Berdampak Terhadap Lingkungan Hidup dan Manusia
Program “hilirisasi” mengemuka dalam debat keempat pemilihan presiden (Pilpres) 2024, untuk calon presiden wakil presiden (Cawapres) pada Ahad, 21 Januari 2024 di lalu Jakarta. Cawapres Gibran Rakabuming Raka dari pasangan Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto mengucapkan kata hilirisasi sebanyak 12 kali.
Tidak hanya pasangan Capres dan Cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, pasangan nomor urut satu Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar serta pasangan nomor urut tiga Ganjar Pranowo dan Mahfud MD juga setuju melanjutkan program hilirisasi.
Hilirisasi merupakan program yang diselenggarakan oleh Joko Widodo, melalui Undang-Undang (UU) Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sehingga mewajibkan industri pertambangan melakukan hilirisasi yang tidak lain untuk memberikan nilai tambah bagi hasil tambang.
Sayangnya kenyataan pelaksanaan hilirisasi tambang nikel di Maluku Utara memunculkan fakta yang cukup memiriskan.
Karena masalah ini, beberapa organisasi masyarakat sipil baik yang ada di Maluku Utara dan Jakarta mengingatkan semua pihak terkait dampak yang ditimbulkan setelah hilirisasi ini dilaksanakan.
Melalui rilis yang dikirim ke kabarpulau.co.id Mubaliq Tomagola Manager Advokasi Tambang WALHI menyampaikan beberapa fakta buruk hilirisasi nikel di Maluku Utara. Menurutnya di di Maluku Utara ada tiga kawasan yang melakukan hilirisasi industri pengolahan bijih nikel. Dua sudah beroperasi yaitu Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan dan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang terintegrasi dengan PT Weda Bay Nikel, di Weda, Halmahera Tengah. Sementara di Buli, Halmahera Timur tahun 2024 ini, rencana dibangun pabrik komponen kendaraan baterai listrik yang diprakarsai konsorsium LG dan konsorsium BUMN; IBC.
Tiga kawasan tersebut ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Tidak cukup sampai di tiu pemerintah juga menetapkanya sebagai Objek Vital Nasional, membuat kawasan itu begitu ketat dijaga aparat TNI-Polri.
“Sangat disayangkan, hilirisasi nikel di Maluku Utara kerap memperlihatkan fakta yang mengenaskan. Justru membunuh lingkungan hidup dan membuat kehidupan warga semakin miskin,”katanya
Yang pertama Keberadaan industri pengolahan nikel di Maluku Utara adalah buah dari kebijakan hilirisasi yang sejak 2015 gencar digaungkan pemerintah dan diklaim berhasil mendongkrak ekonomi Maluku Utara. Ekonomi Maluku Utara memang tumbuh berdasarkan angka-angka statistic. 2023 triwulan dua yaitu mencapai 23,89 persen. Maluku Utara lantas menyandang wilayah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di seluruh provinsi di Indonesia, bahkan jauh melampaui pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun aneh, pertumbuhan ekonomi itu tidak selaras dengan angka kemiskinan yang masih terbilang tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku Utara, penduduk miskin Maluku Utara pada Maret 2022 sebanyak 79.87 ribu orang, kemudian pada September 2022 naik menjadi 82.13 ribu orang, dan pada Maret 2023 naik menjadi 83.80 ribu orang.
Itu artinya, industri hilirisasi nikel yang dibangun dan terpantau begitu agresif sesungguhnya tidak memberikan manfaat ekonomi terhadap warga lokal terutama yang tinggal di sekitar kawasan hilirisasi. Justru yang ada warga kehilangan sumber produksi ekonomi seperti, lahan pertanian, kebun maupun wilayah tangkap ikan. Sebaliknya mereka yang notabene bukan warga lokal menikmati manfaat atas hilirisasi nikel di Maluku Utara.
Kedua penambangan nikel di Maluku Utara telah menciptakan daya rusak lingkungan hidup yang begitu hebat. Kerusakan lingkungan tidak hanya di daratan tapi juga memusnahkan wilayah pesisir dan laut. Seperti pada November – Desember 2023 lalu ada dua peristiwa lingkungan hidup yang dianggap bertalian dengan kebijakan hilirisasi nikel, yakni perubahan warna air laut di pesisir Pulau Garaga, Kepulauan Obi, Halmahera Selatan dan Pesisir dan laut di Kecamatan Maba, Halmahera Timur. Perubahan air laut dengan tampak merah kecoklatan pada kedua lokasi tersebut ditengarai disebabkan industri nikel.
Dengan begitu, daya rusak yang ditimbulkan atas penambangan nikel terus meluas seiring program hilirisasi oleh pemerintah. Halmahera adalah pulau terbesar di Kepulauan Maluku, menjadi arena balapan buldoser milik perusahaan penambang sejak dua dekade terakhir. Aktivitas mengeruk yang cenderung meluluhlantakkan Pulau Halmahera ini terpantau mengalami peningkatan eskalasi begitu tajam pada 2018.
Sementara Julfikar Sangaji Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Forum Studi Halmahera (FOSHAL) menyatakan bahwa penambangan bijih nikel juga tak hanya berlangsung di Halmahera, tapi menyasar pulau-pulau kecil seperti pulau Gee, Pulau Pakal, Pulau Gebe, dan Pulau Mabuli yang sudah lebih dulu diporak-porandakan, termasuk di Kepulauan Obi bernasib sama.
“Eksploitasi alam di pulau- pulau kecil merupakan perbuatan yang disebut kejahatan lingkungan, dimana Pulau Kecil memiliki kerentanan ekologis tinggi jika ditambang serta daya pulih yang lambat dimana pulau tersebut merupakan sumber utama kehidupan warga lokal. Tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan. Aktivitas pertambangan juga memicu konflik sosial antar warga,”katanya.
Menurutnya hilirisasi nikel secara langsung mengakibatkan deforestasi hutan yang tak terkendali dilakukan perusahaan penambangan. Hal itu dikarenakan, keberadaan industri hilirisasi nikel dipandang sebagai pemicu atau pendorong perusahaan melakukan penggundulan hutan dengan laju deforestasi yang terus meluas.
“Penambangan bijih nikel didahului dengan aktivitas land clearing atau pembersihan area, karena itu sangat mustahil apabila tidak terjadi kehilangan tutupan hutan,” jelasnya. Ini terjadi terutama di tiga lokasi yang kini terkepung Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel. Seperti di Halmahera Timur ada 19 izin dengan total luas konsesi 101.047,21 hektar, sementara di Halmahera Tengah ada 13 izin dengan luas total konsesi 10.390 hektar.
Sedangkan di Halmahera Selatan ada 15 izin dengan total luas konsesi sebesar 32.236 hektar. Untuk IUP nikel yang mencaplok dua kawasan administratif sekaligus yakni wilayah Halmahera Timur dan Halmahera Tengah sebanyak 4 izin dengan luas total konsesi 70.287 hektar .
Dengan demikian kehilangan tutupan hutan, dominan terjadi pada wilayah operasional penambangan bijih nikel.
Data analisis spasial Global Forest Watch menunjukkan sejak 2001 hingga 2022, Halmahera Tengah kehilangan sudah 26.1 ribu hektar tutupan pohon yang setara dengan penurunan 12 persen tutupan pohon sejak tahun 2000, dan setara dengan 20.9 Megaton (Mt) emisi ekuivalen karbon dioksida (CO2e).
Sementara untuk di Halmahera Timur, sejak tahun 2001 hingga 2022, telah kehilangan 56.3 ribu hektar tutupan pohon yang setara dengan penurunan 8.9 persen tutupan pohon sejak tahun 2000, dan setara dengan 44.5 Megaton (Mt) emisi ekuivalen karbon dioksida (CO2e). Sedangkan di Halmahera Selatan sejak tahun 2001 hingga 2022 sudah kehilangan 79.0 ribu hektar tutupan pohon yang setara dengan penurunan 9.9 persen tutupan pohon sejak tahun 2000, dan setara dengan 62.9 Megaton (Mt) emisi ekuivalen karbon dioksida (CO2e).
Riset WALHI Maluku Utara pada Maret sampai April 2023 lalu, bertajuk “Status Kualitas Air dan Kesehatan Biota Laut Perairan Teluk Weda dan Pulau Obi” memberi kesimpulan bahwa status kualitas air perairan di kawasan Teluk Weda dan Pulau Obi terindikasi mengalami pencemaran dan tingkat pencemaran sudah terakumulasi hingga ke biota laut seperti Kima dan Ikan. Ikan target konsumsi telah terpapar dengan logam berat. Logam berat bersifat toksik dan dapat membahayakan masyarakat sekitar. Kondisi yang sama juga terjadi perairan Teluk Buli, Halmahera Timur.
Amblesnya, ketiga lokasi tersebut merupakan wilayah yang dekat dengan kawasan industri hilirisasi nikel, seperti Harita Nickel, PT IWIP dan wilayah operasional penambangan nikel PT Aneka Tambang (ANTAM). Dengan begitu, kondisi perairan serta biota laut yang sudah terindikasi tercemar dan terpapar logam berat diduga kuat ditengarai atas aktivitas industri hilirisasi nikel maupun tambang yang berlangsung.
Hilirisasi nikel juga secara langsung membuat sungai-sungai hancur seperti Sungai Akejira dan Ake Kobe yang membentang melewati pemukiman Desa Woekop, Desa Worjerana, Desa Kulo Jaya, dan Desa Lukulamo, Weda Tengah, Halmahera Tengah, di mana air tampak berwarna merah kecoklatan sangat persis menunjukkan bahwa air tersebut terkontaminasi tanah galian ore nikel. Perubahan warna dari kedua air pada aliran sungai itu sudah terjadi sejak 2018 dan masih keruh sampai saat ini.
Terkontaminasi air dengan ore tambang nikel membuat akses warga terhadap kedua sungai itu pupus, padahal semula aliran sungai tersebut merupakan sumber kebutuhan air bersih dengan segala pemenuhan keperluan rumah tangga warga sekitar. Namun, operasi tambang nikel seperti PT Weda Bay Nickel (WBN) yang berada di hulu sungai diduga kuat menjadi biang atas terkontaminasinya air dari jernih ke merah kecoklatan. Selain PT WBN, PT Tekindo Energi juga diduga turut berkontribusi dalam memperkeruh warna air sungai ini.
Tidak hanya kedua sungai di atas, Sungai Sageyan di Kampung Sagea, Kec. Weda Utara, Halmahera Tengah juga rundung nasib serupa. Aliran sungai yang terhubung dengan wilayah karst ini juga kerap menunjukkan perubahan warna air yang tampak merah kecoklatan meskipun tanpa ada hujan pada kawasan tersebut. Di sisi lain, Sungai Sageyen merupakan objek ekowisata sekaligus sumber air minum warga di kampung Sagea. Hancurnya sungai yang berhubungan dengan hilirisasi itu juga terjadi di Sungai Sangaji, Maba, Halmahera Timur serta Sungai Toduku di Obi, Halmahera Selatan.
Keenam : Imbas dari hilirisasi nikel ini juga, membuat warga di Kampung Kawasi, Kec. Obi Halmahera Selatan hendaknya diusir dari kampung asalnya oleh Harita Nickel dan Pemerintah. Harita Nickel telah membangun kawasan permukiman baru yang disebut mereka sebagai ecovillage. Namun, apa yang dilakukan oleh Harita ini tidak lain dari merampas ruang hidup warga kampung Kawasi dari tempat tinggalnya.
Kawasan hilirisasi industri nikel yang distempel sebagai bagian dari agenda “ekonomi hijau” solusi dari krisis iklim tapi justru masih bergantung pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara sebagai tumpuan energi. Pengeoperasian PLTU Batubara pada kawasan Industri Nikel Harita di Obi dan PT IWIP di Weda terus berlangsung setiap waktu tanpa henti bersamaan dengan itu mulut cerobong PLTU terus menyemprot emisi pembakaran ke udara, yang dapat memperburuk kualitas udara serta menimbulkan penyakit bagi manusia, terutama terkena ISPA.
Di PT IWIP misalnya, kapasitas eksisting PLTU Batubara saat ini sebesar 6.560 MW dan direncanakan penambahan sebesar 760 MW sehingga total pengembangan menjadi 7.320 MW. Disisi lain, kasus ISPA di sekitar kawasan tersebut tercatat naik. Data menunjukkan, tercatat pada 2020 kasus ISPA di Lelilef sebanyak 434 orang sedangkan pada 2022 naik menjadi 1.100 orang.
Selain itu soal penggunaan aparat keamanan di kawasan objek vital juga disoroti. Novita Indri Juru Kampanye Trend Asia misalnya memandang penggunaan aparat mengatasi warga yang menolak atas nama Objek Vital Nasional di Halmahera Tengah, Maluku Utara dinilai represif. Kepolisian terus menerus menggunakan kekuatan berlebihan dalam menghadapi warga penolak.
“Tindakan represif yang dilakukan merupakan potret nyata atas pelanggaran hak hak konstitusional warga negara, dimana negara seharusnya hadir memberikan perlindungan terhadap warga negaranya bukan sebaliknya,” katanya.
Penanganan aksi massa yang terjadi merupakan bentuk penggunaan kekuatan yang berlebihan ( excessive use of force).
Tindakan tersebut jelas melanggar ketentuan internal Kepolisian, salah satunya Peraturan Kepala Kepolisian No. 7 Tahun 2012, yang mewajibkan anggota Polri untuk bertindak secara profesional dan menjunjung tinggi HAM dalam kegiatan penyampaian pendapat di muka umum. Polisi juga harus menghindari tindakan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, dan melanggar HAM lainnya.
Berdasarkan fakta di atas bahwa program hilirisasi nikel di Maluku Utara saat ini tidak lain merupakan sebuah kebijakan pemerintah yang sesat, dengan demikian apabila dilanjutkan presiden terpilih nanti, sudah pasti akan menambah daftar panjang kerusakan. Sebaliknya pemerintah atau presiden terpilih nanti melakukan hilirisasi pada komoditas yang digeluti rakyat berupa cengkeh, kopra, pala, dan rempah lainnya, serta kekayaan laut, seperti ikan. Hal ini dipandang sebagai solusi yang dapat mendongkrak ekonomi warga lokal sekaligus menjamin keberlanjutan lingkungan hidup. Pemerintah juga harus memulihkan wilayah-wilayah krisis, terutama yang disebabkan kebijakan hilirisasi ini.
CEO Kabar Pulau