Leleyan dalam pengertain umum orang Maluku Utara adalah sebuah gerakan gotong royong yang terus dilestarikan hingga kini.
Tidak sekadar gotong royong, tradisi ini adalah sebuah kecerdasan lokal (local genious) atas pandangan hidup masyarakat. Terutama untuk masyarakat Patani, Maba dan Weda untuk saling membantu, mengasihi, memberi dukungan, baik materi maupun non materi terhadap dua peristiwa penting. Yakni perkawinan dan kedukaan terutama saat meinggalnya orang- orang terkasih.
Leleyan juga mengandung arti bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam, dan termanivestasi dalam setiap bergaulan masyarakat. Saya mencoba fokus menguraikan leleyan untuk konteks keluarga yang ditinggal meninggal orang tua saudara dan kerabat.
SEJAK ratusan tahun yang lalu, tradisi leleyan merupakan kebiasaan hidup dan warisan budaya lokal yang hadir dan bersemayam di tengah tengah masyarakat Patani, Maba dan Weda. Leleyan hadir menjadi ciri khas, mengadung nilai-nilai tradisional yang dilestarikan hingga saat ini. Tradisi ini sebenarnya dilakukan sebagai wujud peduli serasa senasib sepenanggungan dengan keluarga yang sedang berduka.
Mengunjungi rumah keluarga atau kerabat yang berduka merupakan interaksi sosial yang terwarisi secara turun temurun. Kebersamaan dan sikap saling membantu merupakan prilaku yang mendiskripsikan rasa persaudaraan yang abadi.
Nilai- nilai dan kearifan local ini, ada sepanjang hidup dan dijaga karena dianggap peristiwa ini adalah duka, kesedihan, cinta, dan sayang terhadap sesama. Rasa ini tidak hanya dipikul keluarga inti yang berduka tapi semua warga, yang ada wilayah sekitar. Mereka turut merasakan bersama-sama. Tangisan dan air mata pecah seketika mewarnai perasaan sedih dan duka yang dalam warga sekampung atas kepergian atau kematian orang- orang tercinta.
Hal ini bisa terjadi, dilatarbelakangi oleh ikatan kekeluargaan yang erat. Ditentukan nilai-nilai kunci kasih sayang, sopan, santun, rasa hormat, ngaku rasai budi dan bahasa dan pranata sosial beserta hukum adat yang masih kuat terpelihara.
Leleyan dalam pengertian umum yang dipahami warga adalah bersama-sama, berbondong-bondong dan bahu-membahu membantu orang yang sedang berduka. Saat meninggalnya salah satu anggota keluarga, warga berdatangan, perempuan bertugas menyiapkan kain putih, menimba air, mencuci piring, memebereskan dalam dan luar rumah, mengganti kain gorden. Ada yang masak air atau nasi/sagu. Sementara itu ada keluarga inti yang memandikan jenazah. Jika yang meninggal itu perempuan, laki-lakinya memasang tenda, mencari pinang-siri, mengatur dan mengangkat kursi, mencari kayu bakar dan mancing ikan serta ada yang bertugas menggali kuburan dipandu oleh Badan Syara imam kampung atau orang yang dipercayakan keluarga. Beberapa keluarga dari kampung tetangga juga ikut menghadiri pemakaman orang yang meninggal.
Aktifitas itu, dikerjakan atas dasar duka dan keprihatinan bersama kepada orang atau keluarga yang baru meninggal dunia. Leleyan akan berlangsung selama tujuh hari di rumah duka dengan disi acara tahlilan.
Tahlilan sebagai upacara ritual memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal biasanya dilakukan di hari pertama kematian hingga ketujuh, dan selanjutnya dilakukan di hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.
Ada pula yang melakukan tahlilan pada hari ke-1000. Tahlil dengan pengertian berizikir dengan mengucap kalimat tauhid lafadz la ilaha ill-Allah (لاإلهإلاالله).
Dalam sosio-kultural Indonesia, tahlil adalah suatu acara seremoni sosial keagamaan untuk memperingati dan sekaligus mendoakan orang yang meninggal.
Warga begitu kompak dengan sukarela melakukan tradisi itu. Mereka beramai-ramai dengan berjalan kaki dengan penuh semangat dalam kebersamaan. Sejak dulu para leluhur dan orang tua di kampong sudah melakukannya. Tradisi ini sangat melekat di masyarakat, tidak pernah terlewatkan jika ada kedukaan.
Tradisi leleyan menjadi wadah mempererat hubungan keluarga. Lelayan sebenarnya adalah sebuah kearifan lokal. Dia menjadi pandangan hidup dan ilmu pengetahuan dalam berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas masyarakat lokal menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan.
Menurut Nasiwan dkk (2012:159), Kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan budaya lokal seperti tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup.
Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat kita, kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama.
Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai, norma dan pranata sosial yang hidup dan tumbuh di masyarakat. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya setempat. Kearifan local diasosiasikan sebagai produk budaya masa lalu yang mengikat hubungan batin antar sesama yang patut di pelihara secara terus-menerus serta dijadikan pegangan hidup.
Saat ini akibat perkembangan zaman dan derasnya alih teknologi, perlahan tradisi leleyan mulai tergerus. Sedikit demi sedikit hilang oleh perubahan zaman. Jika tidak dilestarikan generasi selanjutnya, cepat atau lambat kekayaan tradisi ini akan hilang.
Akhir- akhir ini bisa dilihat, setiap ada keluarga yang berduka, mereka harus mengeluarkan biaya cukup besar untuk memenui kebutuhan selama menggelar acara tahlilan. Dari mengambil kayu bakar, membeli daging, beras, ikan, serta bahan makanan lainnya. Padahal di kampung, ada tradisi nenek moyang yang sangat baik untuk terus dijaga dan bisa melepas semua beban tersebut. Karena itu penting kiranya tradisi leleyan di kampung dihidupkan dan terus dilestarikan. Semoga.
Penulis: Ubaidi Abdul Halim, Direktur Jaringan Konservasi Halmahera dan Pemerhati Masyarakat Adat