberika untuk ditanam di sejumlah daerah, salah satunya di Bacan Halmahera Selatan. Literatur lain menyebut, pamor kopi liberika sebagai komoditas ekspor hanya bertahan sebentar karena wabah daun karat kembali menyerang. Tepatnya di 1907, perkebunan kopi ditanami varietas lain. Itu merupakan kopi robusta yang dikenal lebih tahan penyakit.
Meski sudah kehilangan taji di mata pemerintah Hindia Belanda, kopi liberika secara perlahan masih dikembangkan di lahan perkebunan rakyat. Secara turun temurun, liberika tetap dipertahankan dan kini menjadi salah satu warisan yang perlu dijaga.
Dalam laman Plant Resources of South-East Asia, disebutkan kopi liberika adalah varietas yang dikembangkan di kawasan Afrika Barat, khususnya Liberia. Pada akhir abad ke-19, liberika mendapatkan popularitasnya secara signifikan. Dibandingkan arabika, spesies ini lebih tahan dari serangan parasit.
Pada periode yang sama, pemerintah Hindia Belanda menyebarkan benih liberika untuk ditanam di sejumlah daerah, salah satunya Bacan. Literatur lain menyebut, pamor kopi liberika sebagai komoditas ekspor hanya bertahan sebentar karena wabah daun karat kembali menyerang. Tepatnya di tahun 1907, perkebunan kopi ditanami varietas lain. Itu merupakan kopi robusta yang dikenal lebih tahan penyakit.
Meski sudah kehilangan taji di mata pemerintah Hindia Belanda, kopi liberika secara perlahan masih dikembangkan di lahan perkebunan rakyat. Secara turun temurun, liberika tetap dipertahankan dan kini menjadi salah satu warisan yang perlu dijaga.
Saat ini di Bacan masih ada hidup puluhan pohon kopi liberika yang berusia lebih seratus tahun. Kopi tersisa ini dikembangkan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara. Mereka berupaya melestarikan dengan mengembangkan tanaman kopi tersisa dari perkebunan era kolonial Belanda ini.
Perkebunan ini ditandai dengan penandatanganan kontrak kerjasama selama 75 tahun (1 Juli 1881-1956) antara Belanda dengan Sultan Sadek, Sultan Bacan ke 17. Dalam kontrak ini selain membangun perkebunan yang mengusahakan karet, kopi, coklat, tembakau dan kelapa juga mengolah semua jenis mineral dan hasil hutan terutama damar.
Belanda lantas mengirim seseorang bernama Mr. M.E.F Elout untuk membuka perusahaan bernama Batjan Achipel Maatschapij (BAM), untuk mengelola berbagai hasil perkebunan kehutanan dan bahan mineral di sana. Sisa tinggalan sejarah masih ada hingga kini. Puing-puing pabrik kopi dan tanaman serta sejumlah bangunan tua masih ada. Coklat masih ditanam dan warga Bacan dan Maluku Utara masih budidaya hingga kini. Begitu juga kelapa dan karet, meski tidak lagi massal.
Di Kampung Makeang, atau dikenal dengan Parigi Dolong, Pulau Bacan yang merupakan kebun kopi. Desa Amasing Goro, perkebunan karet. Di Panamboang, Bacan Selatan, masih ada sisa perkebunan kelapa. Untuk tembakau dibangun di Pulau Mandioli.
Kementerian Pertanian melalui Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (IP2TP) Pulau Bacan, di bawah Balai Pengkaiian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku Utara, membudidayak kembali tiga jenis kopi tersisa di beberapa lahan warga. Ada robusta, exelsa dan liberika. Di perkebunan itu awalnya ada empat jenis tetapi indukan hanya tersisa tiga.
Proses tanam ulang ini sejak 2006 melalui kebun contoh seluas 0,25 hektar. Setelah berhasil pada 2017 mulai dikembangkan lagi. Di kebun percontohan IP2TP ini tak hanya ada kopi juga kayu manis, kakao dan buah-buahan seperti alpukat. Untuk tiga jenis kopi sudah ditanam dua hektar, hanya berhasil satu hektar. Kopi ditanam berjejer berdasarkan jenisnya.
Hardin Laabu, Kepala IP2TP Bacan mengatakan, tugas menanam kembali kopi ini bagian dari mempertahankan jenis tanaman yang sudah beradaptasi dengan lingkungan lokal. Kopi ini, sudah dianggap tanaman lokal karena ditanam di Pulau Bacan lebih seratus tahun lalu.
Tiga jenis ini , katanya, ada juga di daerah lain tetapi karena tumbuh dan berkembang cukup lama di sini pasti ada perbedaan.
Dia bilang, liberika ini didatangkan dari Liberia oleh Belanda setelah robusta yang ditanam terserang penyakit dan mati. Sebelum mengembangkan kopi ini, IP2TP sudah survei dan identifikasi indukan tersisa di kebun warga sekitar 30 pohon. Di bekas perkebunan kopi yang kini milik warga itu, nyaris tidak ada lagi kopi. Warga tebang dan ambil kayunya untuk kayu bakar memasak gula aren, maupun kebutuhan rumah tangga lainnya.
Saat ini, kopi yang dikembangkan itu sudah berbuah. Dari hasil panen kopi ini, sudah mereka kirim ke laboratorium BPTP di Sofifi, untuk uji rasa. Dalam tahap ujicoba ini, kata Hardin, mereka berikan juga ke beberapa kafe di Bacan untuk coba rasa.
Ismit Alkatiri , Direktur Institut of Coffe Maluku Utara yang bekerjasama dengan BPPT dan Pemerintah Halmahera Selatan dalam pengembangan kopi Bacan ini mengatakan, karakteristik liberika dari sisi rasa cenderung sama dengan jenis arabika, ada unsur acidity dan sweetness. Sedangkan excelsa cenderung ke rasa robusta, yakni bitter atau pahit.
Rata rata kopi liberika di dunia ada rasa nangka tetapi berbeda dengan di Bacan, ada mint. ”Mungkin rasa mint ini yang disukai ratu Welhelmina atau Juliana dari Belanda dengan kopi Bacan.”
Dari segi bentuk biji, liberika dan excelsa lebih besar dari arabika dan robusta. Hanya buah liberika dan excelsa lebih jarang. Dari tiga jenis kopi ini, Pemerintah Halmahera Selatan telah mendaftarkan ke Kementerian Pertanian pada Pusat Perlindungan dan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian. Pendaftaran ini untuk mendapatkan tanda daftar tanaman varietas lokal sesuai Undang-undang Nomor 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Juga peraturan pemerintah mengenai penanaman, pendaftaran dan penggunaan varietas asal untuk pembuatan varietas turunan esensial. Pihak Kesultanan Bacan menaruh harapan kepada pengelola agar bisa mengembalikan kejayaan kopi Pulau Bacan dahulu.
Ibnu Tufail, Juru tulis Raa (Sekretaris) Kesultanan Bacan cerita, kopi Bacan jenis robusta, excelsa dan liberika sangat digemari Ratu Welhelmina dan anaknya, ratu Juliana dari Belanda. Kopi dari perkebunan PT Batjan Algemene Maastchappij (BAM), kongsi dagang antara Kesultanan Bacan dengan Belanda itu juga digemari di Eropa terutama di Belanda. Panen kopi dari perkebunan BAM ini dikirim langsung ke Belanda.
Kesultanan Bacan berharap, kopi Bacan kembali berjaya. Upaya Kementan melalui BPTP ini, perlu mendapat dukungan semua pihak termasuk pemerintah daerah. Kopi-kopi ini sebagai bentuk kerjasama bilateral bidang perdagangan pada zaman Sultan Sadik, yang punya mata uang khusus Bacan dan Belanda. Lewat perusahaan yang berpusat di Bacan ini lahir mata uang Bacan Roterdam Gulden sebagai nilai tukar perdagangan Bacan dan Belanda.
Mata uang Bacan adalah satu dari sekian banyak mata uang yang dibuat perkebunan asing kala itu baik di Jawa, Sumatera dan Bacan. Mata uang dari nikel itu hanya berlaku di setiap perkebunan asing. “Jadi, mata uang Bacan itu berhubungan dengan perkebunan kopi di Bacan,” katanya.
Dikutip dari (https://www.mongabay.co.id/2022/03/02/upaya-lestarikan-kopi-bacan-dari-induk-tanaman-usia-lebih-100-tahun/)
CEO Kabar Pulau