Direklamasi, Burung Lenyap, Rumah Warga Tenggelam
Setiap pagi dan petang burung sueko putih atau kuntul besar (ardea alba) great Egret, hinggap di atas pohon mangrove Mangga Dua Kota Ternate Selatan. Burung ini juga mencari makan di kiri kanan hutan mangrove tersebut. Setelah disisakan sedikit mangrove akibat dibangunnya berbagai fasilitas pembangunan, masih ada satu dua ekor burung sueko datang mencari makan.
Kini, hutan mangrove tersisa itu dibabat dan ditimbun lagi.Akhirnya burung sueko tidak hinggap lagi atau mencari makan di kawasan ini. Burung burung itu kini tergusur dan berpindah entah ke mana.
Akibat reklamasi juga, jangankan habitat dan tempat mencari makan burung yang lenyap, rumah warga yang berbatasan langsung dengan hutan mangrove itu juga tenggelam saat pasang naik. Sudah hamper sebulan ini rumah warga di Lingkungan Parton Keurahan Mangga Dua dan Lingkungan Kelapa Pendek alami banjir rob berulangkali. Setiap pasang naik mereka harus menyelamatkan barangnya agar tidak terendam air laut.
Adanya banjir rob itu warga di Kelurahan Mangga Dua Utara menggelar protes atas penebangan dan reklamasi itu ke pemerintah kota Ternate. Tidak itu saja, dalam dua hari Selasa (9/11/2021) dan Rabu (10/11) warga memalang dua akses jalan utama yang melewati kelurahan ini. Aksi tersebut menimbukan kemacetan luar biasa. Protes dan palang jalan dilakukan itu tujuannya agar kegiatan reklamasi dan penebangan hutan mangrove tersisa itu dihentikan. Mereka menyuarakan adanya dampak yang dialami semenjak dilakukan reklamasi dan penebangan hutan mangrove di kawasan tersebut. Penebangan dan penimbunan itu dilakukan PT Indoalam Raya Lestari.
“Sejak adanya penebangan dan penimbunan atau reklamasi yang dilakukan saat aer nae (pasanga naik, red) menenggelamkan sebagian besar rumah warga di beberapa RT. Rumah yang tenggelam akibat adanya pembangunan di kawasan hutan mangrove itu adalah RT 03, RT 04, RT 05 dan RT 14,”jelas Ansar Ahmad peserta aksi warga lingkungan kelapa pendek yang rumahnya ikut terkena banjir rob.
Lahan yang ditimbun itu kurang lebih 1,7 hektar atau kurang lebih 17,260 meter persegi. Penebangan dan penimbunan ini dilakukan karena pihak perusahaan menganggap lahan itu milik mereka. Mereka mengklaim mengantongi sertifikat hak kepimilikan. Pengakuan lahan milik sah Budi Liem ini disampaikan pemerintah kota Ternate. saat peninjauan ke lokasi hutan mangrove Mangga Dua bersama Pemerintah Kota Ternate pekan lalu. Seelumnya Pemkot Ternate melalui Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Ternate mengeluarkan rekomendasi dokumen UKL –UPL pada Juli 2014 bernomor 640/26/ 1/23-REK/BLH-Tte/VII/2014 serta SK Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu satu Pintu Kota Ternate tentang Izin lingkungan Perencanaan Pembangunan.
Meski demkian bagi warga Mangga Dua ada regulasi yang dilanggar. Hal ini tertuang dalam pernyataan sikap yang disampaikan saat aksi ke kantor wali kota. Misalnya menyalahi RTRW di mana kawasan itu telah ditetapkan menjadi kawasan lindung yang tidak bisa dialihfungsikan. “Banyak ketentuan yang dilanggar termasuk UU no 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil serta Undang undang Kehutanan no 41 tahun 1999,” kata Saiful Amrullah coordinator aksi.
Meski demikian Pemerintah Kota Ternate melalui Kepala Dinas PU Isnain Pansiraju menyampaikan bahwa pemerintah kota tidak bisa berbuat banyak karena lahan mangrove itu merupakan lahan hak milik. PT Alam Indoraya adalah pemilik sah lahan tersebut jadi mereka membangun bangunan itu dengan melakukan penimbunan dan penebangan. “Itu hak mereka katanya kepada wartawan saat bersama Direktur PT ALam Indoraya.
Apa yang disampaikan pemerintah kota melalui Kepala Dinas PU Kota Ternate itu ternyata berbeda dengan apa yang disampaikan DPRD Kota Ternate. Pasalnya, tidak semua lahan itu menjadi milik PT Alam Indoraya. Ada wilayah yang tidak menjadi milik pihak perusahaan,” kata Junaidi Bahrudin Komisi II DPRD Kota Ternate. Perdebatan soal kondisi mangrove Manga Dua ini belum juga berakhir. Hingga kini warga sekitar tetap menerima imbasnya yakni rumah mereka tenggelam saat air pasang.
Mangrove Ternate Terus Menysut
Sekadar diketahui luas Ternate 5.795,4 kilometer persegi. Didominasi laut (5.547,55 Km2), daratan 249,6 Km2. Pulau dengan diameter hanya sekitar 42 kilometer ini, sesuai data Dinas Perikanan 2007, memiliki hutan mangrove 14,65 hektar. Tak tanggung-tanggung, kerusakan hutan mangrove mencapai 78, 57%!
Kerusakan ini , akibat tebang habis, konversi menjadi lahan pertanian dan pemukiman, pembuangan sampah padat, pencemaran tumpahan minyak, pembuangan sampah cair dan reklamasi pantai.
Peneliti Mangrove dari Uiversitas Khairun Ternate Salim Abubakar mengatakan, penelitiannya dalam beberapa tahun ini menunjukkan, mangrove Ternate rusak dan terancam habis karena pengembangan pemukiman warga, dan reklamasi pantai Ternate dan pengambilan kayu untuk rumah tangga.
Paling massif, katanya, reklamasi dan penambahan pemukiman termasuk untuk pertanian dan perikanan. “Di beberapa lokasi seperti Kelurahan Kastela, Gambesi, Rua, Tobololo , sebenarnya telah penghijauan dengan menanam mangrove, hasilnya tak maksimal,”katanya.
Potensi kerusakan juga karena ketidaksadaran masyarakat membuang sampah padat dan cair di sekitar hutan mangrove, termasuk pencemaran air laut dari tumpahan minyak.
“Ini terjadi di Kastela dan Rua Kecamatana Pulau Ternate, berdekatan dengan Pelabuhan Pertamina di Kelurahan Jambula,” katanya.
Untuk dampak reklamasi, paling nyata terjadi di Kelurahan Mangga Dua, Ternate Selatan. Di kawasan ini, hutan mangrove nyaris habis tergantikan jalan dan bangunan beton serta pelabuhan semut yang menghubungkan antar kabupaten/kota di Maluku Utara.
Sementara di beberapa tempat , di Selatan Pulau Ternate, masih ada meskipun kondisi makin kritis. Hasil identifikasi potensi dan rehabilitasi hutan mangrove di Ternate oleh Dinas Pertanian menemukan dalam tiga tahun ini mangrove makin kritis.
Pulau Ternate, terbilang daerah yang kaya mangrove. Hasil identifikasi Dinas Pertanian dan Kehutanan Ternate 2009, menemukan keragaman mangrove di Pulau Ternate cukup tinggi. Dari inventarisasi dan eksplorasi di hutan mangrove Sulamadaha, Takome, Rua, Kastela, Sasa-Fitu, Kalumata dan Mangga Dua, setidaknya ada 35 jenis, termasuk 29 marga dan 23 suku.
Tak hanya mengrove biasa, dari 35 tercatat, 16 dikategorikan jenis-jenis mangrove langka berdasarkan ketetapan IUCN dengan status terkikis (LR) sampai kritis (CR).
Di Sulamadaha, masuk zona lindung dengan mangrove terpencar- pencar di beberapa tempat. Ada tegak berdiri di pinggir pantai, ada bergerombol di belakang garis pantai.
Belasan bahkan puluhan jenis mangrove, seperti Sonneratia alba, Rhizophora apiculata, Lumnitzera littorea, Calophyllum inophyllum, dan Lumnitzera racemosa, Nypa fruticans, Hibiscus tiliaceus, Pandanus tectorius, Derris trifoliata, serta Acrostichum aureum, Clerodendrum inerme.
Dua jenis yang mampu tumbuh di hamparan pasir bercampur lumpur dan selalu terkena gempuran ombak, yaitu Sonneratia alba dan Rhizophora apiculate.
Tak kalah miris kondisi hutan mangrove Mangga Dua. Ia terletak di belakang pemukiman. Kini habis terbabat reklamasi. Tinggal sedikit tersisa. Di sini ditemukan antara lain Sonneratia alba, Rhizophora apiculata, Ipomoea pes-caprae dan Avicennia marina.
Kondisi hutan mangrove yang menyedihkan di Ternate sebenarnya sudah ada survei dan identifikasi dari Dinas Pertanian. Hasil survei itu menyebutkan, kondisi mangrove makin menurun dan kritis.
Data ini diambil jauh sebelum reklamasi pantai dilakukan pemerintah Ternate empat tahun terakhir.
Satu contoh reklamasi melibas ‘rumah’ mangrove, yakni penataan kawasan Jalan Kota Baru Bastiong melalui sepanjang tiga kilometer melewati hutan mangrove Mangga Dua.
Kawasan ini dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Ternate seharusnya dilindungi. Kenyataan, mangrove sepanjang pantai habis terbabat. Di Mangga Dua, mangrove selain tergilas pembangunan jalan, juga Pelabuhan Semut antarkota antarkabupaten untuk transportasi speedboat.
Belakangan juga ada reklamasi di sisa hutan mangrove untuk pembangunan gudang modern multi guna. Di Mangga Dua, dulu mangrove rimbun. Setelah reklamasi, terganti pelabuhan dan pemukiman. Saiful Ahmad, tokoh pemuda Mangga Dua mengatakan, dulu di mangrove ini banyak elang, bangau dan beberapa jenis burung lain.
Pasca reklamasi, burung-burung hilang entah ke mana. Begitu juga sebelum reklamasi, setiap malam warga mencari ikan maupun kepiting bakau yang keluar mencari makan. Pasca reklamasi di hutan mangrove itu, semua hilang. Tak ada lagi warga mencari kepiting bakau ataupun ikan.
“Semua habis. Kami meminta hal- hal seperti ini perlu diperhatikan Pemerintah Kota Ternate,.”kata Saiful
Pemerintah, katanya, perlu memikirkan pengganti lahan mangrove yang habis buat reklamasi itu.(*)
CEO Kabar Pulau