Cerita Fahri Lolahi dan Rumah Botol Plastik untuk Perangi Sampah
Cuaca siang di Sabtu akhir Agustus lalu itu agak mendung. Ketika tiba dengan mobil di Tobelo dari Kao, saya dijemput oleh Fahmi Lolahi. Tujuan saya menuju pulau Tulang. Setelah menunggu sekira 30 menit, saya melanjutkan perjalanan menuju Pulau Tulang.
Fahmi Lolahi adalah kakak Fahri Lolahi. Fahri yang saat ini membangun gerakan literasi lingkungan di pulau Tulang. Fahri kemudian menemani saya menuju pulau itu.
Sebelum meluncur, saya menunggu sebentar karena Fahri mengangkut beberapa batang pohon bambu china dan 4 karung botol plastik yang dikumpulkan relawan di Kota Tobelo. Usai menaikkan barang-barang itu ke body perahu katinting, selanjutnya kami berangkat. Menuju pulau ini tak cukup tiga menit, karena jaraknya begitu dekat dengan pelabuhan Tobelo. Sementara barang yang diangkut, nanti digunakan untuk pembangunan rumah botol plastik yang digagas Fahri. “Ini adalah botol hasil donasi kawan-kawan kepada saya untuk pembangunan rumah botol plastik di Pulau Tulang,” ujar Fahri saat mengangkut botol dan bambu ke atas ketinting.

Sekadar diketahui, Pulau Tulang di Tobelo Halmahera Utara terbilang sangat kecil. Dulunya hanya berisi 4 pohon kelapa dengan padang ilalang. Namun kini pulau ini telah diubah. Sudah ada tembok penahan ombak mengelilingi pulau. Belakangan pulau ini juga viral di media social karena ada gerakan tidak biasanya, dilakukan Fahri Lolahi seorang anak muda dari Desa Dufa- dufa Tobelo.
Dari namanya memancing orang dan akan bertanya- tanya kenapa nama pulau ini identik dengan kerangka manusia. Ternyata disebut Pulau Tulang karena dulunya menjadi tempat pertarungan para jagoan dalam menyelesaikan masalah.
Ketika ada yang tewas terbunuh, mayatnya terbiar dan tulang belulang mereka berserakan. Dulu pulau Tulang paling seram. Orang dengan kapal atau nelayan yang lewat di pulau ini juga enggan singgah atau sekadar lego sauh di laut pulau ini.
Pulau berukuran sangat kecil di Halmahera Utara ini kemudian dimasuki kakek Fahri bermarga Lolahi. Dialah yang membersihkan tulang-tulang manusia di pulau ini kemudian dimakamkan di sebuah tempat di Tobelo Selatan.
“Namanya pulau tulang. Ada beberapa versi cerita. Dulu di pulau ini banyak tulang manusia, menjadi tempat eksekusi. Ada juga versi orang tua tua, jika ada masalah di Tobelo mereka saling mengundang ke pulau ini untuk berduel,” cerita Fahri.
Fahri “Ari” Lolahi ternyata baru menggondol gelar sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhmammadiyah Maluku Utara 2019 lalu. Meski didorong orang tuanya untuk bekerja sebagai karyawan atau pegawai dia menolaknya.
“Awalnya bingung karena keinginan orang tua harus bekerja ini dan itu. Saya sejak kuliah sudah terbiasa dengan gerkan seperti ini. Karena itu saya bilang ke orang tua agar mempercayakan kepada saya mengelola pulau Tulang. Orang tua saya setuju karena itu saya awali dengan membangun literasi,” jelasnya.
Fahri lantas coba membangun kesadaran bersama melalui literasi lingkungan dari pulau Tulang. Pulau Tulang menjadi tempat awal gerakan ini karena berada tepat di depan pelabuhan Tobelo Halmahera Utara Maluku Utara yang jaraknya hanya sekira 150 meter. Pulau dengan ukuran 20×80 meter itu berdiri di atas karang keras. Selain terancam berbagai aktivitas antropogenik, terutama sampah, juga menerima dampak reklamasi yang sudah dilakukan di kawasan pantai Tobelo.

Pulau ini menerima imbas cukup serius dengan banyaknya sampah plastik kiriman dari Kota Tobelo. Selain menjadi tempat persinggahan sampah, juga terancam hilang disapu abrasi. Beruntung Pemkab Halmahera Utara cepat membuat tanggul penahan ombak, akhirnya sementara bisa terlindungi dari abrasi.
Sampah plastik ini sebenarnya menjadi persoalan serius. Karena itu butuh penanganan. Membaca kondisi ini, Fahri “Ari” Lolahi anak pemilik lahan pulau Tulang coba mengelolanya dari ancaman sampah plastik. Fahri memulai dengan membangun gerakan literasi sebagai upaya penyelamatan lingkungan. Gerakan ini diawali dengan membangun rumah dari botol plastik. Dari rumah botol plastik membumikan narasi lingkungan lewat pesan- pesan menarik. Misalnya tentang bahaya dan ancaman sampah plastik.
“Awalnya saya searching melihat-lihat beberapa video dan artikel tentang bahaya sampah plastik hingga membuat rumah dari botol plastic,” katanya.
Ketika mendapatkan informasi itu, Fahri kemudian menyampaikan kepada bapaknya Musa Lolahi untuk merealisasikan idenya. Fahri juga membuat gerakan donasi botol plastik untuk membangun rumah dan variasi lainnya dari botol. Meski belum seratus persen selesai, rumah botol plastic sudah berdiri dan bisa digunakan. Dia kini masih butuh donasi ribuan botol plastic untuk menyelesaikan mimpinya menjadikan Pulau Tulang basis literasi lingkungan. Sekaligus membebaskan pulau- pulau di sekitarnya dari ancaman sampah plastik dan bahaya reklamasi.

Bagi Fahri, sampah plastik merupakan ancaman yang sangat serius. Terutama untuk kawasan pulau-pulau di Halmahera Utara bahkan Maluku Utara umumnya. Karena itu tidak salah membangun literasi untuk mengetuk kesadaran warga. Caranya membuat pesan pesan jaga lingkungan kepada public. Tujuannya mereka sadar dan tidak menghasilkan sampah plastic. Jika ada sampah mereka juga harus memprosesnya sehingga tidak mengotori lingkungan dan pulau.
Langkah ini katanya, perlu dilakukan mengingat pulau Tulang juga menjadi salah satu destinasi wisata di Halmaahera Utara, terutama warga Kota Tobelo. Dari pulau ini warga biasa menikmati keindahan laut dan pantai.
Orang yang mengunjungi pulau ini juga bisa berenang atau snorkeling. Keindahan dan kenyamanan suasana pagi dan sore yang luar biasa terutama ketika matahari terbit dan tenggelam, menjadi pesona tersendiri. Dari pulau ini bisa menyaksikan dua moment. Yakni ketika matahari menampakkan dirinya (sunrise) dan ketika kembali ke peraduan (sunset).
Karena itu tidak heran setiap pagi dan sore pulau ini selalu didatangi warga dari Tobelo. Tidak hanya berswa foto tetapi juga berenang di pantai.
Banyaknya warga yang datang ke pulau ini, membuat Fahri mau menjadikan ini sebagai wahana kampanye melindungi laut dan pulau dari sampah plastik serta ancaman abrasi.
“Misi yang diemban dari gerakan ini adalah setiap orang yang datang ke pulau ini bisa mendapatkan informasi dan pengetahuan menyangkut bahaya sampah plastik bagi kehidupan manusia. Tak hanya manusia, sampah plastik juga ikut mengancam kehidupan biota di laut dan pulau-pulau kecil,” ujarnya akhir Agustus lalu.
Cara memberi pesan kepada pengunjung tentu melalui literature. Dari bahan bacan ini kemudian dibuatkan tulisan tulisan di papan atau plang informasi. Di depan rumah botol plastic misalnya, ada tulisaan bahaya dan ancaman plastic yang sulit terurai. Tulisan itu berdiri di tepi pantai yang kemudian bisa dibaca pengunjung ketika datang ke pulau Tulang.
“Meski mereka melihat sekilas tetapi sudah mendapatkan informasi. Misalnya umur sampah plastik bisa terurai sampai 400 tahun. Sementara sampah styrofoam tidak bisa terurai. Atau umur terurainya puntung rokok bisa sampai 200 tahun. Pesan pesan ini sangat berguna bagi pengunjung karena menambah khasanah pengetahuan mereka,”tambahnya. .
Setidaknya, ketika mereka membaca dan menyaksikan apa yang ada di pulau ini, ada sesuatu mereka dapatkan. “Ini menunjukan ada edukasi yang dilakukan,” kata Fahri lagi. Selain pesan-pesan melindungi pulau dari sampah, yang paling penting adalah gerakan membumikan perlindungan lingkungan.
Dalam gerakan semacam ini, Fahri tidak bisa bekerja sendiri. Dia butuh bantuan teman-temannya mendukung literasi lingkungan. Dia lantas menggerakan generasi muda pulau Kumo dan Kakara, tak jauh dari Pulau Tulang. Di Desa Kumo selain menggerakan literasi juga mengadvokasi warga setempat menolak rencana reklamsai kawasan pantai Dufa-dufa- Tanjung Pilawang yang rencana direalisasikan tahun ini.
Kelompok literasi yang digerakan itu kini mulai bergerak. Selain memerangi sampah plastik yang singgah ke pulau Kakara, juga gencar mengadvokasi gerakan menolak reklamasi kawasan pantai Tobelo. Bagi mereka rencana reklamasi ini akan menyebabkan pulau-pulau di depan Tobelo menerima imbasnya.

“Saat ini jika masuk ke pulau Kakara ada sebuah spanduk besar terpampang di pelabuhan pulau ini tertulis jelas, warga Kakara menolak reklamasi pantai Tobelo ,” ujar Fahri.
Selain memberi edukasi juga focus literasi. Fahry membangun literasi bersama antar pulau tetangga. Caranya membangun rumah baca juga komunitas antar pulau. Membangun komunitas pemuda dan pelajar untuk menanam di beberapa pulau sekitar. “Kenapa focus ke pulau pulau. Karena disadari bahwa literasi adalah bagian dari membuka cara berpikir pemuda. Sasaran ke pulau karena ada ketakutan yang sangat besar ketika pembangunan reklamasi dijalankan berdampak ke pulau pulau,” jelasnya.
Dia bilang, sebenarnya awal gerakan literasi ini ingin concern isyu reklamasi. “Waktu dengar ada rencana tambahan reklamasi pantai Tobelo dari Dufa- dufa-Tanjug Pilawang, kami mulai gerakan ini. Memang agak bingung menyikapinya. Kalau aksi massa sudah umum dilakukan. Jika ingin mengajukan protes terhadap kebijakan reklamasi pantai, juga akan menghadapi tembok tebal. Jadi lebih baik aksi langsung ke tapak agar mereka mengelola pulau sehingga bisa mengkampanyekan bahaya reklamasi dan sampah,” jelasnya.
Jika nanti orang bertanya kenapa fokusnya ke pulau kecil, jawabannya sederhana. Ingin menegaskan komitmen menjaga alam, laut dan pulau dari ancaman sampah plastik . Termasuk penyelamatan pulau pulau, akibat reklamasi.
Sementara jika orang melihat rumah plastic yang dibangun, juga akan bertanya-tanya apa sebenarnya maksud di balik penggunaan botol plastic ini. Kenapa memilih botol?.
Itu semua awalnya karena studi literatur tentang plastic dan jenis sampah lainnya. Dari studi literature itu, menemukan artikel yang menjelaskan jangka waktu sampah plastic terurai dan butuh waktu sangat panjang. Karena itu disimpulkan perlu memanfaatkan sampah botol plastik dengan membuatnya menjadi dinding rumah. Ini upaya menghindarkan sampah plastic terbuang percuma lalu memenuhi permukaan laut dan pulau. Maka itu sampah plastik perlu dimanfaatkan. Jika dibiarkan, berbahaya bagi lingkungan terutama biota laut.
“Kenapa rumah plastic? Untuk memberi eduksi langsung kepada warga, terutama mereka yang datang berwisata ke Pulau Tulang. Botol plastic cukup banyak karena itu ketika ke pulau ini bisa juga berdonasi botol,” kata Fahri.
Sebelumnya, donasi botol sudah dilakukan pelajar maupun mahasiswa di Ternate. Pemuda dari Pulau Kumo di Halut juga menyumbang botol. Ini secara tidak langsung sudah menyelamatkan pulau dari sampah. Untuk membangun rumah, Fahri butuh 5800 botol plastic. Ada sumbangan botol dari pemuda Tobelo dan warung -warung kopi yang sering didatangi ayah Fahri.

Dia juga bercerita, ayahnya kurang percaya, kalau ada rumah bisa dibangun dari botol plastik. Tetapi setelah di-browsing di youtube, baru percaya. Fahri juga percaya reklmasi berdampak langsung. Misalnya dulu pulau Tulang pantainya berpasir. Setelah reklamasi di kawasan pelabuhan Tobelo, pasir di pulau Tulang hilang tak berbekas.
Apakah aktivitasnya selama ini mendapat perhatian pemerintah? Soal ini Fahri bilang mau bekerja sendiri. Saya masih bisa bekerja sendiri untuk menggerakan penyelamatan pulau dan pantai melalui gerakan literasi.
Setiap hari Pulau Tulang dikunjungi 10 sampai 20 orang. Sementara di hari libur ada ratusan pengunjung yang datang. Fahri tak menarik pungutan atau tariff bagi pengunjung. “Kerelaan saja. Kalau ada pengunjung mau berdonasi botol juga silakan untuk menambah bahan membangun rumah botol plastik. Pagi dan sore juga bersih sampah. Tiap pagi ditemukan sampah plastik termasuk botol bekas minuman air mineral, terdampar di pulau Tulang. Di Pulau ini juga orang datang untuk mancing. Karena itu rencana akan dikembangkan dengan kafe dan menjadi eko resort untuk nginap.Ini adalah modal besar berkampanye soal dampak sampah plastic dan ancaman akibat reklamasi,” katanya.(*)

CEO Kabar Pulau