Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kawasan mangrove seluas 637.624 ha mengalami kritis. Sementara 460.211 ha berada dalam kawasan hutan dan 177.413 ha berada di luar kawasan hutan.
Data Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) Ake Malamo, menyebutkan, wilayah Maluku Utara memiliki potensi mangrove seluas 41.228,7 ha yang tersebar di sepuluh kabupaten/kota. Sayang setiap waktu hutan mangrove yang ada, terus tergerus dan terdegradasi karena mengalami eksploitasi yang sangat signifikan.
Data BPDAS-HL menunjukan, dalam kurun waktu 2010- 2017, terjadi penurunan luasan mangrove di Maluku Utara cukup fantastis. Dalam 7 tahun terjadi penurunan lahan hutan mangrove mencapai 5.030,71 ha atau kurang lebih 10,87 % dari luasan sebelumnya tahun 2010, yakni 46.259,41 ha.
Presiden Joko Widodo mencanangkan program restorasi mangrove Indonesia yang kritis seluas 630 ribu hektare hingga 2024 nanti.
Atas dasar tersebut, pemerintah melalui KLHK, KKP, Kemenko Marves, serta BRGM memiliki rencana aksi strategi dalam hal penanganan mangrove.
Persoalan ini mengemuka dalam diskusi media secara virtual bertema “Konservasi Mangrove, Mitigasi Bencana dan Perubahan Iklim” Kamis (11/02/2021) yang digelar The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) bekerjasama dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).
Hadir sebagai narasumber dari Kementerian Kelautan dan Perairan (KKP) yang diwakili Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Muhammad Yusuf; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang diwakili Direktur Pengendalian Kerusakan Perairan dan Darat Sri Handayaningsih; Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) diwakili oleh Deputi Perencanaan dan Kerja Sama, Budi Setyawan Wardhana; Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) yang diwakili oleh Asisten Deputi Bidang Pengelolaan Perubahan Iklim dan Kebencanaan, Kus Prisetiahadi; Direktur Program Kelautan Yayasan Konservasi Alam Nusantara, Muhammad Ilman, serta pelestari mangrove dari Semarang, Munhamir.
Menurut Asisten Deputi Bidang Pengelolaan Perubahan Iklim dan KebencanaanKemenkomarves Kus Prisetiahadi, pada tahun 2020 sudah berhasil dilakukan rehabilitasi seluas 17.394 hektare. Secara berkala setiap tahunnya melakukan pemulihan mangrove sekitar 25 persen dari total kerusakan. Adapun anggaran dalam penanganan mangrove didanai oleh APBN, APBD dan juga pihak dari investor.
“2021, rehabilitasi mangrove, akan direncanakan penanaman mangrove di lahan sebesar 400 ha yang tersebar di 22 kawasan dan trekking di 4 lokasi. Dari segi cadangan karbon, berdasarkan hitungan kasar, jika karbon mangrove di-trading, dapat meraup keuntungan lebih dari Rp 2 trilun,” tambah Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP Muhammad Yusuf.
Dalam diskusi media itu juga, terungkap bahwa salah satu hal yang menggangu pertumbuhan mangrove namun sering luput dari perhatian adalah hama. Direktur Pengendalian Kerusakan Perairan Darat KLHK Sri Handayaningsih mengungkap bahwa persoalan hama harus segera dipecahkan. “Kami mengajak para peneliti membantu mencari solusi mengatasi hama. Hama ini tidak terekam oleh kita, namun sangat memengaruhi pertumbuhan tegakan mangrove,” katanya.
Direktur Program Kelautan Yayasan Konservasi Alam Nusantara Muhammad Ilman mengungkap bahwa persoalan lain pada kerusakan mangrove adalah ancaman sampah plastik yang terus bertambah banyak di laut. “Berbagai penelitian dalam lima tahun terakhir mengungkapkan bahwa mangrove dapat menjebak plastik dan menyimpannya di dalam sedimen mangrove. Jika mangrove dirusak, partikel plastik yang disimpannya akan lepas ke perairan dan dikonsumsi oleh hewan laut yang nanti akan dikonsumsi oleh manusia juga,” jelasnya
Selain melakukan restorasi mangrove, program yang dilakukan lintas kementerian ini juga fokus pada pemberdayaan masyarakat. Menjaga ekosistem mangrove yang sehat mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Selain menjadi tempat pemijahan dan perkembangbiakan biota laut, mangrove juga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan produk komunitas seperti kopi mangrove, tepung mangrove, sirup mangrove, dan pewarna jati.
Ilman berharap adanya melibatkan petani tambak ikan agar dapat menerapkan praktik budi daya perikanan yang ramah lingkungan, sehingga kelestarian mangrove terjaga. Perlindungan dan pemulihan mangrove merupakan salah satu strategi penting untuk menghadapi perubahan iklim dan meredam bencana pesisir. Kemampuannya menyimpan karbon 3-5 kali lebih banyak dari hutan daratan menjadikan mangrove sebagai salah satu pilihan murah untuk memenuhi target Perjanjian Paris.
Mangrove juga berkontribusi untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan terkait perlindungan ekosistem pesisir, mengatasi masalah kemiskinan, dan berperan penting dalam mendorong perekonomian.
Deputi Perencanaan dan Kerja Sama BRGM Budi Setiawan Wardhana menambahkan bahwa restorasi mangrove dengan penanaman diharapkan menjadi opsi terakhir karena opsi tersebut dinilainya lebih mahal.
“Jika memang bisa dicegah degradasinya, maka mangrove dengan tingkat degradasi ringan sampai sedang mempunyai kesempatan untuk regenerasi alami. Yang perlu disampaikan pada masyarakat adalah keberlanjutannya” katanya. (*)
CEO Kabar Pulau