Rusak Alam dan Dorong Kemiskinan?
Hilirisasi industri pertambangan mineral jenis nikel digadang-gadang Pemerintah Indonesia sebagai solusi perekonomian nasional. Namun di daerah nikel ditambang seperti di Maluku Utara (Malut), proyek ini memunculkan masalah cukup serius. Sebut saja kerusakan lingkungan masalah kesehatan serta kemiskinan. Proyek ini diklaim pemerintah akan meningkatkan kemakmuran daerah, namun angka kemiskinan di Malut beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan signifikan. Hal ini menunjukkan hilirisasi malah memperlebar ketimpangan.
Hal ini terungkap dalam diskusi dan penyampaian laporan Kertas Posisi berjudul “Daya Rusak Hilirisasi Nikel: Kebangkrutan Alam dan Derita Rakyat Maluku Utara” yang diluncurkan dalam diskusi publik, Senin, (27/5/ 2024 di Hotel Jati Ternate.
Laporan yang dirilis Forum Studi Halmahera (FOSHAL), Trend Asia dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebutkan bahwa di Maluku Utara, ada dua kawasan industri pengolahan nikel: Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan dan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Weda Halmahera Tengah. Selain itu, daratan Pulau Halmahera juga dipenuhi izin tambang nikel. Maluku Utara telah dipenuhi 58 izin konsesi nikel dengan luas 262.743 hektar. Ini belum termasuk luasan kawasan industri IWIP dan kawasan industri milik Harita. Sedangkan di atas Pulau Halmahera telah dibebani 28 izin nikel. Di Halmahera Tengah, izin konsesi tambang bahkan memenuhi hampir setengah (106.039 ha dari 227.683 ha) total luas seluruh kabupaten di Malut.
Akselerasi tambang nikel telah mendorong meluasnya deforestasi. Data Global Forest Watch mencatat bahwa sejak 2001 hingga 2022, Kabupaten Halmahera Tengah telah kehilangan 26,1 ribu hektar tutupan pohon, sedangkan di Kabupaten Halmahera Timur telah kehilangan 56,3 ribu hektar tutupan pohon dalam periode yang sama. Industri nikel turut merusak Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengakibatkan 7 bencana banjir bandang sejak 2020 di sekitar wilayah industri IWIP. Sementara limbah merusak perairan yang merupakan wilayah tangkap nelayan hingga melampaui baku mutu.
Hal ini terjadi di Teluk Weda akibat operasional PT IWIP, Teluk Buli akibat operasional PT ANTAM, serta air di Pulau Obi akibat operasional PT Harita Nickel. “Masyarakat Desa Sagea bergantung pada sungai Sagea. Namun eksploitasi karst dan nikel di daerah aliran sungai membuat sumber air warga ini tercemar. Selain itu, lahan sekitar Danau Yonelo yang merupakan lumbung pangan warga juga mulai diambil konsesi tambang,” ujar Mardani Legaelol, warga Desa Sagea. Praktik industri yang serampangan berujung pada rangkaian kecelakaan kerja.
Sejak dimulainya masa operasional PT IWIP pada 2018, telah terjadi 4 kali ledakan dan 1 kali kebakaran dengan puluhan buruh jadi korban. Sementara ledakan smelter IWIP akhir 2023 lalu ditambah korban selama operasional IWIP mengakibatkan 25 korban jiwa dan puluhan korban luka bakar. Sementara itu, polusi dari pembangkit batubara yang melistriki kawasan industri terus mencemari udara Maluku Utara. Di Desa Lelilef tempat IWIP beroperasi, angka kasus infeksi saluran pernapasan (ISPA) mengalami peningkatan konsisten. “Sejak 2019, saya sudah mendalami dampak perusakan industri nikel pada ekosistem. Hasilnya mencengangkan: Reklamasi di wilayah IWIP membuat risiko banjir rob di masa depan. Ekosistem di tempat-tempat seperti Teluk Weda sudah hancur, habitat mangrove dan terumbu karang hilang 100%. Sisa ikan yang ada sudah tidak bisa dikonsumsi karena pencemaran sudah jauh di atas ambang batas,” ujar Dr. Muhammad Aris, akademisi dari Universitas Khairun sudah beberapa kali melakukan riset di wilayah tambang di Malut.
“Pemerintah banyak mengklaim soal dampak positif ekonomi dari hilirisasi nikel. Namun kalau dampak ekonomi dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan sangat masif dan sulit diukur,” pungkasnya.
Pemerintah mengatakan hilirisasi nikel akan mendorong perekonomian Maluku Utara. Memang, Laporan Bank Indonesia 2023 menyebut pertumbuhan ekonomi Maluku Utara berada di angka di atas 20 persen dan merupakan yang tertinggi secara nasional. Namun data yang kemudian dikemas hiperbolik oleh pemerintah pusat ditunjang nilai ekspor-impor terkait tambang nikel. Sebaliknya, data pemerintah menyebut bahwa angka kemiskinan meningkat drastis. Maret 2022, BPS Maluku Utara mencatat 79,87 ribu penduduk miskin, jumlah tersebut meningkat 83,80 ribu orang pada Maret 2023. Keuntungan hilirisasi nikel yang telah berjalan selama ini nampaknya hanya dinikmati segelintir orang. Malah meningkatkan jurang kesenjangan. Sementara suara warga yang melawan kerap dibungkam dengan kriminalisasi. “Desa Baturaja pernah mengalami banjir bandang besar. Kami galang protes terhadap PT ARA (Alam Raya Abadi) hingga tembus ke Mabes Polri, tapi tidak ada hasilnya. Malah kepala Desa Baturaja ditahan di sel selama 8 bulan, dan saya sendiri sudah dua kali disomasi PT ARA yang wilayah konsesinya kecil pun nampaknya kebal hukum,” kisah Yudo Setiono, warga Subaim.
Ismunandar, warga Buli, Halmahera Timur mendorong agar perlu didorong moratorium industri ekstraktif terutama di Maluku Utara. Karena hingga kini setiap hari ada saja perusahaan kecil yang melakukan survei dan pengkaplingan lahan baru di desa termasuk di Buli. Menurutnya, hilirisasi sebenarnya penghalusan dari pengkaplingan, ketika tanah dikotak-kotakan dan dijual ke investor luar. Dia bilang setelah wacana hilirisasi muncul, kuasa pertambangan zaman dulu dihidupkan kembali, dengan alasan rantai produksi lebih dekat. Percepatan perusakan pun jadi lebih cepat. Mereka menyerobot wilayah lumbung pangan, wilayah tambak ikan, bisa (dengan mudah) diubah jadi kawasan tambang.
“Moratorium sebagai satu solusi. Hal ini perlu didorong dengan suara lebih besar. Karena perusakan sekarang ini tidak bisa lagi ditampung Halmahera,” katanya.
Ijan Sileleng, warga Patani mengatakan, daerah mereka kini sedang digempur ekspansi tambang. Ancaman penderitaan atas kehidupan yang dialami warga di wilayah lain dikhawatirkan akan dirasakan warga Patani, Halmahera Tengah.
“Di Patani ini ada mata pencaharian di sektor pertanian yang bisa didorong pemerintah untuk dioptimalkan. Di Patani ada pala, kelapa, cengkeh. Sementara ada anugerah dari alam, bahwa di Patani ini ada sumber pangan lain yakni laor (hewan yang muncul di pesisir pantai di karang satu tahun sekali untuk dikonsumsi. Kami minta pemerintah jangan hanya fokus sektor tambang, tapi diseimbangi dengan memperhatikan keberlangsungan sektor pertanian warga,” kata Ijan.
Sebelumnya, pemantik diskusi Zainal Arifin yang juga Manajer Kampanye YLBHI menyampaikan bahwa Cara pemerintahan menggunakan label PSN (Proyek Strategis Nasional) menunjukkan tendensi otoritarianisme yang kuat. Program ini memberi karpet merah untuk korporasi melakukan perusakan demi kepentingan ekonomi, sementara warga yang merasa dirugikan dicap ‘tidak nasionalis’ karena menghalangi kepentingan negara.
“Ini menunjukkan pola pikir Orde Baru dan demokrasi yang rusak. Untuk pengelolaan sumber daya alam yang benar-benar demokratis, kita harus melindungi hak warga untuk menolak.” kata Zainal. Karea itu Indonesia perlu menyeimbangkan kebutuhan atas pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan pelibatan masyarakat. Negara harus mendorong transisi energi berkeadilan. Hilirisasi nikel yang serampangan hanya akan memindahkan masalah: konon Jakarta dibayangkan akan lebih bersih, namun tempat seperti Maluku Utara dihancurkan. Selain itu, jika dihitung secara total dampak kerusakan lingkungan dalam jangka panjang justru akan menimbulkan kerugian ekonomi lebih besar,” Kata Novita Indri, Juru Kampanye Energi Trend Asia.
Dia bilang, data dalam laporan ini sangatlah jelas bagaimana narasi kemakmuran dan nilai tambah hilirisasi yang digaungkan pemerintah salah dan mematikan. Faktanya kelestarian alam, kekayaan sumber kehidupan warga hingga kesehatan warga direnggut sebagai biaya yang harus ditanggung atas nama hilirisasi,” kata Julfikar Sangaji, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye FOSHAL. Dia menambahkan jelang Hari Anti Tambang 29 Mei nanti, penting mengingatkan bahaya pertambangan mineral kritis yang serampangan dan tidak bertanggung jawab.
Karena itu juga FOSHAL, Trend Asia, dan YLBHI mendesak pemerintah mengembalikan wilayah dan memulihkan semua sumber kehidupan warga yang dirampas atas nama kepentingan hilirisasi industri nikel. Pemerintah juga harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan, dampak kesehatan, dan hilangnya sumber penghidupan warga. Pemerintah harus mengendalikan praktik industri serampangan yang berujung pada kecelakaan kerja, serta menghentikan praktik represi dan kriminalisasi yang kerap dilakukan kepada warga yang melawan.
Sekadar diketahui, laporan ini juga didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ternate, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Maluku Utara, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Khairun Ternate, Perkumpulan Fajaru Maluku Utara, Perkumpulan Fakawele, Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Maluku Utara dan Pilas Institut. (*)
CEO Kabar Pulau